Anggota DPR Ini Tekankan Pentingnya Sistem Penanganan Bencana Terpadu

Menurut Anggota Komisi V DPR ini, penanggulangan bencana gempa di Indonesia menuntut pengelolaan yang lebih sistemik dan terpadu.

oleh Muhammad Ali diperbarui 04 Feb 2019, 19:02 WIB
Diterbitkan 04 Feb 2019, 19:02 WIB
Bangunan Luluh Lantak, Korban Gempa Lombok Salat di Luar Ruangan
Seorang wanita berdoa di depan puing-puing bangunan di Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB), Sabtu (11/8). BNPB menyatakan gempa Lombok hingga saat ini telah menewaskan 387 orang. (AP Photo/ Firdia Lisnawati)

Liputan6.com, Jakarta Diapit tiga lempeng tektonik plus lebih dari 200 sesar aktif, menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara rawan bencana gempa.

Sepanjang 2018, BMKG mencatat peristiwa gempa bumi terjadi sebanyak 11.577 kali. Dimana 23 gempa di antaranya berdaya rusak cukup parah, seperti yang menimpa wilayah Palu-Donggala beberapa waktu lalu.

Kondisi geografis Indonesia yang rawan bencana ini mendapat sorotan khusus dari anggota DPR merangkap Ketua Fraksi Nasdem, Ahmad HM Ali. Penanggulangan bencana gempa menurut Ali penting mendapat perhatian lebih dari seluruh elemen masyarakat, begitu pula pemerintah.

"Bencana gempa Palu menyadarkan saya betapa penanganan bencana gempa ini masih centang perenang dan jauh dari kata beres,” ucap dia, Senin (4/2/2019).

Menurut Anggota Komisi V DPR ini, penanggulangan bencana gempa di Indonesia menuntut pengelolaan yang lebih sistemik dan terpadu. Tidak hanya terkait mitigasi risiko, tetapi juga manajemen bencana (disaster management).

“Semacam protokol penanganan bencana gempa yang lebih menyeluruh dan terpadu. Indonesia perlu belajar banyak dari negara-negara lain yang mampu menangani gempa dengan baik," kata Ali.

Ia mencontohkon Chile yang pernah diluluhlantakkan gempa bumi kemudian mengambil langkah strategis dengan melahirkan "Chile prepares", sebuah kebijakan yang berkaitan dengan pembangunan infrastruktur sistem penanganan bencana gempa yang sangat baik.

Tahun 2015, saat Chile diterjang gempa 8,3 SR yang disusul tsunami, hanya dalam hitungan menit otoritas Chile berhasil mengevakuasi 1 juta warganya. Dengan kekuatan gempa sedahsyat itu, korban meninggal hanya 13 orang.

"Bandingkan dengan gempa di Indonesia yang bermagnitudo lebih rendah, namun korban yang jatuh jauh lebih banyak," ujarnya.

 

Minimalisir Korban

Pandangan Udara Kota Palu Usai Dilanda Gempa dan Tsunami
Pandangan udara memperlihatkan sejumlah bangunan rusak usai dilanda gempa dan tsunami Palu, Sulawesi Tengah, Senin (1/10). Gempa berkekuatan 7,4 Magnitudo disusul tsunami melanda Palu dan Donggala pada 28 September 2018. (JEWEL SAMAD/AFP)

Ali menyebut Jepang dan Meksiko merupakan dua negara rawan gempa yang unggul dalam sistem mitigasi gempa dan disaster management, berupa alarm pendeteksi gerakan seismik yang mampu memberi waktu lebih dari satu menit kepada warga untuk menyelamatkan diri serta penerapan konstruksi tahan gempa yang konsekuen.

Dengan sistem penanganan bencana gempa yang terpadu, Mat Ali yakin korban dan dampak dapat diminimalisir. Ia menekankan pentingnya sistem logistik kedaruratan bencana sebagai bagian integral dari sistem penangangan gempa terpadu.

“Pengalaman gempa Palu, banyak korban ditemukan di bawah reruntuhan yang seharusnya dapat diselamatkan. Namun, karena keterbatasan dan keterlambatan alat berat, membuat proses evakuasi terhambat dan nyawa mereka tak tertolong. Belum lagi persoalan distribusi bantuan makanan dan obat-obatan yang kacau terkait titik evakuasi yang tak terorganisasi baik," tukasnya.

Persoalan-persoalan itu menurutnya berpangkal pada belum adanya keseriusan membangun sistem logistik kedaruratan bencana. Karena itu ia mengusulkan Palu menjadi pilot project penerapan sistem penanganan gempa terpadu.

"Bukan hanya karena Palu baru saja mengalami gempa dan tsunami parah, tetapi karena status Sulawesi Tengah sendiri tercatat sebagai wilayah rentan gempa karena keberadaan sesar Palu Koro," imbuh Ali.

 

Saksikan video pilihan berikut ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya