Anak Pemohon Legalisasi Ganja untuk Medis yang Lumpuh Otak Meninggal

Pada 2016, anak tersebut sempat mendapatkan pengobatan atau terapi menggunakan ganja di Australia. Dalam waktu satu bulan penuh, ada hasil yang dinilai sangat signifikan.

oleh Nanda Perdana Putra diperbarui 28 Des 2020, 12:59 WIB
Diterbitkan 28 Des 2020, 12:06 WIB
Ilustrasi duka cita
Ilustrasi duka cita

Liputan6.com, Jakarta - Anak dari ibu yang merupakan salah satu pemohon judicial review atau uji materil terhadap Pasal 6 Ayat (1) huruf a dan Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Narkotika di Mahkamah Konstitusi (MK) meninggal dunia. Anak tersebut menderita cerebral palsy atau kelumpuhan otak dan disebut memiliki kecocokan dengan pengobatan menggunakan ganja.

"Kabar duka datang dari salah satu pemohon uji materil pasal pelarangan narkotika untuk pelayanan kesehatan, yakni Ibu Dwi Pertiwi yang baru saja kehilangan putranya," tulis siaran pers Koalisi Advokasi Narkotika untuk Kesehatan yang diterima Liputan6.com, Senin (28/12/2020).

Koalisi Advokasi Narkotika Untuk Kesehatan mengabarkan, sang anak meninggal pada 26 Desember 2020 setelah selama 16 tahun hidup dengan kondisi lumpuh otak. Kondisinya pun menjadi latar belakang pengajuan permohonan uji materi UU Narkotika ke MK pada 19 November 2020.

Anak tersebut awalnya mengalami pneumonia saat baru berusia 40 hari. Namun, karena terdapat kekeliruan dalam pemberian diagnosis dan pengobatannya, penyakit pneumonia itu berkembang menjadi meningitis yang menyerang otak.

Pada 2016, dia sempat mendapatkan pengobatan atau terapi menggunakan ganja di Australia. Dalam waktu satu bulan penuh, ada hasil yang dinilai sangat signifikan untuk perkembangan kondisi kesehatannya.

Namun saat kembali ke Indonesia, sang ibu tidak dapat melanjutkan pengobatan dengan ganja lantaran larangan dalam UU Narkotika. Risiko itu tidak dapat diambil, sehingga pengobatan dengan ganja terhadap sang anak terpaksa harus dihentikan.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Berharap Ganja Dilegalkan untuk Pengobatan, 3 Ibu Gugat UU Narkotika ke MK

Ilustrasi Mahkamah Konstitusi (MK)
Ilustrasi Mahkamah Konstitusi (MK) (Liputan6/Putu Merta)

Sebelumnya, tiga ibu mengajukan judicial review atau uji materi terhadap Pasal 6 Ayat (1) huruf a dan Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Narkotika ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka berharap dengan melakukan uji materi tersebut, bisa memanfaatkan ganja sebagai pengobatan. Tiga ibu ini anaknya mengalami cerebral palsy atau kelumpuhan otak.

Kuasa hukum pemohon, Erasmus, mengatakan uji materi ini bukan tak berdasarkan ilmiah. Menurut dia, salah satu ibu membawa anaknya ke Australia untuk menjalani terapi ganja.

"Ada perkembangan kesehatan yang signifikan dari anak pemohon I karena terapi ganja di Australia," tutur Erasmus dalam sidang MK yang dilakukan secara virtual, Rabu (16/12/2020).

Namun, itu tak bisa dilakukan di Indonesia mengingat ganja ilegal. Sementara pengobatan mesti terus dilakukan dan hasil positifnya pun sampai ke telinga dua ibu yang anaknya juga mengalami penyakit gangguan otak, juga epilepsi.

"Pemohon dua tidak bisa membawa anaknya ke Australia karena keterbatasan biaya," jelasnya.

Sama halnya dengan pemohon tiga, obat-obatan dari BPJS juga kini tidak bisa diberikan karena terbatas usia si anak. Ketiga ibu itu hanya bisa bergantung pada pengobatan terapi ganja yang diklaim telah meningkatkan kesehatan salah satu anak penderita lumpuh otak.

"Alasan permohonan uji materi kita ada tiga," ujar Erasmus.

Selain tiga ibu tadi, selaku pemohon I, II, dan III, ada Rumah Cemara, ICJR, dan LBH Masyarakat menggugat hal yang sama.

Selain Erasmus, kuasa hukum lainnya menjelaskan, dengan keberadaan Pasal 6 ayat (1) huruf a dan Pasal 8 ayat (1) UU Narkotika telah mengakibatkan hilangnya hak para pemohon untuk mendapatkan hak jaminan kesehatan, sebagaimana diatur dalam Pasal 28 H ayat 1 UUD 1945.

"Kedua, larangan narkotika Golongan I menegasikan pemanfaatan narkotika Golongan I untuk kepentingan kesehatan. Ketiga, ketentuan penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a dan Pasal 8 ayat (1) UU Narkotika telah mengakibatkan hilangnya hak para pemohon untuk mendapatkan manfaat dari pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi berupa manfaat kesehatan dari narkotika Golongan I," jelas kuasa hukum tersebut.

Dipandangnya, Pasal 6 ayat (1) huruf a dan Pasal 8 ayat (1) UU Narkotika yang melarang penggunaan narkotika Golongan I untuk kepetingan medis telah secara jelas bertentangan dengan Pasal 28C ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi; setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.

"Pasal 6 ayat (1) huruf a dan Pasal 8 ayat (1) UU Narkotika telah membuat pengobatan tidak dapat dilakukan di Indonesia. Pemohon tidak dapat mendapatkan hak pelayanan kesehatan tertinggi," kata kuasa hukum.

Adapun permohonan yang diajukan adalah, pemohon meminta MK menyatakan Pasal 6 ayat (1) huruf a dan Pasal 8 ayat (1) UU Narkotika bertangan dengan Pasal 28C ayat (1) dan pasal 28H ayat (1) UUD 1945, sepanjang tidak dibaca dalam ketentuan ini yang dimaksud narkotika Golongan I adalah narkotika yang dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan layanan kesehatan dan terapi yang sangat minim mengakibatkan ketergantungan.

Kemudian menyatakan penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a Pasal 8 ayat (1) UU Narkotika tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dibaca dalam ketentuan ini yang dimaksud narkotika Golongan I adalah narkotika yang dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan layanan kesehatan dan terapi yang sangat minim mengakibatkan ketergantungan.

"Kami meminta kepada Mahkamah untuk menerima dan mengabulkan permohonan untuk seluruhnya," kuasa hukum menandaskan.

MK Minta Diyakinkan Bahwa Ganja Bisa untuk Pengobatan

20161217-Ganja-Medis-Kanada-AFP
Pekerja menyiram tanaman ganja medis di Tweed INC., Smith Falls, Ontario, Kanada (5/12). Tweed INC. merupakan salah satu lokasi budi daya ganja medis terbesar di Kanada. (AFP Photo/Lars Hagberg)

Tiga ibu mengajukan judical review atau uji materi terhadap Pasal 6 Ayat (1) huruf a dan Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Narkotika ke Mahkamah Konstitusi (MK), berharap ganja bisa dilegalkan untuk pengobatan.

Usai mendengarkan keterangan pemohon, Ketua Majelis Hakim Suhartoyo minta diyakini bahwa memang ada ganja untuk pengobatan, terlebih untuk anak-anak.

"Pemohon I, II, III, kalau mendalilkan bukti, apa yang bisa memberikan keyakinan terhadap mahkamah bahwa ada relevansinya antara narkotika Golongan I dengan dampak pengobatan anak-anak. Itu juga yang bisa dipertanggungjawabkan, bukan eksperimen atau empirik. Badan apa yang bisa meyakinkan mahkamah bahwa ini berkorelasi narkotika Golongan I ini dengan ini," tutur Suhartoyo dalam sidang yang digelar secara virtual, Rabu (16/12/2020).

Menurut dia, pemohon hanya menguraikan pengalaman pasien setelah menerima pengobatan menggunakan ganja dan dinilai sangat membantu progres kesehatan. Suhartoyo pun berharap adanya argumentasi yang lebih dalam sehingga pihaknya bisa mempertimbangkan untuk mengabulkan permohonan tersebut.

"Tetapi tarikan daripada norma itu kan pesannya kan jangan sampai ada ketergantungan. Nah, kekhawatiran norma yang tidak boleh ada ketergantungan itu yang merupakan satu kesatuan dengan norma yang khusus untuk ilmu pengetahuan, tidak boleh untuk terapi tapi yang kemudian satu kesatuan berdampak pada adanya ketergantungan," jelas dia.

Suhartoyo menyebut, hakim atau pun pemohon tidak memiliki kapasitas menentukan apakah penggunaan narkotika Golongan I atau ganja ini dapat menanggalkan ketergantungan atau pun bisa murni pengobatan. Seyogyanya ada lembaga khusus yang berwenang atas hasil tersebut.

"Nah itu tolong diyakinkan mahkamah melalui bukti atau uraian penjelasan yang bisa meyakinkan kami, bahwa ini bukan pendapat subjektif atau empirik para pemohon yang telah mencoba itu, sehingga berdampak bagus bagi anak-anaknya," kata Suhartoyo.

"Coba dipertimbangkan kembali bagaimana merepresentasikan itu dan meyakinkan mahkamah, bahwa ini bukan pendapat tapi betul-betul ada korelasi antara penggunaan narkotika Golongan I dengan penyakit ini. Ini untuk menegaskan legal standing-nya. Tolong dielaborasi kembali," lanjut dia.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya