Liputan6.com, Jakarta - Penembakan terhadap anggota polisi terjadi di Polsek Cimanggis, Depok, Jawa Barat pada Kamis malam 25 Juli 2019. Akibat kejadian ini, seorang polisi yang merupakan anggota Samsat Polda Metro Bripka Rachmat Effendy meregang nyawa.
Terkait insiden nahas tersebut, Kepala Bagian Penerangan Umum (Kabag Penum) Divisi Humas Mabes Polri, Kombes Pol Asep Adi Saputra, menyayangkan tindakan tersebut lantaran polisi yang berhak memegang senjata api sebenarnya telah melewati serangkaian tahapan dan ujian yang ketat.Â
Asep membeberkan enam tahapan pertimbangan anggotanya berhak memegang senjata api. Pertimbangan tersebut, kata Asep, untuk menilai kelaikan anggota kepolisian dalam memegang dan membawa senjata api dalam bertugas.
Advertisement
Pertimbangan pertama, adalah penilaian terhadap tugas anggota kepolisian tersebut apakah berorientasi untuk memegang senjata api atau tidak.
"Jadi, dilihat dulu kepentingan yang bersangkutan memegang senpi tepat atau tidak dalam tugasnya," kata Asep.
Kedua, yang bersangkutan harus mendapatkan rekomendasi dari pimpinannya sebagai pihak yang menilai kelaikan anggotanya untuk memegang senjata api. Pertimbangan ketiga, yang bersangkutan harus lulus uji psikologi.
Pertimbangan keempat dan kelima, yang bersangkutan harus lulus uji kesehatan dan lulus uji kemahiran menembak.
Terakhir, tambah Asep, adalah yang paling menentukan, yakni dilihat rekam jejaknya. Karena jika pun yang bersangkutan lulus semua tahapan tapi rekam jejaknya buruk tidak bisa memegang senjata api.
"Misalkan rekam jejaknya buruk seperti berperilaku buruk, melakukan kekerasan kepada masyarakat, maka dia tidak boleh memegang senpi," ucap Asep.
Selain itu, pihak kepolisian juga melakukan inspeksi kepemilikan senjata api setiap enam bulan dengan memeriksa perlengkapan senjatanya, termasuk pemiliknya sendiri.
Adapun terkait kepemilikan senjata jenis HS 9 tersebut, Asep menjelaskan meskipun pangkat pelaku masih Brigadir, selama memiliki senjata api, berarti pelaku memang sudah lolos tes dan mengantongi izin.
"Kalau memang dia sudah memegang secara organik berarti dia dinyatakan layak. Dia bertugas di Baharkam Mabes Polri. Jadi bukan dari prosedur, tapi dalam konteks pengendalian diri," ujar dia.
Asep menjelaskan, kasus ini masih dalam proses penyidikan, dan sudah masuk ranah tindak pidana umum, yakni melakukan pembunuhan dengan modus penembakan.
Â
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Berawal dari Tawuran
Kasus ini bermula dari Bripka Rahmat Efendy (RE), yang dikenal anggota Samsat Polda Metro Jaya (PMJ), mengamankan salah seorang yang diduga pelaku tawuran FZ, dengan barang bukti sebilah celurit, ke Polsek Cimanggis, pada Kamis (25/7) sekitar pukul 20.30 WIB.
Tak lama berselang, datang orangtua pelaku tawuran (Zulkarnaen) bersama anggota polisi lainnya, Brigadir Rangga Tianto dan langsung menuju ke ruang Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) Polsek Cimanggis.
Brigadir Rangga Tianto kemudian meminta agar FZ bisa dilepaskan, dengan alasan dapat dibina oleh keluarganya. Namun, menurut sumber, Bripka Rahmat Effendi yang juga sebagai pelapor kasus tawuran, meminta agar kasus tersebut dilanjutkan dengan diproses penyelidikan.
Kemudian terjadi perselisihan antara Bripka Rahmat Effendi dengan Brigadir Rangga Tianto, namun cekcok itu membuat Brigadir Rangga Tianto tidak dapat menahan emosinya.
Dia pun ke sebuah ruangan lain di Polsek dan mengeluarkan senjata jenis HS 9 dan menembak Bripka Rahmat Effendi.
Dikabarkan ada tujuh kali tembakan mengarah ke Bripka Rahmat Effendi, sebagaimana temuan barang bukti selongsong di TKP. Korban mengalami luka tembak di bagian dada, leher, paha dan perut hingga menyebabkan korban meninggal dunia di lokasi.
Kemudian dari pihak kepolisian pun langsung melakukan olah TKP dan memeriksa sejumlah saksi.
Advertisement