HEADLINE: Hoaks Merajalela Jelang Pilpres 2019, Siapa Memancing di Air Keruh?

Polri mencatat ada 3.500 berita hoaks yang tersebar setiap harinya di media sosial, termasuk soal Pilpres 2019.

oleh Putu Merta Surya PutraNanda Perdana PutraRita Ayuningtyas diperbarui 26 Sep 2018, 00:01 WIB
Diterbitkan 26 Sep 2018, 00:01 WIB
Berbaju Adat, Capres - Cawapres Ikuti Rangkaian Deklarasi Kampanye Damai
Pasangan capres dan cawapres Joko Widodo-Ma'ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno saat Deklarasi Kampanye Damai di Monas, Jakarta, Minggu (23/9). Deklarasi menandai dimulainya masa kampanye Pemilu 2019. (Merdeka.com/Iqbal Nugroho)

Liputan6.com, Jakarta - Kabar-kabar terkait Pilpres 2019 ini mungkin sedang beredar di aplikasi perpesanan maupun media sosial yang Anda miliki: percakapan mesra yang konon dilakukan seorang cawapres dengan artis cantik, Israel yang kabarnya mendukung pasangan calon tertentu, hingga hasil-hasil survei yang tak jelas siapa penyelenggara dan metodenya. 

Isu 'langganan' tiap pemilu seperti SARA, China, PKI, komunis, dan lainnya juga bertebaran di jagat maya. 

Jangan buru-buru mengira informasi yang didapat dari kerabat, kawan dekat, atau sejawat benar adanya. Bisa-bisa itu kabar bohong alias hoaks belaka. 

Jika Pilpres Amerika Serikat 2016, yang diwarnai persaingan sengit Donald Trump dan Hillary Clinton, menjadi 'musim semi' bagi ujaran kebencian dan hoaks yang membuat Negeri Paman Sam 'terbelah', jangan sampai hal serupa terjadi di Indonesia tahun depan. Kesatuan bangsa lebih penting dari hasrat berkuasa segelintir manusia.

Namun, sayangnya, baru empat hari kampanye berlangsung, berdasarkan catatan Polri, ada 3.500 berita hoaks yang tersebar setiap harinya di media sosial, terutama soal pilpres dan pileg.

Divisi Humas Polri menduga, maraknya penyebaran berita hoaks didorong oleh keinginan sebagian masyarakat yang ingin eksis di media sosial. Menyebarkan informasi secepatnya, menjadi salah satu cara yang ditempuh untuk itu.

Ini jumlah yang cukup masif dan mengkhawatirkan. Komisioner KPU, Wahyu Setiawan menyebut, jumlah kampanye hitam dan hoaks terus meningkat. Sejumlah pihak disinyalir memanfaatkan sisi negatif media sosial pada Pilpres 2019 ini.

"Dari beberapa pengamatan KPU, kecenderungan kampanye yang tersebar di media sosial saat ini, hoaks semua," kata Wahyu saat dihubungi Liputan6.com, Jakarta, Selasa 25 September 2018.

Sementara, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mencatat, ada 90 daerah yang berpotensi menjadi sasaran kampanye hitam dengan menggunakan isu SARA pada Pemilu 2019.

"Kampanye hitam ini kategorinya adalah yang menghina dan memiliki unsur SARA, maka ini menjadi bagian yang dilarang. Misalnya dengan menjelekkan orang lain dan menghina isu SARA dan agamanya," kata Komisioner Bawaslu Mochamad Afifuddin kepada Liputan6.com, di kawasan Pancoran, Jakarta Selatan, Selasa 25 September 2018.

Untuk menghindari kampanye hitam dan hoaks seperti ini, Bawaslu berkomitmen akan memperketat pengawasan terhadap media sosial.

Caranya, dengan bekerja sama dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo). Setiap akun yang menyebarkan black campaign atau kampanye hitam segera ditutup selama Pileg dan Pilpres 2019.

"Bagaimana men-takedown akun yang melakukan kampanye negatif, ujaran kebencian, atau menjelekkan pihak lawan. Nanti kalau ada akun-akun yang melakukan itu, maka kita akan bisa langsung menyampaikannya ke Kominfo untuk bisa di-takedown," kata Afif.

Menurut dia, pihaknya akan fokus kepada aktor penyebar berita tidak benar dan kampanye hitam. Imbauan-imbauan pun telah disebarkan kepada partai dan pemilih agar tak menggunakan cara licik yang dapat memecah bangsa. 

Infografis Tangkal Hoaks dan Kampanye Hitam Pemilu 2019
Infografis Tangkal Hoaks dan Kampanye Hitam Pemilu 2019. (Liputan6.com/Triyasni)

Deklarasi Pemilu Damai, Efektif?

Seperti halnya di tiap penyelenggaraan Pilpres, para kandidat menggelar deklarasi damai. Hal yang sama juga dilangsungkan KPU untuk pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin dan Prabowo-Sandiaga Uno pada Minggu 23 September 2018.

Meski diwarnai aksi walkout Susilo Bambang Yudhoyono yang keberatan dengan aksi pendukung Jokowi, Projo, deklarasi berlangsung lancar. 

Para capres dan cawapres yang tampil beda dengan pakaian adat menandatangani dan membacakan deklarasi, saling bergandengan tangan dan menebar senyum, dan melepaskan burung merpati sebagai simbol damai. 

Deklarasi damai juga diucapkan seluruh anggota DPD dan ketua umum parpol peserta Pemilu 2019.

Ada tiga poin dalam deklarasi kampanye damai Pemilu 2019, pertama mewujudkan pemilu yang langsung umum bebas rahasia jujur dan adil. Kedua melaksanakan kampanye pemilu yang aman tertib damai berintegritas tanpa hoaks politisasi SARA, dan uang.

"Melaksanakan kampanye berdasarkan peraturan dan perundangan yang berlaku," demikian bunyi poin ketiga yang dibacakan. 

Pertanyaannya, apakah deklarasi damai efektif untuk meredam segala potensi kampanye hitam dan hoaks?

Kepala Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia Sri Budi menilai, deklarasi kampanye damai tidak efektif.

"Iya (tidak efektif). Deklarasi ini kan imbauan moral, tapi kompetisi ini kan kompetisi politik. Tapi ada saja pihak-pihak yang bermain di air keruh, yang tidak bisa diidentifikasi benar pendukung atau tidak. Ini kan no name," kata Sri Budi ketika dihubungi Liputan6.com.

Dia menilai, hoaks ini bahkan lebih berbahaya daripada politik uang. Dampak dari sebaran hoaks, kata dia, lebih masif dibanding permainan money politics.

"Ini kerusakan yang ditimbulkan lebih parah ketika isu SARA dieksploitasi untuk kemenangan daripada politik uang. Sebab, kita tidak tahu siapa yang menyebarkan, lebih masif karena dari mulut ke mulut. Kalau politik uang kan bisa saja dia tidak memilih yang memberi," tutur Sri Budi.

Malah, hoaks ini dapat semakin berbahaya ketika disebarkan di luar media sosial. Contohnya saja di forum pengajian.

"Coba kalau di ruang tertutup, forum tertutup, kan kita tidak bisa deteksi. Itu yang harus diwanti sekali," imbuh dia.

 

Saksikan video terkait Pilpres 2019 berikut ini: 

Komitmen Vs Tindakan

Berbaju Adat, Capres - Cawapres Ikuti Rangkaian Deklarasi Kampanye Damai
Pasangan capres dan cawapres Joko Widodo-Ma'ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno menerbangkan burung merpati secara simbolis saat Deklarasi Kampanye Damai di Monas, Jakarta, Minggu (23/9). (Merdeka.com/Iqbal Nugroho)

Sebuah situs bernada hoaks dan kampanye negatif yang tertuju pada cawapres Sandiaga Salahuddin Uno membuat geger sejak Selasa 25 September 2018 pagi. Kian 'sip' dengan bumbu gosip asmara terlarang. 

Sejatinya, itu bukan barang baru. Rumor yang sama pernah diembuskan pada 2017 lalu. 

Polisi pun segera bertindak, dengan menyelidiki siapa dalang di balik kemunculan situs yang menyudutkan Sandiaga. Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Argo Yuwono menyatakan, pihaknya telah berkoordinasi dengan Kemenkominfo.

Sebelumnya, Polri sudah menyatakan komitmen akan menindak tegas penyebar kampanye hitam dan hoaks. Kini, kasus itu ditangani Subdit Cyber Crime Polda Metro Jaya.

Entah, siapa dalang dari kemunculan laman tersebut. Padahal, peserta Pemilu 2019, termasuk peserta Pilpres sendiri telah menyatakan komitmennya untuk tidak menggunakan kampanye hitam dan hoaks dalam mengambil hati pemilih.

Calon Wakil Presiden Ma'ruf Amin, beberapa waktu lalu, melarang partai politik pengusung, pendukung, relawan dan masyarakat, berpolitik uang dan menyebarkan berita hoaks.

"Bagi kita, tim kita tidak boleh ada hoaks, tidak boleh ada money politics, tidak boleh ada isu SARA, karena itu kita harus menjaga kekompakan, keutuhan, kita boleh ingin menang tapi tidak boleh mengorbankan keutuhan bangsa," kata Ma'ruf Amin di Balai Kartini, Jakarta Selatan, Minggu 23 September 2018.

Wakil Ketua TKN Jokowi-Ma'ruf, Grace Natalie pun mengimbau agar masyarakat tidak mudah percaya pada kabar yang beredar di media sosial. Oleh karena itu, pihaknya akan merangkul tokoh-tokoh masyarakat dan aparat untuk menangkal kampanye hitam dan hoaks.

"Kami akan edukasi masyarakat untuk tidak mudah percaya pada hoaks dan mengecek kebenaran sebuah berita. Yang lebih penting sebenarnya penegakan hukum," ujar Grace yang juga Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) kepada Liputan6.com, Selasa 25 September 2018.

Suasana kemeriahan saat pawai Deklarasi Kampanye Damai di Monas, Minggu (23/9). Pawai dimulai dari Monas kemudian melintasi Jalan Medan Merdeka Barat dan kembali ke Monas. (Merdeka.com/Iqbal Nugroho)

Sandiaga Uno juga mengeluarkan imbauan yang sama. Dia bahkan akan melaporkan pendukungnya ke pihak berwajib jika ketahuan menyebarkan kampanye hitam dan hoaks.

"Kami tindak tegas kalau untuk pendukung-pendukung kami. Bahkan kami akan laporkan pendukung-pendukung kami langsung ke pihak yang berwajib. Jadi kami tidak ingin ada toleransi sedikit pun terhadap kampanye yang bernuansa hoaks," kata Sandiaga di Monumen Nasional, Jakarta, Minggu lalu.

Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Pipin Sopian mengatakan, partai politik pendukung Prabowo-Sandiaga Uno akan membuat tim untuk menyisir kampanye hitam dan hoaks. Namun, dia tetap mengharap tindakan tegas dari Bawaslu, KPU, dan Kepolisian.

"Tentu (ada tim). Tapi yang paling penting KPU, Bawaslu, dan Kepolisian proaktif mengusut hal tersebut," ujar Pipin Sopian kepada Liputan6.com.

KPU sendiri mengaku punya kewenangan terbatas terkait pencegahan kampanye hitam dan hoaks di Pilpres 2019. Oleh karena itu, KPU merangkul Bawaslu dan Kepolisian.

"Kalau KPU kewenangannya memang terbatas dalam hal ini. Tapi kami tetap berupaya membatasinya dengan mewajibkan peserta pemilu melaporkan akun resmi yang akan digunakan untuk kampanye," tutur Komisioner KPU Wahyu Setiawan saat dihubungi Liputan6.com, Jakarta, Selasa 25 September 2018.

Jurus Tangkal Hoaks: Jangan Baper

HOAX
Ilustrasi hoax (iStockPhoto)

Kepolisian Republik Indonesia menyebut, cukup mudah mengenali hoaks dan kampanye hitam. Masyarakat harus waspada ketika mendapat pesan yang diawali dengan kata "Sebarkanlah" atau sejenisnya. 

Jika mendapatkan pesan seperti ini, masyarakat wajib melakukan cek ulang terhadap informasi yang dibagikan.

"Ciri hoaks, setelah atau sebelum berita dituliskan tolong sebarkan, itu tanda-tanda hoaks. Coba cek di media mainstream, online atau televisi. Kalau tidak ada ya patut diduga," kata Kadiv Humas Polri Irjen Setyo Wasisto.

Dengan demikian, berita bohong yang sangat merugikan dapat dicegah penyebarannya.

Deputi Bidang Koordinasi Kebudayaan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK), Nyoman Shuida, mengatakan perilaku selektif ini sering kali terlupakan oleh para pengguna media sosial, sehingga seringkali mereka langsung menyebarkan informasi tanpa diperiksa dahulu kebenarannya.

"Hal ini yang berbahaya karena penyebaran informasi maupun berita bohong merupakan pelanggaran hukum dan sanksinya sudah diatur di dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE)," kata Nyoman beberapa waktu lalu.

Menurut dia, penting juga untuk selalu memeriksa sumber informasi yang diterima. Sering kali sumber informasi itu anonim.

Sementara, Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara mengimbau masyarakat tidak menanggapi dengan serius berbagai postingan di media sosial. 

"Jangan gampang baperan. Daripada buang-buang pulsa mending delete saja" ujar Rudiantara, usai kuliah umum di IPB Dramaga, Bogor, Senin 24 September 2018.

Dia menegaskan tidak akan segan-segan untuk menghapus akun media sosial atau website yang melakukan black campaign maupun menyebar hoaks dan kampanye hitam selama masa kampanye.

Selama Pemilu 2019, lanjut dia, Menkominfo bersama Bawaslu akan selalu mengawasi proses kampanye baik di medsos maupun area yang menjadi tanggung jawabnya.

Ia juga mengajak masyarakat untuk tidak menjadikan media sosial sebagai tempat saling menyerang. Alangkah baiknya diisi dengan adu program maupun gagasan untuk kebaikan Indonesia.

"Ini kan pesta demokrasi, namanya pesta harus happy, jangan jelek-jelekan, gontok-gontokan, gebuk-gebukan. Harusnya sampaikan yang baik-baik seperti program atau visi-misi saja," kata Rudiantara.

Jika masih nekat, penyebar informasi bohong (hoaks) dan ujaran kebencian dapat dikenakan pidana penjara 6 tahun serta denda Rp 1 miliar. Pelaku bisa dijerat dengan Pasal 28 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Apalagi, Polri telah membentuk tim Satgas Nusantara guna menghadapi hoaks dan kampanye hitam Pilpres 2019 agar suasana tetap kondusif.

Nah, jika penyebarannya dilakukan peserta Pemilu 2019, Bawaslu berjanji bersikap tegas. 

"Ya nanti diadministrasi tidak boleh. Misalnya tidak boleh melakukan kampanye lagi, langsung diturunkan di proses kampanye itu kalau memang ada ujaran. Administrasi ya bisa. Ke peserta ke pelaku," kata Komisioner Bawaslu Mochamad Afifuddin kepada Liputan6.com, di kawasan Pancoran, Jakarta Selatan, Selasa 25 September 2018.

 

Reporter: Muhammad Genantan Saputra

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya