Liputan6.com, Jakarta - Menteri Pertanian (Mentan), Syahrul Yasin Limpo telah menetapkan tanaman ganja sebagai salah satu tanaman obat komoditas binaan Kementerian Pertanian.
Hal itu tertuang dalam Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 104/KPTS/HK.140/M/2/2020 tentang Komoditas Binaan Kementerian Pertanian yang ditandatangani Menteri Syahrul sejak 3 Februari 2020.
Baca Juga
Koordinator Penanganan Kasus LBH Masyarakat, Muhammad Afif mengatakan pihaknya mengapresiasi langkah maju yang dilakukan Kementan tersebut.
Advertisement
"Yang pertama kita sih patut mengapresiasi lah keputusan Menteri Pertanian mengakui tanaman ganja itu sebagai tanaman binaan Kementan. Dan dikategorikan sebagai tanaman obat," kata Afif kepada Liputan6.com, Sabtu (29/8/2020).
Afif menerangkan, keputusan yang diambil Kementan itu sebenarnya jauh dibuat sebelum Badan Narkotika Nasional (BNN) menolak rekomendasi WHO soal pemanfaatan ganja medis.
"Nah ini jadi persoalan yang saling menegasikan. Di satu sisi BNN melihat ganja sebagai sesuatu yang tak bisa memberikan manfaat, tapi di satu sisi Kementan melihat ini bermanfaat. Bahkan dikategorikan sebagai obat," ujarnya.
Afif juga meminta masyarakat untuk mendukung langkah Kementan tersebut. Sehingga Kementan tak merasa sendirian soal paradigma ganja sebagai obat.
"Nah kita melihatnya dari kondisi ini perlu memberikan dukungan agar Kementan tak merasa sendirian," ucap Afif.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Baru Pengakuan
Afif menilai, keputusan yang diambil Mentan Syahrul tersebut baru sebatas pengakuan terhadap tanaman ganja. Artinya dari segi ketentuan hukum mengenai budidaya, pengedaran dan pengolahan tanaman ini masih tak berubah. Yakni tetap dilarang dalam hukum narkotika di Indonesia.
"Walaupun diakui sebagai tanaman obat, tapi secara hukum penggunaan, peredaran, penguasaan, dan apapun yang terkait dengan ganja, termasuk pembudidayaan secara hukum masih dilarang," jelas Afif.
Ke depannya, Afif berharap ada kesamaan pandangan hukum soal ganja. Sehingga tak menutup riset ganja untuk digunakan dalam medis.
"Jadi perlu ada kolaborasi antara beberapa institusi, baik itu Kementan, Kemenkes, yang dilihat dari aspek masing-masing kewenangannya," ujar dia.
Ia berharap agar jangan sampai persoalan ganja ini hanya dimonopoli oleh aparat penegak hukum saja.
"Karena yang selama ini dilakukan adalah monopoli, mulai dari tata kelola narkotika di hulu sampai di hilir itu aparat penegak hukum memonopoli. Jadi ini berbahaya kalau misalnya kita mau mendorong reformasi kebijakan narkotika," pungkas Afif.
Advertisement