Liputan6.com, Jakarta - Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Totok Suprayitno menyampaikan bahwa siswa dari keluarga miskin merupakan pihak paling terdampak dari dihentikannya pembelajaran tatap muka di sekolah selama pandemi Covid-19.
"Itu sangat jauh berbahaya dari yang kita pikirkan. Penutupan sekolah beberapa bulan saja penurunan kompetensi langsung drastis. Dan yang paling menderita adalah yang paling miskin, karena mereka paling terhambat dan paling rentan dari segi apapun," ujar Totok dalam rilis survei Saiful Mujani Research dan Consulting (SMRC), Selasa (18/8/2020).
Baca Juga
Tatkala kembali masuk sekolah pun, kata Totok kemampuan belajar mereka juga akan menurun dan menciptakan gap yang makin besar.
Advertisement
"Ketika masuk sekolah lagi, bukannya naik malah yang ketinggalan ini tidak kunjung naik sehingga ada gap makin besar," jelasnya.
Hal ini, kata dia, wajar saja terjadi pasalnya siswa dari keluarga miskin tak punya banyak sumber daya untuk melakukan pembelajaran daring. Kendati Kemendikbud sudah mengakalinya dengan berbagai cara.
"Dengan segala upaya kita menolong dengan berbagai kebijakan, TVRI, modul, relaksasi BOS, relaksasi kurikulum, tapi tetap ada kantong tertentu yang memerlukan kebijakan khusus," ucapnya.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Mencoba Buka Sekolah Kembali
Oleh karenanya, pemerintah mencoba untuk kembali mengizinkan sekolah yang berada di zona kuning dan hijau untuk kembali menggelar belajar tatap muka. Meskipun diakui Totok hal itu bukanlah perkara yang mudah.
"Ketika membolehkan tatap muka untuk (zona) hijau dan kuning, ini bukan keputusan yang ringan. Itu mengikuti Gugus Tugas, bahwa kuning pun boleh. Tetapi ini ada syarat lainnya (harus) pemda oke, sekolah oke membuka, komite sekolah oke, orangtua oke untuk anaknya masuk. Jadi kalau satu saja tidak oke ini batal. Plus segala macam check list protokol kesehatan yang harus dipenuhi," tutupnya.
Advertisement