Angka Kasus Covid-19 Menurun, Perlukah PSBB Jakarta Dicabut?

Ede menjelaskan, PSBB di Jakarta bisa dilonggarkan manakala angka reproduksi number Covid-19 terus di bawah satu selama 14 hari berturut-turut.

oleh Yopi Makdori diperbarui 04 Jun 2020, 11:38 WIB
Diterbitkan 04 Jun 2020, 11:37 WIB
Antisipasi Virus Corona di Stasiun Gambir
Calon penumpang kereta api mengenakan masker saat berada di Stasiun Gambir, Jakarta Pusat, Jumat (31/01). Dalam rangka pencegahan Virus Corona, PT Kereta Api Indonesia (persero) melakukan sosialisasi kepada penumpang dengan membagi-bagikan masker di stasiun Gambir. (merdeka.com/Imam Buhori)

Liputan6.com, Jakarta - Pakar Epidemiologi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (UI) Ede Surya Darmawan mengatakan, dilihat dari penambahan jumlah kasus virus Corona atau Covid-19 secara harian di Jakarta, terutama Rabu 3 Juni 2020, angka reproduksi atau reproduction number Corona menurun.

"Hari ini memang turun, cuma 83 atau 73 (kasus) saya lupa. Kan tren harian menunjukkan reproduction number menurun. Tapi saya belum dapat konfirmasi apakah sudah di bawah satu," ucap Ede kepada Liputan6.com, Rabu 3 Juni 2020.

Ede mengatakan, kendati angka reproduksi di mana menunjukkan kemampuan seorang pasien untuk menularkan ke orang lain menurun atau di angka satu, bukan berarti Pemerintah Jakarta bisa mencabut PSBB. Menurutnya ini demi mencegah kasus impor atau imported case penularan Covid-19.

"Jadi begini, PSBB sama new normal itu barang yang berbeda, jangan disatukan. Kalau PSBB di Jakarta dicabut, pertanyaannya manusia yang mengakses Jakarta ini dari mana, itu pertanyaannya. Kan bukan orang Jakarta pindah kecamatan, tapi dari daerah lain," kata Ede.

Dia menjelaskan, daerah seperti Jawa Timur yang angka kasusnya tinggi hingga kini tak melakukan PSBB. Artinya pergerakan penduduknya bisa ke mana saja, termasuk ke Jakarta.

"RT-nya mana yang lagi tinggi, Jawa Timur berarti kan orang di Jawa Timur nggak boleh keluar. Pertanyaannya Jawa Timur menerapkan PSBB nggak? Nggak, kacau itu," ucap dia.

"Nah kalau itu (PSBB) dibuka, ya sudah Jakarta bisa second wave (gelombang kedua Covid-19) kejadiannya ," sambung Ede.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Reproduction Number di Bawah 1 Selama 14 Hari Berturut-turut

FOTO: Persiapan New Normal, Masjid Agung Al Azhar Disemprot Disinfektan
Petugas PMI menyemprotkan cairan disinfektan di Masjid Agung Al Azhar, Jakarta, Rabu (3/6/2020). Penyemprotan tersebut untuk mencegah penyebaran virus corona COVID-19 di rumah ibadah jika nantinya kembali dibuka untuk umum saat pemberlakuan new normal. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Ede menjelaskan, PSBB di Jakarta bisa dilonggarkan manakala angka reproduksi number Covid-19 terus di bawah satu selama 14 hari berturut-turut. Hal ini berangkat dari asumsi bahwa virus bertahan di tubuh manusia selama 14 hari.

"Karena kan jelas kalau sudah 14 hari virus akan kabur dengan sendirinya makanya disebut self limiting disease, penyakit yang sembuh dengan sendirinya. Yang penting manusianya punya daya tahan tubuh yang bagus kan itu prinsipnya," jelas Ketua Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) ini.

Berhubung angka infeksi masih ada di Jakarta, Ede mengusulkan supaya Pemerintah DKI Jakarta terus melanjutkan PSBB namun di beberapa RW yang sudah ditandai itu melakukan PSBK atau Pembatasan Sosial Berskala Kecil.

"Jadi nanti penduduk di RW itu mohon bisa bertahan dulu supaya tidak keluar dulu dari RW itu," ucapnya.

Termasuk mereka yang bekerja di luar wilayah RW-nya. Ede meminta mereka mesti diizinkan untuk tidak bekerja atau pun melakukan kerja dari rumah selama 14 hari kedepan.

"Dengan demikian di RW itu Insyaallah pada sembuh, nggak ada kasus baru masuk dan juga nggak ada kasus keluar itu prinsipnya," ucapnya.

Menurut Ede, jika diburu-buru untuk dilonggarkan dengan transmisi yang masih ada ini akan membuat masalah.

"Idealnya Jakarta jangan dulu memang, kan Jawa Barat saja belum selesai," ucap Ede.

 

Tingkat Deteksi Dinaikkan

FOTO: Kurangi PHK, Pemerintah Beri Kelonggaran Pegawai di Bawah 45 Tahun
Pegawai pulang kerja berjalan di trotoar Jalan Sudirman, Jakarta, Selasa (12/5/2020). Pemerintah memberi kelonggaran bergerak bagi warga berusia di bawah 45 tahun untuk mengurangi angka pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat pandemi virus corona COVID-19. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Ede pun mengingatkan agar jangan sampai kasus di Jakarta menurun tapi detection rate juga menurun. Artinya terjadi bias jumlah penurunan kasus gara-gara jumlah orang yang dites menurun.

"Kalau Mas bisa bandingkan malah hari ini sudah turun lagi tuh (detection rate-nya), berapa tuh 8.900-apa per hari ini. Itu kan dari kemampuan tes, kalau kemampuan tes kita menurun ya mau ngapain gitu?" paparnya.

Ede menjelaskan, jika mengacu pada kebiasaan internasional, maka harapannya 5 persen dari penduduknya dites. Kalau 5 persen dari Jakarta maka Ede memperkirakan sekitar 500 ribu penduduk Jakarta mestinya dites.

"Kalau 500 ribu masih jauh banget, nasional saja belum," kata dia.

Ede mengatakan, testing Covid-19 di Indonesia sampai saat ini baru sekitar 1.100 per juta penduduk. Angka ini masih tertinggal dengan Thailand yang mencapai sekitar 7.000-9.000 per juta penduduk.

"Karena apa? Karena mereka serius, testingnya diperbesar sehingga per million-nya itu kita kan baru seribu mereka hampir 7.000 atau 9.000 kemampuannya, jauh banget," tandas Ede. 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya