Ahok Tegas Tolak Wacana Kepala Daerah Dipilih DPRD, Singgung Orde Baru

Mantan Gubernur Jakarta sekaligus politikus PDI Perjuangan (PDIP) Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dengan tegas menolak wacana kepala daerah dipilih Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Dia menyinggung zaman orde baru.

oleh Winda Nelfira diperbarui 01 Jan 2025, 01:05 WIB
Diterbitkan 01 Jan 2025, 01:05 WIB
Mantan Gubernur Jakarta sekaligus politikus PDI Perjuangan (PDIP) Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok di Balai Kota, Jakarta, Selasa (31/12/2024). (Liputan6.com/Winda Nelfira)
Mantan Gubernur Jakarta sekaligus politikus PDI Perjuangan (PDIP) Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok di Balai Kota, Jakarta, Selasa (31/12/2024). (Liputan6.com/Winda Nelfira)

Liputan6.com, Jakarta Mantan Gubernur Jakarta sekaligus politikus PDI Perjuangan (PDIP) Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dengan tegas menolak wacana kepala daerah dipilih Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Dia menyinggung zaman orde baru.

"Kan dari dulu saya tolak. Iya dong. Alasan paling penting kan kita harus mengalami zaman orde baru," kata Ahok di Balai Kota Jakarta, Selasa (13/12/2024).

Menurut Ahok, pemilihan kepada daerah yang harusnya berjalan secara demokrasi dari rakyat untuk rakyat tak akan berjalan. Wacana ini, kata dia, bakal membuat rakyat hanya menjadi penonton semata.

"Hasilnya apa? Rakyat kan cuma jadi penonton, nggak peduli," ujar dia.

Ahok menyebut, kepala daerah dipilih DPRD bakal membuka peluang bagi praktik-praktik politik tidak sehat. Pasalnya, kata Ahok, persetujuan terkait pemilihan kepala daerah bisa diatur secara bebas oleh ketua umum partai politik (parpol).

"Kita cuma deal-dealan sesama ketua umum partai. Deal-dealan juga bisa pakai duit juga. Oknum DPRD dibagi, diatur atau diancam untuk pilih orang tertentu yang sudah ditentukan. Kita pernah ngalamin kok, zaman orde baru kok," kata Ahok.

Diketahui, wacana kepala daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kembali mencuat usai digulirkan Presiden Prabowo Subianto dengan dalih efisiensi anggaran.

Menurut dia, anggaran besar yang digunakan untuk Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) bisa dialihkan untuk memberi makan anak-anak hingga perbaikan sekolah.

Hal ini disampaikan Jokowi dalam pidatonya di acara Hari Ulang Tahun (HUT) ke-60 Partai Golkar di Sentul, Bogor, Jawa Barat pada Kamis malam (12/12/2024) lalu, Prabowo menyebut Singapura, Malaysia, dan India berhasil menggunakan anggaran lebih efisien karena kepala daerah dipilih oleh DPRD.

Adapun isu ini bukan hal baru dalam politik Indonesia. Gagasan serupa juga sempat mengemuka di era Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan mendapat dukungan dari sejumlah tokoh politik, hingga Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), kala itu Bambang Soesatyo (Bamsoet).

Baca juga Wacana Kepala Daerah Dipilih DPRD Turunkan Kepercayaan Publik pada Prabowo

Prabowo Dapat Sentimen Negatif soal Wacana Kepala Daerah Dipilih DPRD

Usai Serahkan Jabatan Menhan, Presiden Prabowo Subianto Diarak ke Istana Negara
Presiden Prabowo Subianto (tengah) bersama Menteri Pertahanan (Menhan) Sjafrie Sjamsoeddin (kanan) dan Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto usai melaksanakan upacara acara serah terima jabatan di Gedung Kementerian Pertahanan, Jakarta, Selasa (22/10/2024). (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia (PPI), Adi Prayitno, menyebut isu kepala daerah dipilih DPRD pasti mendapatkan sentimen negatif dari publik. Menurutnya, hal ini adalah kemunduran demokrasi.

Hal ini disampaikan Adi menanggapi Lingkaran Survei Indonesia Denny JA (LSI Denny JA) yang mewanti-wanti potensi merosotnya kepercayaan publik kepada Prabowo Prabowo Subianto akibat isu kepala daerah dipilih DPRD. Sebab, wacana yang diusulkan Prabowo ini mendapat sentimen negatif dan penentangan dari publik.

"Jelas sentimen negatif kalau pilkada oleh DPRD, itu langkah mundur demokrasi," kata Adi saat dihubungi, Jumat (27/12/2024).

Pengamat politik dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu menyebut, wacana pilkada melalui DPRD mengebiri hak politik rakyat karena pasca-reformasi pemilihan pemimpin dilakukan secara langsung, bukan perwakilan.

Dia melanjutkan, calon kepala daerah dipilih DPRD berpotensi melahirkan calon tunggal lantaran semua partai bakal berkongsi dengan siapa pun pemenang pilpres atas nama koalisi besar.

"Buktinya, di pilkada serentak kemarin koalisi mayoritas banyak terjadi dan mengeroyok calon yang dari satu partai," ucap Adi.

Selain itu, kata Adi, wacana kepala daerah dipilih DPRD bisa memunculkan calon jadi-jadian demi menghindari calon tunggal karena sentimen koalisi besar. Sehingga, dikesankan diciptakan penantang, namun penantang itu sebatas formalis dan mudah dikalahkan.

"Meski dipilih DPRD, politik uang potensial masih terjadi ke DPRD yang punya suara memilih. Untuk dapat dukungan partai saja ada maharnya, apalagi untuk dapat dukungan DPRD untuk jadi kepala daerah pasti ada mahar juga," pungkasnya.

Wacana untuk mengembalikan mekanisme pilkada melalui DPRD kembali mencuat. Gagasan itu sempat mengemuka pada era SBY dan Jokowi. Namun redup karena tidak populer dan ditentang publik.

Wacana itu kini muncul lagi. Presiden Prabowo Subianto kembali menyuarakan kepala daerah dipilih DPRD. Alasannya, jika calon kepala daerah dipilih DPRD bisa lebih efisien. Anggaran negara pun bisa dimanfaatkan untuk hal lain. Wacana ini pun kembali menuai pro dan kontra.

Kepala Daerah Dipilih DPRD Untungkan Elite dan Rugikan Rakyat

Peneliti Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Saidiman Ahmad menyatakan, wacana kepala daerah dipilih kembali oleh DPRD menimbulkan resistensi yang cukup besar. Dari studinya, banyak masyarakat yang menolak.

"Jadi sebenarnya wacana pengembalian pemilihan kepala daerah ke DPRD sudah lama disuarakan sejumlah elite, tetapi gagal terus. Terutama, misalnya, resistansi dari publik sangat besar. Dari studi yang kami lakukan itu orang yang tidak setuju terhadap gagasan menghapus pilkada langsung itu besar sekali di masyarakat," kata Saidiman saat dihubungi, Jumat (13/12/2024).

Saidiman menilai, gagasan kepala daerah dipilih DPRD adalah bentuk dari fenomena di kalangan elite karena lelah berkompetisi di antara mereka. Sehingga, ada keinginan suatu penyelesaian di tingkat elite layaknya ciri khas orde baru.

"Wacana ini memang khas elite dan menjadi lebih kuat karena semacam ada semangat elite kita untuk mengembalikan mindset orde baru, di mana penyelenggaraan pemerintahan itu dilakukan di tingkat elite saja, publik tak diberikan kesempatan. Jadi itu mindset lama dan menguntungkan elite utama, jadi mereka menunjukkan siapa calon kepala daerah," ujar Saidiman.

Saidiman menyatakan, wacana pilkada dipilih DPRD jelas merugikan, karena rakyat tidak bisa menentukan atau mengevaluasi langsung apakah seorang kepala daerah baik atau tidak. Apakah calon kepala daerah layak atau tidak untuk memimpin daerahnya.

"Jadi evaluasinya tergantung kepada elite. Itu menurut saya akan sangat merugikan, karena pada kepala daerah tidak akan bisa bekerja maksimal karena mereka untuk bisa terpilih kembali adalah orientasinya menyenangkan para elite di atas, ketua ketua partai," ucap Saidiman.

"Saya kira kepentingan publik menjadi nomor dua, kepentingan elite yang utama. Jadi orientasinya akan berubah dan akan merugikan masyarakat," tegasnya.

Saidiman tidak sependapat bila pemilihan langsung menyebabkan pemborosan keuangan negara. Padahal, dengan kontrol publik, korupsi, kolusi, dan nepotisme bisa diawasi.

"Dengan ada kontrol publik, pembangunan itu jadi lebih efektif. Korupsi mungkin bisa ditekan karena ada kontrol publik langsung, jadi publik dibiasakan mengontrol pemimpinnya sampai di tingkat lokal. Itu bagus untuk meningkatkan transparansi," jelasnya.

Menurut Saidiman, tidak benar juga politik uang marak tejadi karena pemilihan langsung. Sebab, bila tak ada pemilihan langsung, uang yang beredar justru akan pindah ke elite.

"Mereka akan menyogok ketua-ketua partai. Kalau selama ini politik uang iya, tapi itu kan langsung ke masyarakat," ujar Saidiman.

"Dan ongkos mahal apa yang dikatakan penyelenggaraan pilkada itu biasanya karena ulah dari partai-partai sendiri. Kan mereka pakai politik uang, dan seterusnya itu. Artinya bukan pada sistemnya, tapi pada mindset si partainya," sambungnya.

Infografis Muncul Wacana Kepala Daerah Kembali Dipilih DPRD
Infografis Muncul Wacana Kepala Daerah Kembali Dipilih DPRD. (Liputan6.com/Gotri/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya