Â
Liputan6.com, Jakarta - Sejumlah pahlawan Indonesia akan diabadikan namanya menjadi nama jalan di kota Amsterdam, Belanda. Namun rencana ini memancing kontroversi dan penolakan dari sebagian masyarakat Amsterdam.
Baca Juga
Demikian disampaikan Dirjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Hilmar Farid usai menghadiri pembukaan Festival Pamalayu di Museum Nasional, Kamis (22/8).
Advertisement
"Sekarang lagi ada pembicaraan untuk memberi nama beberapa jalan di Belanda dengan nama para pahlawan nasional kita," jelasnya.
Nama pahlawan Indonesia yang rencananya akan diabadikan sebagai nama jalan yaitu Tan Malaka, Soekarno, Moh Hatta, dan Sutan Sjahrir. Hilmar mengatakan, hal ini cukup ramai dibicarakan dan mengundang pro kontra masyarakat Amsterdam.
"Ada pembicaraan yang cukup ramai di media, terjadi diskusi soal kepantasan. Karena para pahlawan nasional kita adalah yang memerangi orang Belanda di masa lalu. Jadi pihak Belanda paling tidak sebagian orang pertanyaannya adalah kenapa orang-orang yang dulu memerangi kita justru diabadikan namanya sebagai nama jalan di Amsterdam," jelasnya.
Diskusi itu, lanjutnya, berjalan cukup hangat. Media setempat juga terus mengangkat isu ini. Menurut Hilmar, jika muncul pro dan kontra itu adalah masalah masyarakat Belanda menghadapi masa lalunya.
"Ini yang sebetulnya menjadi refleksi buat kita. Kemampuan kita untuk menghadapi masa lalu kita, baik yang manis maupun yang pahit. Dan itu kemampuan yang sangat diperlukan kalau mau berbicara tentang persatuan. Kemampuan untuk betul-betul melihat, berempati, kemampuan untuk berpikir terbuka terhadap apa yang terjadi di masa lalu," jelas Hilmar.
Â
Hormati Keputusan Belanda
Pemerintah Indonesia, lanjutnya, menghormati keputusan pemerintah kota Amsterdam terkait hal ini. Pemerintah Indonesia juga siap jika diminta pendapat.
"Itu kan keputusan dari pemerintah kota di sana karena itu dan kita menghormati itu keputusan internal. Hanya saja ketika diskusi itu kemudian sampai kepada kita tentu ini kita menanggapinya dengan bahwa ini sikap terbuka yang kita perlukan sekarang ini. Dan tentunya jika diminta pendapat tentu kita juga bisa memberikan pendapat," terang Hilmar.
Sejarawan ini menjelaskan, diskusi semacam ini di Belanda telah terjadi sejak 20 tahun terakhir. Buku-buku sejarah juga mengangkat hal ini. Salah satu penulis sejarah Belanda 20 tahun lalu menganggap apa yang dilakukan militer Belanda pada 1947-1948 setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia sebagai kejahatan perang. Hal itu menimbulkan reaksi karena ditulis orang Belanda sendiri.
"Mungkin perbedaan pendapatnya pada akhirnya tak bisa diatasi. Tak masalah ada perbedaan pendapat dalam melihat sejarah. Tapi yang penting itu dilakukan secara civilized, secara beradab, dengan cara-cara demokratis juga dan banyak yang bisa kita pelajari dari proses ini di kita sendiri," pungkas Hilmar.
Â
Reporter: Hari Ariyanti
Sumber: Merdeka.com
Advertisement