Liputan6.com, Jakarta - Presiden Prabowo Subianto menegaskan kepada seluruh jajarannya untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih. Segala bentuk budaya mark up atau penggelembungan dana harus dihapuskan di kementerian, lembaga, hingga segala lini lainnya.
“Pemerintah yang saya pimpin tidak ragu-ragu, kita berpegang pada cita-cita pendiri bangsa Indonesia. Kita berniat baik, kita ingin memimpin bangsa Indonesia dengan pemerintah yang bersih, itu tekad kita. Dan Insyaaallah dengan kehendak dan niat yang baik, kita akan capai, Indonesia harus memiliki pemerintahan yang bersih,” tutur Prabowo dalam Musyawarah Rencana Pembangunan Nasional (Musrenbangnas) 2025-2029 di Gedung Bapennas, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (30/12/2024).
Baca Juga
Prabowo mengatakan, berkali-kali dalam setiap kesempatan dirinya mengulas pentingnya jajaran untuk menghentikan segala kebocoran. Dia pun kembali mengingatkan, aparat pemerintah sangat menentukan setiap kebocoran anggaran yang terjadi.
Advertisement
“Dan untuk seluruh aparat, budaya mark up, penggelembungan barang, proyek, dan anggaran itu adalah korupsi. Itu adalah merampok uang rakyat. Kalau bikin proyek Rp100 juta, ya Rp100 juta, bikin rumah Rp100 juta ya Rp100 juta, jangan bilang Rp150 juta,” jelas dia.
Prabowo menegaskan, pemerintahannya ingin melaksanakan pembangunan nasional dengan mengurangi segala bentuk kebocoran, manipulasi, hingga mark up. Hal itu pun membutuhkan andil semua pihak, baik yudikatif legislatif, dan aparat.
“Tadi yang saya katakan, sudah jelas rugi ratusan triliun vonisnya hanya sekian tahun. Ada yang curi ayam dipukulin,” ungkapnya.
“Musrenbangnas, terimakasih. Saudara yang paling dekat kepada rakyat, para bupati yang paling tahu masalah, Insyaallah dengan kita kelola dengan baik, real, dan tidak terlalu lama, dengan tadi program digitalisasic dengan e-government, e-catalog, kemungkinan untuk penggelembungan-penggelembungan sudah tidak akan, sudah sangat sulit di semua kementerian lembaga, kita akan lihat hasilnya,” Prabowo menandaskan.
Prabowo Singgung Vonis Ringan Harvey Moeis
Presiden Prabowo Subianto menginginkan hukuman berat bagi para pelaku tindak pidana yang merugikan negara hingga ratusan triliun. Dia pun seolah menyinggung vonis majelis hakim terhadap Harvey Moeis dan terdakwa lainnya di kasus korupsi komoditas timah, yang dinilai ringan oleh publik.
Awalnya, Prabowo meminta jajaran Kabinet Merah Putih untuk menghentikan segala kebocoran anggaran dari sisi manapun.
“Sekali lagi saya ingatkan, aparat pemerintah sangat menentukan kebocoran-kebocoran untuk dihentikan. Penyelundupan dari luar ke dalam adalah membahayakan kedaulatan bangsa Indonesia. Penyelundupan tekstil mengancam industri tekstil kita, mengancam ratusan ribu pekerja kita,” tutur Prabowo dalam Musyawarah Rencana Pembangunan Nasional (Musrenbangnas) 2025-2029 di Gedung Bapennas, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (30/12/2024).
“Saya nanti akan cari ahli-ahli hukum, apa wewenang yang bisa saya berikan kepada aparat, apakah kapalnya ditenggelamkan. Tolong para profesor di pemerintah tolong kasih saya masukan. Nanti dibilang saya nggak ngerti hukum lagi,” sambungnya.
Prabowo menyatakan, apabila telah terbukti melakukan pelanggaran yang merugikan negara hingga ratusan triliun, sudah sepatutnya majelis hakim menjatuhkan vonis yang berat.
“Saya mohon ya. Kalau sudah jelas melanggar, jelas mengakibatkan kerugian triliunan, semua unsur lah. Terutama juga hakim-hakim ya vonisnya jangan terlalu ringan lah. Nanti dibilang Prabowo nggak ngerti hukum,” jelas dia.
“Tapi rakyat pun ngerti, rakyat di pinggir jalan ngerti. Rampok triliunan, eh ratusan triliun, vonisnya sekian tahun. Nanti Jangan-jangan di penjara pakai AC, punya kulkas, TV, tolong Menteri Pemasyarakatan ya,” lanjutnya.
Advertisement
Singgung Banding Kejagung
Prabowo kemudian menyinggung langkah hukum banding yang diambil oleh Kejaksaan Agung (Kejagung), yang diketahui baru dilakukan terhadap vonis terdakwa kasus korupsi komoditas timah.
“Jaksa Agung, naik banding nggak? Naik banding ya? Naik banding. Vonisnya ya 50 tahun gitu ya kira-kira. Mari kita kembali ke jati diri kita, kembali ke 17 Agustus 1945. Saya tidak mau menyalahkan siapa pun, ini kesalahan kolektif kita,” Prabowo menandaskan.