Liputan6.com, Jakarta Menko Polhukam Mahfud Md mengatakan, ada pihak yang menghambat kasus proyek Satelit Orbit 123 Kementerian Pertahanan (Kemhan) 2015 diungkap ke publik.
Adapun itu disampaikannya dalam akun Instagram pribadinya, @mohmahfudmd.
Advertisement
Baca Juga
"Saya kemudian mengundang rapat pihak-pihak terkait sampai berkali-kali tetapi ada yang aneh. Sepertinya ada yang menghambat untuk dibuka secara jelas masalahnya," kata Mahfud seperti dikutip pada Minggu (16/1/2022).
Dia pun memutuskan meminta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk melakukan Audit Tujuan Tertentu (ATT).
Mahfud menyebut hasilnya juga menemukan adanya pelanggaran peraturan perundang-undangan dan negara terus dirugikan.
"Makanya, saya putuskan untuk segera berhenti rapat melulu dan mengarahkan agar diproses secara hukum," kata dia.
Mahfud menjelaskan alasan kasus yang merugikan negara ratusan miliat tersebut baru diungkap ke publik. Padahal, kasus ini sudah dibahas pada 2018.
Dia menyampaikan bahwa saat itu dirinya belum menjadi Menko Polhukam sehingga tak tahu masalah tersebut secara rinci. Saat Mahfud telah menjabat Menko Polhukam, ada laporan bahwa pemerintah harus hadir ke sidang Arbitrase Singapura terkait proyek satelit Orbit 123.
"Saat saya diangkat jadi Menko, saya jadi tahu karena pada awal pandemi Covid-19, ada laporan bahwa pemerintah harus hadir lagi ke sidang Arbitrase di Singapura karena digugat Navayo untuk membayar kontrak dan barang yang telah diterima oleh Kemhan," jelas Mahfud.
Â
Dibuka ke Publik
Sebelumnya, Mahfud mengungkapkan adanya dugaan penyalahgunaan penyelewengan dalam pengelolaan satelit yang merupakan proyek Kementerian Pertahanan (Kemhan) pada 2015. Hal ini, kata dia, membuat negara diharuskan membayar kerugian dengan jumlah lebih dari Rp 800 milar.
"Kementerian Pertahanan pada tahun 2015, melakukan kontrak dengan Avanti untuk melakukan sesuatu. Padahal, anggarannya belum ada. Anggarannya belum ada, dia (Kemhan) sudah kontrak," kata Mahfud dalam konferensi pers virtual, Kamis 13 Januari 2022.
Adapun kontrak tersebut mencakup PT Avanti, Navayo, Airbus, Detente, Hogan Level, dan Telesat dalam kurun 2015 sampai 2016. Mahfud menyebut kontrak tersebut dilakukan Kemhan untuk membangun Satelit Komunikasi Pertahanan (Satkomhan).
Menurut dia, nilai kontrak untuk membangun proyek tersebut sangat besar dan belum masuk di APBN 2015 saat itu. Kemudian, PT Avanti menggugat pemerintah Indonesia melalui London Court Internasional Arbitration karena Kemhan tak kunjung membayar sewa satelit sesuai nilai kontrak yang sudah diteken.
Selanjutnya, pengadilan arbitrase Inggris memutuskan bahwa pemerintah harus menbayar sewa Satelit Artemis, biaya arbitrase, biaya konsultan, dan biaya filling satelit. Total yang harus dibayar pemerintah sebesar Rp 515 miliar.
"Jadi, negara membayar Rp 15 miliar untuk kontrak yang tidak ada dasarnya," ujar Mahfud.
Tak hanya itu, pemerintah juga diharuskan membayar USD 20.901.2019 atau sekitar Rp 304 miliar kepada pihak Navayo. Pemerintah juga berpotensi ditagih lagi oleh Airbus, Detente, Hogal Level, dan Telesat.
Advertisement