Banjir Demak Disebut Jadi Isyarat Kemunculan Selat Muria, Ini Kata BRIN

Belakangan muncul isu banjir Demak disebut-sebut berhubungan dengan kemunculan kembali Selat Muria. Namun BRIN menyatakan, peristiwa banjir besar di Demak hingga Kudus tak ada kaitan dengan isyarat kemunculan kembali Selat Muria.

oleh Hanz Jimenez Salim diperbarui 21 Mar 2024, 13:45 WIB
Diterbitkan 21 Mar 2024, 13:44 WIB
Tanggul Jebol Biang Banjir Jepara dan Demak, Pj Nana Sudjana: Harus Dievaluasi
Penjabat Gubernur Jawa Tengah, Nana Sudjana meninjau lokasi banjir di Kabupaten Jepara dan Kabupaten Demak, Senin, 18 Maret 2024.

Liputan6.com, Jakarta - Banjir melanda Kabupaten Demak dan sekitarnya pada Selasa 19 Maret 2024. Jalur lalu lintas di wilayah tersebut sempat lumpuh total akibat jebolnya tanggul Sungai Wulan, bahkan ketinggian air mencapai 1,5 meter.

Belakangan muncul isu banjir Demak disebut-sebut berhubungan dengan kemunculan kembali Selat Muria. Selat Muria sendiri merupakan selat yang pernah ada dan menguhubungkan Pulau Jawa dan Pulau Muria.

Namun Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyatakan, peristiwa banjir besar di Demak hingga Kudus tak ada kaitan dengan isyarat kemunculan kembali Selat Muria.

Peneliti Pusat Riset Kebencanaan Geologi BRIN, Eko Soebowo menjelaskan bahwa banjir yang terjadi murni pengaruh alam akibat kondisi cuaca ekstrem.

"Cuaca memang ekstrem dan daerah aliran sungai di wilayah sana tidak mampu menampung volume air hujan yang tinggi karena terjadi sedimentasi," ujar Eko dilansir dari Antara, Kamis (21/3/2024).

Eko mengungkapkan, kegiatan pembabatan hutan dan perubahan tata guna lahan menjadi pemicu sedimentasi yang terjadi di sisi selatan.

Bahkan, pengambilan air tanah berlebihan membuat kawasan pesisir pantai utara Jawa mengalami penurunan muka tanah yang signifikan 5 sampai 10 cm per tahun.

Eko menambahkan, bentuk mitigasi yang dapat dilakukan untuk mengeringkan kembali daratan Demak hingga Kudus adalah pembenahan tata guna lahan.

Menurutnya, kawasan konservasi dan kawasan lindung yang dulu dibuka untuk kawasan komersial dan perumahan harus dikembalikan lagi fungsinya sebagai zona resapan air.

Selain itu, kata Eko, kegiatan pengambilan air tanah secara berlebihan juga harus dikurangi dengan membangun bendungan yang berfungsi sebagai sumber air bersih bagi masyarakat setempat, seperti Waduk Jatibarang di Semarang dan Waduk Jati Gede di Indramayu.

"Apakah banjir terjadi lautan lagi? Menurut pandangan kami itu tidak akan terjadi. Faktor utama kalau itu (daratan) kembali menjadi selat adalah kenaikan muka air laut," tambah Eko.

Sejarah dan Penyebab Selat Muria Menghilang

Kawasan Gunung Muria, dengan komplek makam dan masjid Sunan Muria
Kawasan Gunung Muria, dengan komplek makam dan masjid Sunan Muria. (Dok: Instagram @misbah.munir.69)

Selat Muria merupakan wilayah laut yang dahulunya pernah memisahkan daratan Jawa dengan Gunung Muria. Gunung tersebut merupakan gunung bertipe stratovolcano yang berada di pantai utara Jawa Tengah.

Dahulu Gunung Muria merupakan pulau hingga abad ke-17, wilayah perairannya berubah menjadi daratan karena endapan fluvio-marin. Daratan tersebut kini menjadi wilayah Kabupaten Kudus, Grobogan, Pati, dan Rembang.

Melalui laporan pada tahun 1657 menyebutkan, bahwa endapan fluvial dari sungai-sungai yang bermuara ke Selat Muria mengakibatkan pendangkalan. Diketahui sungai-sungai tersebut adalah Kali Serang, Sungai Tuntang, dan Sungai Lusi.

Ketika Selat Muria masih ada, jalurnya sering digunakan sebagai jalur transportasi dan tempat perdagangan yang ramai dilalui. Selat ini menghubungkan masyarakat Jawa Kuna dengan masyarakat pulau-pulau lain.

Melansir dari Merdeka, bukti Selat Muria pernah ada terbukti dengan adanya penemuan fosil hewan laut di Situs Purbakala Patiayam, Kudus. Selat ini juga pernah menjadikan kota Demak sebagai kota pelabuhan yang ramai.

Kawasan sekitar selat tersebut juga terdapat beberapa pelabuhan kecil, tetapi karena adanya konflik politik membuat komoditas yang berasal dari daerah sekitar Selat Muria beralih menuju ke Pelabuhan Sunda Kelapa. 

Namun, karena adanya sedimentasi dan pendangkalan, wilayah tersebut perlahan berubah menjadi daratan sampai saat ini.

Melansir dari Merdeka ketika masa glasial Gunung Muria bersama dengan pegunungan kecil di Patiayam dulunya bergabung dengan dataran utama Pulau Jawa. Namun, ketika interglasial kondisinya menjadi berbalik.

Volume air laut yang meningkat membuat dataran Gunung Muria dan Pulau Jawa menjadi terpisahkan oleh laut dangkal yang tidak terlalu lebar. Kemudian pada abad ke-17 Pulau Muria kembali menyatu dengan Pulau Jawa.

Diketahui, bergabungnya kedua pulau tersebut karena adanya pendangkalan dan perkembangan daratan alluvial di sepanjang pantai utara Jawa. Saat masih menjadi selat, tempat ini dikenal sebagai jalur perdagangan dan transportasi yang ramai.

Selat tersebut menjadi jalan untuk masyarakat yang tinggal di Pulau Jawa dan di pulau-pulau lainnya. Dahulu masyarakat yang ingin bepergian ke Kudus atau Demak harus menggunakan transportasi kapal.

Melansir dari Undip Selat Muria semakin dangkal setelah abad ke-17 dan kapal tidak bisa berlayar mengarunginya. Namun perahu-perahu kecil masih bisa mengarungi Selat Muria dari Demak hingga Juwana ketika musim hujan.

Pada tahun 1996, seorang peneliti bernama Lombard menjelaskan bahwa ada air laut dari Selat Muria yang masih tersisa sampai sekarang. Air tersebut terperangkap di dataran Jawa dan dikenal dengan Bledug Kuwu.

Menghilangnya Selat Muria konon menjadi kemunduran untuk Kerajaan Demak yang pernah berjaya pada masa silam. Pasalnya, pendangkalan di Selat tersebut menjadikan Demak yang berada di tepi Selat Muria berubah menjadi kota yang dikelilingi daratan.

Saat ini, masyarakat khawatir jika Selat Muria akan terbentuk lagi setelah terjadi banjir bandang yang melanda sejumlah wilayah di Kabupaten Demak dan Kudus.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya