Konflik sosial yang berkepanjangan yang terjadi antara perusahaan pengelola Hutan Tanaman Industri, PT. Wira Karya Sakti (WKS), dan masyarakat Sinyerang, Jambi, berakhir. Kedua pihak menandatangani kesepakatan yang disaksikan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan Kementerian Kehutanan, Bambang Hendroyono, Jumat, 5 Juli 2013 lalu.
Bambang menjelaskan dalam kesepakatan itu Menteri Kehutanan juga menyetujui pengalokasian 2 hektar tanah per keluarga, untuk 2.002 keluarga di komunitas Seinyerang, berdasarkan skema kemitraan. Dari 4.004 hektar tanah yang dialokasikan, 1.001 hektar akan dijadikan perkebunan karet, sementara 3.003 hektar sisanya akan ditanami dengan akasia dengan skema bagi hasil.
“Saya bersyukur akhirnya didapat titik temu untuk areal yang dipersoalkan. Kesepakatan ini juga menjadi bagian dari upaya untuk menjamin hutan lestari,” ujar Bambang.
CEO Sinarmas Forestry Robin Mailoa juga menyambut baik kesepakatan itu. Ia menjelaskan kesepakatan itu tercipta melalui berbagai pertemuan yang difasilitasi oleh Kementerian Kehutanan dan the Forest Trust. Pihaknya juga menggunakan panduan dari Manajemen Konflik Kolaboratif dan Pemecahan Konflik dengan Bertanggung Jawab, sehingga PT WKS dan masyarakat Seinyerang mencapai kesepakatan baru untuk penyelesaian konflik.
“Hari ini merupakan hari yang sangat penting dalam sejarah WKS. Bersama dengan masyarakat, kami telah melalui proses panjang yang memerlukan komitmen dan ketekunan baik dari masyarakat Sinyerang maupun manajemen dan tim sosial kami,” ujar Robin melalui pesan tertulis yang diterima Liputan6.com, Minggu (7/7/2013).
Ia menambahkan penandatanganan kesepakatan penyelesaian konflik sosial itu merupakan hasil dari komunikasi multipihak yang mengedepankan musyawarah dan mediasi. Ini juga merupakan bukti nyata bahwa pihak industri dan komunitas masyarakat bisa mengesampingkan masalah dan bisa bekerja sama untuk mengutamakan pengelolaan hutan Indonesia dengan bertanggung jawab.
“PT WKS berterima kasih kepada seluruh pihak termasuk pemerintah, LSM dan masyarakat, yang telah bekerja keras untuk bersama mendukung kesuksesan seluruh proses ini, dan berharap bahwa kerjasama yang baik ini dapat diteruskan di masa depan,” imbuh Robin.
Dalam beberapa tahun terakhir ini, memang terdapat konflik sosial yang berkepanjangan antara PT. Wira Karya Sakti (WKS) dan masyarakat lokal di Sinyerang, Jambi. Konflik itu bermula pada 2002 dan merupakan ujung dari berbagai isu kompleks dalam hal peruntukan lahan sebagaimana yang ditetapkan Kementerian Kehutanan, dan peruntukan lahan sebagaimana yang diklaim masyarakat.
Kedua pihak sebelumnya juga pernah membuat kesepakatan 2004 lalu yang mencakup pendirian hutan rakyat seluas 673 hektare, perekrutan tenaga kerja dari masyarakat Sinyerang oleh WKS, dan pelaksanaan berbagai program pemberdayaan masyarakat. Namun kesepakatan ini putus tahun 2010 lalu. (Adi)
Bambang menjelaskan dalam kesepakatan itu Menteri Kehutanan juga menyetujui pengalokasian 2 hektar tanah per keluarga, untuk 2.002 keluarga di komunitas Seinyerang, berdasarkan skema kemitraan. Dari 4.004 hektar tanah yang dialokasikan, 1.001 hektar akan dijadikan perkebunan karet, sementara 3.003 hektar sisanya akan ditanami dengan akasia dengan skema bagi hasil.
“Saya bersyukur akhirnya didapat titik temu untuk areal yang dipersoalkan. Kesepakatan ini juga menjadi bagian dari upaya untuk menjamin hutan lestari,” ujar Bambang.
CEO Sinarmas Forestry Robin Mailoa juga menyambut baik kesepakatan itu. Ia menjelaskan kesepakatan itu tercipta melalui berbagai pertemuan yang difasilitasi oleh Kementerian Kehutanan dan the Forest Trust. Pihaknya juga menggunakan panduan dari Manajemen Konflik Kolaboratif dan Pemecahan Konflik dengan Bertanggung Jawab, sehingga PT WKS dan masyarakat Seinyerang mencapai kesepakatan baru untuk penyelesaian konflik.
“Hari ini merupakan hari yang sangat penting dalam sejarah WKS. Bersama dengan masyarakat, kami telah melalui proses panjang yang memerlukan komitmen dan ketekunan baik dari masyarakat Sinyerang maupun manajemen dan tim sosial kami,” ujar Robin melalui pesan tertulis yang diterima Liputan6.com, Minggu (7/7/2013).
Ia menambahkan penandatanganan kesepakatan penyelesaian konflik sosial itu merupakan hasil dari komunikasi multipihak yang mengedepankan musyawarah dan mediasi. Ini juga merupakan bukti nyata bahwa pihak industri dan komunitas masyarakat bisa mengesampingkan masalah dan bisa bekerja sama untuk mengutamakan pengelolaan hutan Indonesia dengan bertanggung jawab.
“PT WKS berterima kasih kepada seluruh pihak termasuk pemerintah, LSM dan masyarakat, yang telah bekerja keras untuk bersama mendukung kesuksesan seluruh proses ini, dan berharap bahwa kerjasama yang baik ini dapat diteruskan di masa depan,” imbuh Robin.
Dalam beberapa tahun terakhir ini, memang terdapat konflik sosial yang berkepanjangan antara PT. Wira Karya Sakti (WKS) dan masyarakat lokal di Sinyerang, Jambi. Konflik itu bermula pada 2002 dan merupakan ujung dari berbagai isu kompleks dalam hal peruntukan lahan sebagaimana yang ditetapkan Kementerian Kehutanan, dan peruntukan lahan sebagaimana yang diklaim masyarakat.
Kedua pihak sebelumnya juga pernah membuat kesepakatan 2004 lalu yang mencakup pendirian hutan rakyat seluas 673 hektare, perekrutan tenaga kerja dari masyarakat Sinyerang oleh WKS, dan pelaksanaan berbagai program pemberdayaan masyarakat. Namun kesepakatan ini putus tahun 2010 lalu. (Adi)