Liputan6.com, Jakarta - Perempuan Bangsa melangsungkan pertemuan dengan para aktivis perempuan untuk merumuskan kebijakan kesetaraan gender untuk Indonesia yang lebih baik. Ketua Umum Perempuan Bangsa, Siti Mukaromah mengatakan, para aktivis yang dikumpulkan diberi kesempatan memberi masukan dari pelbagai sudut pandang tentang segala hal yang tengah menjadi topik perbincangan.
“Kami menggali berbagai masukan dari berbagai organisasi, tokoh, dan aktivis perempuan agar isu-isu perempuan menjadi program dan isu strategis kepemimpinan nasional,” kata Siti saat FGD Perempuan Bangsa dengan tema Perempuan Bergerak untuk Indonesia Lebih Baik di Hotel DoubleTree Jakarta, seperti dikutip dari siaran pers diterima, Senin (18/9/2023).
Baca Juga
Siti menambahkan, hal lain yang juga dibahas dalam pertemuan tersebut adalah evaluasi dan efektifitas afirmasi action kuota 30% yang implementasinya belum maksimal. Dia menjelaskan, kesetaraan gender dibutuhkan di semua tingkatan mulai dari pendidikan, pengakuan ulama perempuan dalam peran-peran keagamaan, hingga akses kesehatan reproduksi yang tidak diskriminatif, termasuk anggaran kesehatan untuk remaja perempuan dan ibu hamil dan lain sebagainya.
Advertisement
Menanggapi hal itu, Wakil Ketum DPP PKB, Ida Fauziyah mengamini, saampai saat ini akses dan partisipasi politik perempuan masih belum bisa disebut setara. Dia menyebut, demokrasi di Indonesia masih sangat formalitas dan substansial.
"Kita punya pekerjaan rumah sedemikian rupa, menurunkan stunting, menurunkan kemiskinan, dan lain-lain,” ujar Ida dalam kesempatan senada.
Ida lalu menyinggung soal aturan KPU (PKPU) Nomor 10 tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Khususnya pada Pasal 8 ayat (2) mengenai perhitungan syarat keterwakilan perempuan.
Menyambung apa yang disinggung oleh Ida, Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraeni mengatakan bahwa saat ini afirmasi masih menjadi beban bagi parpol.
"Ada diskonektifitas antara ruang kebijakan dan ruang kelembagaan di partai politik. Kerja-kerja penguatan perempuan politik harus terus dilakukan," sebut Titi.
“Walaupun ada kebijakan aktivisme yudisial oleh perempuan, tapi itu tidak cukup. Karena afirmasi masih dianggap beban. Politik dianggap mahal dan ekosistem politik tidak ramah dan tidak bersahabat dengan perempuan,” tambah Titi.
Titi menjelaskan, diskonektifitas antara satu undang-undang dengan undang-undang lainnya. Hal ini perlu menjadi prioritas setelah kontestasi Pemilu 2024. Selain itu, dirinya juga menyoroti dampak artificial intelligence (AI) bagi perempuan, terutama para pekerja perempuan yang kemudian akan digantikan dengan teknologi.
Isu Perempuan Climate Change dalam Perlu Didorong
Menambahkan diskusi terkait, Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Dian Kartika Sari mengatakan isu perempuan dalam climate change perlu didorong. Dia mencatat, ada tiga pilar yang harus diintervensi, yakni pilar ekonomi, pilar sosial dan Sumber Daya Alam (SDA).
"Perempuan tidak pernah terlibat dalam green economy, sirkular ekonomi, dan perlu terlibat dalam bagaimana mendesain energi terbarukan dan energi alternatif ramah perempuan," ujar Dian.
Sebagai informasi, sejumlah tokoh dan aktivis perempuan yang hadir yaitu Dr. Nur Rofiah, M.Sc, Dr. Maria Ulfah Anshor, M.Si, Dian Kartika Sari SE. MSc. PhD, Lita Anggraini, Luluk Nurhamidah (Anggota DPR RI Komisi VI), Nihayatul Wafiroh (Wakil Ketua Komisi IX DPR RI), Prof. Dr. Nurliyah Nurdin, S.Sos., MA, Nurher, Sharmila Yahya Zaini, Hindun Anisah (Presidium KPPI), Wahidah Suaib (Aktivis Pemilu dan Demokrasi). Turut hadir Ketua Dewan Pembina DPP Perempuan Bangsa, Roestini Muhaimin Iskandar, serta sejumlah Anggota FPKB DPR RI.
Advertisement