Liputan6.com, Jakarta Ketua Pergerakan Indonesia untuk Semua (PIS) Ade Armando mendorong Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan Judicial Review terhadap sejumlah Pasal dalam Undang-Undang Perkawinan, sehingga memberi ruang bagi pernikahan beda agama. Perubahan itu dinilai diperlukan agar tidak ada lagi warga yang terpaksa mengubah agamanya, demi bisa menikah dengan kekasihnya.
"PIS percaya setiap warga berhak untuk menikahi siapapun yang dicintainya tanpa harus mengorbankan agama yang diyakininya. Melangsungkan pernikahan dan memeluk agama seharusnya bukanlah dua hal yang saling meniadakan satu dengan yang lain. Karena itu, aturan yang mencederai hak-hak yang dijamin dalam konstitusi tersebut, harus ditinjau ulang," tutur Ade dalam siaran di akun YouTube Gerakan PIS pada Rabu, 22 Juni 2022.
Di tengah masyarakat, lanjut Ade, seringkali ada pasangan perempuan dan laki-laki yang saling jatuh hati dan ingin melangsungkan pernikahan, meski berbeda agama. Sementara, ada peluang pernikahan beda agama mengingat Indonesia adalah negara yang beragam budaya, etnis, dan agama.
Advertisement
Meski begitu, situasi yang umum dilakukan adalah salah satu pihak akhirnya mengubah keyakinannya agar perkawinannya sah di mata hukum. Praktik tersebut dilakukan demi memenuhi syarat formil UU Perkawinan.
"Mengapa kita tidak mau berempati bahwa bukan hal yang mudah bagi salah satu pihak yang ingin melangsungkan perkawinan beda agama untuk menundukkan diri terhadap agama pasangannya? Bukankah keyakinan dan kepercayaan terhadap Tuhan harus berangkat dari kesadaran diri yang mendalam dan secara sukarela, bukan paksaan eksternal?," jelas dia.
Menurut Ade, ketetapan tentang pelarangan nikah beda agama sebenarnya tidak disepakati secara mutlak oleh semua ahli agama. Dalam Islam, katanya, ada beragam tafsiran tentang sahnya pernikahan beda agama.
Dari situ, tidak dapat dipungkiri adanya tafsir yang mengizinkan pernikahan beda agama. Pandangan itu juga merujuk ayat dalam Alquran dan pengalaman sejumlah sahabat Nabi Muhammad.
Sebab hal tersebut adalah soal interpretasi, lanjut Ade, sudah selayaknya UU Perkawinan mengakomodasi pasangan yang berpandangan bahwa perkawinan beda agama adalah perkara yang dibolehkan. Bagi yang mengangap pernikahan beda agama dilarang sesuai keyakinannya, mereka dapat memilih untuk tidak menikah beda agama.
Sebaliknya, bila ada yang menganggap pernikahan beda agama sah menurut keyakinannya, tentu sepantasnya mereka dapat melaksanakan pernikahannya.
Sah Dimata Hukum
Dengan solusi tersebut, perkawinan dan pencatatan perkawinan berbeda agama tetap dianggap sah di mata hukum, tanpa dibedakan dengan pasangan perkawinan seiman. Hasilnya, UU Perkawinan menjadi UU yang dapat melindungi dan menjamin hak konstitusional dan hak asasi semua warga negara.
Untuk itu, Ade menegaskan pihaknya berharap para Hakim MK dapat mempertimbangkan berbagai gejala sosial yang terjadi di tengah masyarakat, demi perbaikan UU Perkawinan.
"Pernikahan adalah hak asasi dan merupakan perintah dari Allah SWT. Karenanya, pelaksanaannya tidak boleh dilarang oleh siapa pun," kata Ade.
Diketahui, seorang warga bernama E Ramos Petege mengajukan permohonan judicial review atas sejumlah Pasal dalam UU Perkawinan sejak Februari 2022 lalu. Warga asal Papua itu merupakan pemeluk Katolik, sementara kekasih yang hendak dinikahinya beragama Islam.
Pernikahannya pun dibatalkan lantaran UU Perkawinan tidak mengakomodasi pernikahan beda agama. Atas dasar itu, Ramos merasa hak konstitusionalnya telah dirugikan.
Advertisement
Kehilangan Kemerdekaan
Ramos merasa kehilangan kemerdekaan dalam memeluk agama dan kepercayaan, mengingat jika ingin melakukan perkawinan beda agama akan ada paksaan bagi salah satunya untuk mengubah keyakinan. Dia juga merasa kehilangan kemerdekaan untuk dapat melanjutkan keturunan dengan membentuk keluarga yang didasarkan pada kehendak bebas.
Sejumlah Pasal dalam UU Perkawinan yang digugat Ramos adalah Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 8 huruf f. Menurut Ramos, pasal-pasal yang diujikan tersebut bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) serta Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945.
Pasal 2 ayat (1) berbunyi, "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu." Pasal 2 ayat (2) berbunyi, "Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku." Pasal 8 huruf f berbunyi, "Perkawinan dilarang antara dua orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin."
Sedangkan pasal 28D ayat 1 berbunyi, "Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum." Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) berbunyi, "Negara berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa" dan "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya dan kepercayaannya itu."