Kata Pakar: Konspirasi Kartel Pertanahan; Mafia Tanah Mengincar Laut

Fakta ratusan sertifikat telah diterbitkan di kawasan, yang jelas-jelas melanggar ketentuan hukum, menunjukkan adanya pelanggaran prosedur yang serius dalam tata kelola pertanahan.

oleh Tim News diperbarui 28 Jan 2025, 14:14 WIB
Diterbitkan 27 Jan 2025, 16:53 WIB
DR. Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa, S.SiT., M.H., M.Mar. (Pengamat Maritim Ikatan Alumni Lemhannas Strategic Center (IKAL SC).
DR. Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa, S.SiT., M.H., M.Mar. (Pengamat Maritim Ikatan Alumni Lemhannas Strategic Center (IKAL SC).... Selengkapnya

Liputan6.com, Jakarta - Penerbitan Sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) dan Sertifikat Hak Milik (SHM) di kawasan pagar laut pesisir Kabupaten Tangerang, Banten, telah menuai polemik hukum. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2021 juncto Permen ATR Nomor 18 Tahun 2021, sertifikat semacam ini hanya dapat diterbitkan di wilayah daratan pesisir, bukan di atas perairan laut.

Fakta bahwa ratusan sertifikat telah diterbitkan di kawasan, yang jelas-jelas melanggar ketentuan hukum, menunjukkan adanya pelanggaran prosedur yang serius dalam tata kelola pertanahan. Menteri ATR/BPN Nusron Wahid–sebagaimana disiarkan pers- menegaskan bahwa sertifikat tersebut, yang dikeluarkan oleh pejabat terdahulu, cacat secara hukum dan batal demi hukum.

Dalam konteks hukum administrasi negara, istilah "cacat prosedur" mengacu pada pelanggaran aturan formal dalam proses penerbitan sertifikat. Sementara itu, "cacat material" merujuk pada ketidaksesuaian substansi keputusan dengan hukum yang berlaku. Dalam kasus ini, kedua jenis cacat terjadi secara bersamaan.

Prosedur penerbitan yang menyimpang dari aturan formal menandakan lemahnya pengawasan administratif. Maka kasus ini mencerminkan tantangan besar dalam tata kelola pertanahan di Indonesia, khususnya dalam menghadapi praktik penyimpangan administratif.

Pelanggaran ini tidak hanya melibatkan pihak internal birokrasi, tetapi juga membuka peluang bagi oknum untuk mengambil keuntungan dari kelemahan sistem.

Oleh karenanya kasus penerbitan sertifikat di atas laut ini menjadi cerminan dari permasalahan mendasar dalam sistem pertanahan nasional.

Tidak hanya soal pelanggaran hukum, kasus ini juga menunjukkan adanya kebutuhan mendesak untuk memperkuat mekanisme pengawasan dan akuntabilitas birokrasi. Jika dibiarkan tanpa penanganan serius, masalah ini berpotensi melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan menciptakan preseden buruk dalam tata kelola pertanahan.

DR. Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa, S.SiT., M.H., M.Mar. (Pengamat Maritim Ikatan Alumni Lemhannas Strategic Center (IKAL SC).
DR. Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa, S.SiT., M.H., M.Mar. (Pengamat Maritim Ikatan Alumni Lemhannas Strategic Center (IKAL SC). (Dok. Istimewa)... Selengkapnya

Dampak Pembangunan Pagar Laut

Pembangunan pagar laut yang dimulai pada Juli 2024, kemudian menjadi perbincangan publik pada Januari 2025 setelah keluhan dari nelayan, mengungkapkan dampak sosial yang sangat serius. Nelayan yang sebelumnya menggantungkan hidup mereka pada hasil laut, kini kehilangan akses ke wilayah tangkap mereka.

Tidak hanya mengganggu mata pencaharian mereka, tetapi juga berpotensi memicu ketegangan sosial di antara masyarakat pesisir. Kehilangan akses terhadap sumber daya yang selama ini menjadi penopang kehidupan mereka, menciptakan ketidakpuasan dan keresahan yang bisa memperburuk hubungan sosial di wilayah pesisir.

Dampak sosial ini semakin diperburuk dengan potensi kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh pembangunan pagar laut. Ekosistem pesisir, yang merupakan habitat bagi berbagai spesies laut, kini terancam akibat perubahan aliran air dan sedimentasi yang terjadi sebagai dampak dari proyek tersebut.

Selain dampak sosial dan lingkungan, proyek pagar laut ini juga menimbulkan ketidakpastian hukum yang signifikan, terutama terkait dengan penerbitan sertifikat tanah. Penerbitan sertifikat tanah yang cacat hukum atau bahkan bodong (bermasalah) memperburuk kepercayaan masyarakat terhadap tata kelola agraria di Indonesia.

Sertifikat yang tidak sah atau bermasalah dapat menciptakan ketidakjelasan status hukum tanah, terutama yang terlibat dalam proyek pembangunan pagar laut. Penerbitan sertifikat bodong semakin memperburuk ketidakpastian ini, karena masyarakat tidak lagi merasa aman dengan hak-hak mereka atas tanah atau sumber daya alam.

Praktik mafia tanah yang melibatkan penerbitan sertifikat bodong, yang tidak sah dan tidak sesuai hukum, karuan saja menciptakan ketegangan yang lebih besar di antara masyarakat dan pemerintah, karena hal ini mengarah pada ketidakadilan yang dapat berlanjut menjadi konflik yang lebih besar.

Ketidakpastian hukum yang disebabkan oleh penerbitan sertifikat tanah yang cacat hukum atau palsu dalam proyek pagar laut ini, sangat berbahaya, baik bagi masyarakat yang terlibat langsung maupun bagi masyarakat yang terpinggirkan.

Dari itu administrasi pertanahan tidak dilakukan dengan benar, terutama terkait dengan pengelolaan tanah pesisir atau kawasan laut, maka dampaknya bukan hanya pada ketidakadilan sosial, tetapi juga merusak kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum dan tata kelola agraria yang seharusnya menjadi jaminan hak atas tanah.

Dugaan Praktik Mafia Tanah

Secara Serentak, Ribuan Personel Gabungan Bersama Nelayan Bongkar Pagar Laut di Tangerang
Pembongkaran dilakukan secara manual atau satu persatu, yakni dengan menarik pagar bambu dengan menggunakan tali yang terikat di perahu. (Magang/Liputan6.com/Muhammad Rizal)... Selengkapnya

Kasus penerbitan 263 bidang bersertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) dan 17 bidang Sertifikat Hak Milik (SHM) di kawasan laut pesisir Kabupaten Tangerang, Banten, ini juga mengindikasikan adanya praktik mafia tanah yang terorganisasi. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menilai bahwa tindakan ini adalah hasil dari celah hukum yang dimanfaatkan oleh kelompok tertentu untuk memperoleh keuntungan secara ilegal.

Mafia tanah, yang sering memanipulasi dokumen dan administrasi, beroperasi dengan cara yang merugikan negara dan masyarakat. Dalam kasus ini, masyarakat pesisir, khususnya para nelayan, menjadi korban langsung karena kehilangan akses terhadap wilayah yang seharusnya mereka gunakan untuk mencari nafkah.

Praktik mafia tanah kerap melibatkan aktor-aktor yang memiliki kuasa, baik di tingkat lokal maupun nasional. Dalam kasus ini, keterlibatan dua mantan menteri dalam menandatangani surat keputusan yang menjadi dasar penerbitan sertifikat di atas laut,semakin memperkuat dugaan adanya penyalahgunaan wewenang.

Keputusan yang melanggar Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2021 dan Permen ATR Nomor 18 Tahun 2021, ini mencerminkan lemahnya pengawasan dalam sistem agraria. Selain itu, keterlibatan pejabat tinggi menunjukkan bahwa jaringan mafia tanah tidak hanya terbatas pada level bawah, tetapi juga berakar hingga ke tingkat birokrasi pusat.

Kasus dugaan mafia tanah ini menjadi peringatan keras bagi pemerintah untuk lebih serius dalam membenahi sistem agraria nasional. Tanpa adanya langkah tegas dan reformasi yang menyeluruh, praktik seperti ini akan terus terjadi dan merugikan masyarakat luas. Mafia tanah bukan hanya persoalan hukum, tetapi juga persoalan keadilan sosial yang harus dituntaskan demi menciptakan sistem agraria yang adil dan berkelanjutan.

Estimasi Kerugian Negara

Secara Serentak, Ribuan Personel Gabungan Bersama Nelayan Bongkar Pagar Laut di Tangerang
Pagar bambu yang telah copot dikumpulkan lalu langsung dinaikkan ke atas kapal dan dibawa ke dermaga. (Magang/Liputan6.com/Muhammad Rizal)... Selengkapnya

Penerbitan sertifikat cacat hukum untuk 535 hektar tanah di wilayah pesisir tersebut, dengan estimasi harga tanah darat disekitar wilayah tersebut dijual oleh beberapa pengembang di rentang harga Rp20 juta hingga Rp25 juta per meter persegi, maka berdasarkan perhitungan sederhana menunjukkan potensi kerugian negara yang mencapai Rp134 triliun. Angka ini menjadi gambaran betapa besar dugaan korupsi yang melibatkan penerbitan sertifikat tersebut.

Jika wilayah ini dikembangkan menjadi kawasan komersial, nilai ekonominya berpotensi meningkat tajam, sehingga kerugian yang ditanggung tidak hanya berupa pendapatan negara yang hilang, tetapi juga kesempatan pembangunan yang terlewatkan. Kerugian yang dihasilkan dari kasus ini tidak hanya bersifat material tetapi juga sosial.

Masyarakat pesisir, khususnya para nelayan, kehilangan akses terhadap wilayah tangkap yang menjadi sumber penghidupan mereka. Penghilangan hak ini memperdalam ketimpangan sosial dan mengancam keberlanjutan kehidupan masyarakat lokal. Selain itu, kerugian sosial ini sulit dihitung secara angka, tetapi dampaknya terasa langsung pada kesejahteraan masyarakat yang seharusnya dilindungi oleh negara. Situasi ini menegaskan perlunya evaluasi mendalam terhadap kebijakan agraria yang melibatkan masyarakat secara langsung.

Dari sudut pandang tata kelola ruang, kasus ini berimplikasi pada terganggunya perencanaan wilayah yang seharusnya mengutamakan kepentingan publik. Ketidakpastian hukum yang menyertai penerbitan sertifikat tersebut menciptakan risiko besar bagi investor dan merusak citra Indonesia sebagai negara yang dapat dipercaya dalam hal investasi.

Pada saat yang sama, pembangunan di kawasan pesisir tanpa perencanaan yang tepat berpotensi menyebabkan kerusakan lingkungan, seperti degradasi ekosistem laut dan pesisir, yang akan berdampak jangka panjang bagi ekonomi dan lingkungan. Sehingga dalam konteks hukum pidana ekonomi, kerugian sebesar Rp134 triliun ini menjadi alasan kuat untuk dimulainya investigasi menyeluruh guna mendapatkan fakta-fakta empiris dari kasus tersebut.

Investigasi ini harus memastikan akuntabilitas terhadap semua pihak yang terlibat, mulai dari individu hingga institusi yang memungkinkan pelanggaran ini terjadi. Penegakan hukum yang tegas tidak hanya penting untuk mengembalikan kepercayaan publik, tetapi juga untuk memberikan efek jera bagi pihak-pihak yang berniat melakukan pelanggaran serupa di masa depan.

Peran Ombudsman dan Koordinasi KPK

Secara Serentak, Ribuan Personel Gabungan Bersama Nelayan Bongkar Pagar Laut di Tangerang
Untuk diketahui, pagar laut yang berada di kawasan Tanjung Pasir, Tangerang, membentang di sepanjang wilayah pesisir 16 desa di enam kecamatan. (Magang/Liputan6.com/Muhammad Rizal)... Selengkapnya

Dalam konteks persoalan pagar laut yang terkait dengan praktik mafia tanah, maka keterlibatan Ombudsman dalam mengidentifikasi indikasi adanya praktik korupsi menjadi sangat relevan. Ombudsman, sebagai lembaga pengawas pelayanan publik, memiliki peran vital dalam menyelidiki adanya maladministrasi yang merugikan negara dan masyarakat.

Kasus mafia tanah, yang sering melibatkan pemalsuan sertifikat dan penguasaan lahan secara ilegal, juga bisa melibatkan pengelolaan wilayah pesisir yang rawan terjadi pelanggaran. Praktik korupsi yang terjadi dalam administrasi pertanahan, baik di daratan maupun di laut, seringkali terkait dengan proses penerbitan sertifikat yang tidak sesuai aturan –bahkan bahkan pemanfaatan lahan negara yang disalahgunakan untuk kepentingan perusahanan (atau pribadi).

Dari itu Ombudsman harus bertindak sebagai pihak pertama yang mengungkap masalah, memulai penyelidikan, dan memverifikasi apakah terdapat ketidaksesuaian dalam proses administrasi pertanahan yang melibatkan mafia tanah. Ombudsman memiliki kapasitas untuk memeriksa laporan masyarakat yang mengungkapkan ketidakberesan dalam penerbitan sertifikat tanah atau hak pengelolaan lahan lainnya, baik yang melibatkan wilayah daratan maupun kawasan pesisir yang menjadi bagian dari masalah pagar laut.

Dengan memanfaatkan laporan dari masyarakat dan temuan langsung, Ombudsman dapat mengidentifikasi potensi tindak pidana yang merugikan negara serta merusak integritas sistem administrasi pertanahan, termasuk dalam pengelolaan tanah di wilayah pesisir yang menjadi bagian dari kebijakan pagar laut.Laporan-laporan ini, yang disertai oleh temuan dari Ombudsman, menjadi bahan yang sangat penting bagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mempercepat proses penyelidikan dan penindakan. Tanpa adanya pengawasan yang tegas, praktik mafia tanah, baik yang melibatkan lahan perumahan maupun kawasan pesisir, bisa tetap berkembang dan merugikan kepentingan publik.

Kerja Sama Ombudsman dan KPK

KPK, yang bertugas menindaklanjuti laporan berdasarkan bukti-bukti yang dikumpulkan oleh Ombudsman, memerlukan informasi awal yang kuat untuk memulai penyelidikan lebih lanjut. Oleh karena itu, kolaborasi antara Ombudsman dan KPK sangat penting untuk memastikan bahwa dugaan mafia tanah, terutama yang terkait dengan lahan pesisir atau penguasaan ilegal kawasan laut, dapat terdeteksi dan ditindaklanjuti secara serius.

Kerja sama ini juga memberikan kontribusi pada integritas sistem pengawasan publik yang lebih baik. Sinergi antara kedua lembaga tersebut memberi masyarakat peluang untuk lebih terlibat dan memastikan bahwa praktik korupsi dalam administrasi tanah, termasuk yang melibatkan wilayah laut, dapat dilawan dengan tegas.

Dengan adanya saluran pengaduan yang efektif, masyarakat akan merasa lebih terjamin bahwa kebijakan pemerintah terkait pengelolaan lahan dan wilayah pesisir berjalan sesuai dengan hukum, dan tidak disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu yang berusaha meraup keuntungan pribadi.

Kolaborasi yang efektif antara Ombudsman dan KPK akan mempercepat terungkapnya praktik mafia tanah, yang seringkali berakar pada masalah pengelolaan pertanahan yang tidak transparan dan rentan terhadap korupsi. Melalui pengawasan yang lebih ketat dan sinergi antar lembaga pengawas, kebijakan pemerintah mengenai pengelolaan tanah, termasuk dalam konteks pagar laut, dapat dijalankan dengan lebih transparan, adil, dan sesuai dengan hukum yang berlaku.

 

Oleh: DR. Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa, S.SiT., M.H., M.Mar. (Pengamat Maritim Ikatan Alumni Lemhannas Strategic Center (IKAL SC)

Infografis Pemasangan Pagar Laut dan Dampak ke Nelayan
Infografis Pemasangan Pagar Laut dan Dampak ke Nelayan. (Liputan6.com/Gotri/Abdillah)... Selengkapnya
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya