Liputan6.com, Jakarta Mantan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli menyinggung hasil Indeks Demokrasi Indonesia 2020 dari The Economist Intelligence Unit (EIU) yang menurun.
Dia mengklaim ini bahwa ada sistem otoriter yang kini hidup kembali.
Baca Juga
Hal ini disampaikannya saat acara Halal Bihalal dan Pembukaan Rumah Konsolidasi Demokrasi di Gambir, Jakarta Pusat.
Advertisement
"Sehingga indeks demokrasi Indonesia anjlok 30 poin," kata Rizal Ramli dalam keterangannya, Minggu (6/6/2021).
Menurut Rizal Ramli, masalah yang dihadapi jangan mudah untuk menjustifikasi dengan label radikal. Yang harus diselesaikan adalah soal korupsi di Indonesia ini.
"Padahal masalah utama kita adalah, korupsi yang luar biasa. Tidak adanya konsistensi antara niat pemimpin, kata-kata pemimpin dan tindakan," ungkap dia.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Skor Demokrasi Indonesia Turun
Sebuah laporan mengenai Indeks Demokrasi 2020 telah dirilis The Economist Intelligence Unit (EIU). Laporan tersebut menunjukkan bahwa Norwegia mendapat skor tertinggi yakni 9,81 dan membuatnya menjadi negara dengan indeks demokrasi tertinggi di dunia.
Sementara itu, di posisi kedua ada Islandia dengan skor 9.37, disusul Swedia dengan skor 9.26, Selandia Baru dengan skor 9.25, dan Kanada dengan skor 9.24. Adapun negara dengan indeks demokrasi paling rendah adalah Korea Utara, dengan skor 1.08, seperti ditulis oleh DW Indonesia, Senin (8/2/2021).
Secara keseluruhan, EIU mengakui bahwa secara global indeks demokrasi dunia menurun dibandingkan tahun lalu.
Rata-rata skor indeks demokrasi dunia tahun ini tercatat 5.37, menurun dari yang sebelumnya 5.44. Angka ini pun tercatat sebagai rata-rata skor terendah sejak EIU merilis laporan tahunannya pada 2006 silam.
Berdasarkan skor yang diraih, EIU akan mengklasifikasikan negara-negara ke dalam empat kategori rezim: demokrasi penuh, demokrasi cacat, rezim hibrida, dan rezim otoriter.
Laporan juga menyebutkan bahwa pandemi Covid-19 memberikan dampak kepada demokrasi dan kebebasan di dunia.
"Pandemi menegaskan bahwa banyak penguasa menjadi terbiasa mengecualikan publik dari diskusi tentang masalah-masalah mendesak saat ini, dan menunjukkan elit pemerintah, bukan partisipasi populer, telah menjadi norma," ujar Joen Hoey penulis laporan EIU.
Advertisement