Liputan6.com, Jakarta Hakim Konstitusi Arief Hidayat mengungkapkan proses rapat putusan untuk seluruh gugatan uji materil Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, terkait batas usia capres dan cawapres. Pada pernyataannya dalam pendapat berbeda atau dissenting opinion, dia menyebut Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman hanya datang dalam pembahasan gugatan yang akhirnya dikabulkan sebagian.
Arief merinci, Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) pada Selasa, 19 September 2023 terkait pengambilan putusan terhadap Perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023, Perkara Nomor 51/PUU- XXI/2023, dan Perkara Nomor 55/PUU-XXI/2023, Anwar Usman tidak hadir. Sebab itu, forum dipimpin oleh Wakil Ketua.
Baca Juga
“Dan saya menanyakan mengapa ketua tidak hadir, Wakil Ketua kala itu menyampaikan bahwa ketidakhadiran ketua dikarenakan untuk menghindari adanya potensi konflik kepentingan atau conflict of interest disebabkan isu hukum yang diputus berkaitan erat dengan syarat usia minimal untuk menjadi Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden,” tutur Arief di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (16/10/2023).
Advertisement
“Di mana kerabat Ketua berpotensi diusulkan dalam kontestasi Pemilu Presiden 2024 sebagai Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden oleh salah satu partai politik, sehingga Ketua memilih untuk tidak ikut dalam membahas dan memutus ketiga perkara a quo,” sambung dia dalam sidang perkara batas usia capres-cawapres.
Pada akhirnya, kata Arief, ketiga perkara a quo yakni Perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023, Perkara Nomor 51/PUU-XXI/2023 dan Perkara Nomor 55/PUU-XXI/2023 diputus dengan komposisi mayoritas hakim menyatakan menolak permohonan a quo, meskipun ada pula hakim yang berpendapat lain.
“Namun demikian, pada Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 dan Perkara Nomor 91/PUU-XXI/2023 dengan isu konstitusionalitas yang sama, yaitu berkaitan dengan syarat minimal usia calon Presiden dan Calon Wakil Presiden, Ketua malahan ikut membahas dan memutus kedua perkara a quo, dan khusus untuk Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 diputus dengan amar dikabulkan sebagian,” ungkap Arief Hidayat.
Tak Habis Pikir
Arief mengaku tidak habis pikir dengan situasi tersebut. Terlebih, hal itu malah menimbulkan kejanggalan dan kecurigaan di kalangan hakim konstitusi yang turut serta dalam RPH tersebut.
“Sungguh tindakan yang menurut saya di luar nalar yang bisa diterima oleh penalaran yang wajar,” jelas dia.
Atas dasar itu, Arief kemudian mempersoalkan tindakan Anwar Usman dalam RPH pada Kamis, 21 September 2023. Menurutnya, Ketua MK pun beralasan ketidakhadiran pada pembahasan dan forum pengambilan keputusan pada Perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023, Perkara Nomor 51/PUU-XXI/2023 dan Perkara Nomor 55/PUU-XXI/2023 lebih dikarenakan masalah kesehatan.
“Dan bukan untuk menghindari konflik kepentingan atau conflict of interest sebagaimana disampaikan Wakil Ketua pada RPH terdahulu,” katanya.
Tidak sampai di situ, lanjut Arief, sebenarnya Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 dan Perkara Nomor 91/PUU-XXI/2023 yang dilayangkan oleh satu pemohon yakni Almas Tsaqibbirru telah dinyatakan dicabut oleh kuasa hukumnya pada Jumat, 29 September 2023. Namun berselang sehari yakni Sabtu, 30 September 2023, Pemohon membatalkan pencabutan kedua perkara a quo itu.
“Hal ini lah yang menurut saya aneh dan tak bisa diterima rasionalitasnya. Peristiwa ini turut menguji pula sisi integritas dan kenegarawanan seorang hakim konstitusi,” Arief menandaskan.
Advertisement
Hakim Saldi Isra Juga Dissenting Opinion: Peristiwa Aneh Luar Biasa
Hakim Konstitusi Saldi Isra pun memiliki pendapat berbeda atau dissenting opinion atas putusan tersebut. Dia mengaku tidak habis pikir dengan situasi tersebut.
“Saya bingung dan benar-benar bingung untuk menentukan harus dari mana memulai pendapat berbeda ini. Sebab, sejak menapakkan kaki sebagai Hakim Konstitusi di Gedung Mahkamah ini pada 11 April 2017, atau sekitar enam setengah tahun yang lalu, baru kali ini saya mengalami peristiwa aneh yang luar biasa dan dapat dikatakan jauh dari batas penalaran yang wajar. Mahkamah berubah pendirian dan sikapnya hanya dalam sekelebat,” tutur Saldi di Gedung MK, Jakarta, Senin (16/10/2023).
Saldi menguraikan, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51-55/PUU- XXI/2023, MK secara eksplisit, lugas, dan tegas menyatakan bahwa ihwal usia dalam norma Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 adalah wewenang pembentuk undang-undang untuk mengubahnya.
“Padahal, sadar atau tidak, ketiga Putusan tersebut telah menutup ruang adanya tindakan lain selain dilakukan oleh pembentuk undang-undang,” jelas dia.
Pembahasan dan pengambilan putusan permohonan Perkara Nomor 90/PUU-XX/2023 sendiri dihadiri oleh sembilan Hakim Konstitusi.
Kejanggalan Lain di MK
Beberapa Hakim Konstitusi dalam Perkara Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023 telah menyatakan Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 sebagai kebijakan hukum terbuka pembentuk undang-undang, kata Saldi, tiba-tiba berbeda sikap.
“Tiba-tiba menujukkan ketertarikan dengan model alternatif yang dimohonkan di dalam petitum Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023. Padahal, meski model alternatif yang dimohonkan oleh Pemohon dalam Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 secara substansial telah dinyatakan sebagai kebijakan hukum terbuka dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023. Tanda-tanda mulai bergeser dan berubahnya pandangan serta pendapat beberapa Hakim dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023 tersebut telah memicu pembahasan yang jauh lebih detail dan ulet. Karena itu, pembahasan terpaksa ditunda dan diulang beberapa kali,” bebernya.
Bahkan, setelahnya sempat terjadi hal yang sangat janggal yakni Pemohon Perkara Nomor 90-91/PUU-XXI/2023 sempat menarik permohonannya. Namun kemudian sehari setelahnya malah membatalkan kembali penarikan tersebut.
Advertisement
Putusan MK Atas Perkara 90/PUU-XXI/2023
Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang putusan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) terkait batas usia capres-cawapres di Jakarta, Senin (16/10/2023). Sidang perkara 90/PUU-XXI/2023 dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman.
Dalam sidang, MK mengabulkan sebagian gugatan yang diajukan Almas Tsaqibbirru yang mengajukan gugatan batas usia minimal calon presiden dan wakil presiden 40 tahun atau pernah jadi kepala daerah. Dia memohon agar aturan batas usia minimal 40 tahun tidak mengikat jika memiliki pengalaman sebagai kepala daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.
"Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian," ucap Ketua MK Anwar Usman saat membacakan putusan.
Menurut MK, batas usia paling rendah 40 tahun bertentangan dengan UUD dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, "Sepanjang tidak dimaknai, "Berusia paling rendah 40 tahun atau pernah, sedang menduduki jabatan yang dipilih, melalui pemilihan umum termasuk pemilihan umum daerah."," kata hakim MK.