Siap Uji Materi UU KPK, Koalisi Masyarakat Sipil Akan Konsolidasi

Baru saja disahkan, pihak Koalisi Masyarakat Sipil sudah bersiap akan menggugat revisi UU KPK itu ke Mahkamah Konstitusi (MK).

oleh Ratu Annisaa Suryasumirat diperbarui 17 Sep 2019, 18:31 WIB
Diterbitkan 17 Sep 2019, 18:31 WIB
KPK Rilis Indeks Penilaian Integritas 2017
Pekerja membersihkan debu yang menempel pada tembok dan logo KPK di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (21/11). Pemprov Papua merupakan daerah yang memiliki risiko korupsi tertinggi dengan. (Merdeka.com/Dwi Narwoko)

Liputan6.com, Jakarta - DPR telah mengesahkan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau UU KPK menjadi undang-undang dalam sidang paripurna yang digelar, Selasa (17/9/2019). 

Baru saja disahkan, pihak Koalisi Masyarakat Sipil sudah bersiap akan menggugat revisi UU KPK itu ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (PUKAT UGM) Zaenur Rohman menjelaskan, rencananya uji materiil dan uji formil akan dilakukan.

"Nanti kami ajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi (MK) setelah undang-undangnya diberi nomor, diundangkan di lembaran negara. Kami siap dan kami sedang melakukan konsolidasi untuk mengajukan permohonan judicial review," tutur Zaenur saat dihubungi Liputan6.com, Selasa (17/9/2019). 

"Tidak hanya uji materiil tentang isinya yang ada melanggar asas kepastian hukum, tapi juga uji formil yang pembentukannya itu cacat, tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011," imbuh dia.

Zaenur menganggap, pengesahan revisi UU KPK ini tak sesuai dengan amanat reformasi tentang pemberantasan korupsi, dan dapat melumpuhkan kinerja KPK di ke depan hari. Sebab, seluruh poin yang telah disetujui oleh DPR dan Presiden Joko Widodo atau Jokowi dianggap banyak mengekang wewenang KPK. 

Dia menegaskan, penyelidikan kasus korupsi berdimensi internasional pun akan sulit dilakukan dengan disahkannya revisi UU KPK. Apalagi dengan adanya mekanisme penerbitan Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3) yang membatasi durasi penyidikan.

"Kalau dibatasi dua tahun itu nanti akan ada banyak perkara tipikor yang tidak bisa diselesaikan, contohnya perkara tipikor yang berdimensi internasional. Di mana penyidik membutuhkan alat bukti atau menunggu satu proses yang berlangsung di negara lain," tutur Zaenur.

"Sebagai contoh, kasus Garuda dan kasus RJ Lino, itu kan membutuhkan alat bukti yang berasal dari Inggris, alat bukti yang berasal dari China," lanjut Zaenur.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

KPK Akan Terseok?

DPR Sahkan Revisi UU KPK
Menkumham Yasonna Laoly berjabat tangan dengan Wakil Ketua DPR selaku Pimpinan Sidang Fahri Hamzah usai menyampaikan pandangan akhir pemerintah terhadap revisi UU KPK dalam sidang paripurna ke-9 Masa Persidangan I 2019-2020 di Kompleks Parlemen Senayan, Selasa (17/9/2019). (Liputan6.com/Johan Tallo)

Senada dengan Zaenur, Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Feri Amsari juga menilai, pengesahan revisi UU KPK ini tidaklah tepat dilakukan. Menurutnya, presiden dan DPR jelas-jelas telah mengabaikan ketentuan UU Nomor 12 Tahun 2011 dan tata tertib DPR sendiri.

"KPK akan mudah dikendalikan presiden dalam banyak hal. KPK tidak lagi khusus, tapi akan terseok-seok," ungkap Feri saat dihubungi Liputan6.com, Selasa (17/9/2019).

Dia menjelaskan, pihak yang keberatan pun bisa menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk kemudian dilakukan uji formil soal cacat prosedural.

"Sebagaimana diatur pasal 45 UU 12 Tahun 2011 jo pasal 112 dan 113 per DPR No 1/2014 bahwa RUU yang dibahas harus RUU yang ada dalam prolegnas prioritas," tuturnya. 

"Pasal2 UU KPK dengan pasal-pasal di konstitusi (akan dipertentangkan). Intinya ke 7 poin itu akan diuji," sambung Feri.

Dia menilai tidak benar bila revisi UU KPK ini bisa memberikan kepastian hukum dan membantu agar oknum tak menyalahgunakan wewenang KPK. Sebab, target koruptor yang disasar KPK adalah mereka yang terseret kasus besar.

Feri menyebut, dengan sahnya revisi UU KPK, para koruptor ini bisa melenggang dari penangkapan karena kasus mereka bisa saja dikenakan SP3. Selain itu, adanya Dewan Pengawas KPK juga dinilai Feri bisa menggagalkan banyak penyidikan.

"Tentu, karena OTT (Operasi Tangkap Tangan) dan penyadapan bocor saja persekian detik akan menggagalkan prosesnya," dia mengakhiri.

 

UU KPK Disahkan

Koalisi Masyarakat Sipil tolak revisi UU KPK yang baru disahkan DPR. (Liputan6.com/Yopi Makdori)
Koalisi Masyarakat Sipil tolak revisi UU KPK yang baru disahkan DPR. (Liputan6.com/Yopi Makdori)

DPR telah mengesahkan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau UU KPK menjadi undang-undang dalam sidang paripurna yang digelar, Selasa (17/9/2019).

Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah selaku pimpinan sidang mengetuk palu pengesahan setelah anggota dewan menyatakan setuju. Tiga kali Fahri menegaskan persetujuan terhadap revisi UU KPK menjadi undang-undang.

"Apakah pembicaraan tingkat dua pengambilan keputusan terhadap rancangan UU tentang perubahan kedua atas UU 30/2002 tentang KPK, dapat disetujui dan disahkan menjadi UU?" ujar Fahri dalam sidang paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa.

"Setuju," jawab anggota dewan serentak.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya