Putusan Mahkamah Agung (MA) yang mengabulkan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan koruptor dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), Sudjiono Timan mendapat sorotan banyak pihak. Salah satunya dari Praktisi dan Akademisi Fakultas Hukum Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar.
Dalam hal ini, dia melihat ada kesalahan yang dilakukan majelis PK. Salah satunya yakni majelis PK tidak melaksanakan profesinya tidak berpedoman pada hakekatnya fungsi hakim yang tidak sekadar "corong" undang-undang.
"Selain mempertimbangkan segi-segi kepastian hukum (wetmatig), majelis hakim PK juga memperhatikan segi keadilan dalam masyarakat (recht matige)," kata Abdul dalam keterangan tertulisnya, Rabu (28/8/2013).
Tak hanya itu, lanjut Abdul, dalam perkara korupsi majelis PK juga harus mempertimbangkan pengaruh putusannya terhadap program pemberantasan korupsi yang tengah gencar dilaksanakan semua pihak. Khususnya oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Majelis PK juga harus melihat pengaruhnya terhadap program pemberantasan korupsi yang sedang giat-giatnya dilakukan semua pihak dalam rangka mewujudkan Indonesia yang sejahtera dan bersih dari korupsi," kata Abdul.
Lebih jauh Abdul memandang, bahwa lembaga-lembaga terkait, seperti Komisi Yudisial (KY) tak boleh berdiam diri melihat "keanehan" dalam putusan PK tersebut. KY dirasa sangat perlu turun tangan guna memeriksa para majelis PK yang mengabulkan PK Sudjiono tersebut.
"Dalam setting sosial di mana penegakkan hukum sudah beratmosfir industri, KY wajib memeriksa para hakim yang memutus," ucap Abdul.
Mahkamah Agung (MA) sebelumnya mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan Sudjiono Timan. Padahal koruptor dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) itu dalam tingkat kasasi oleh MA divonis 15 tahun penjara.
Perkara yang diketok pada 13 Juli 2013 ini ditangani oleh majelis PK yang diketuai Hakim Agung Suhadi dengan anggota Sophian Martabaya dan Andi Samsan Nganro serta 2 hakim adhoc Tipikor.
Sebagai informasi, Sudjiono Timan adalah Direktur Utama PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI). Dalam perkara korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), Sudjiono dinilai telah merugikan Negara sebesar US$ 120 juta dan Rp 98,7 juta.
Pada tingkat pertama, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memvonis bebas Sudjiono Timan. Jaksa tak terima dengan putusan itu. Karena dalam tuntutannya, jaksa meminta hakim memvonis Sudjiono 8 tahun penjara, denda Rp 30 juta, serta membayar uang pengganti Rp 1 triliun. Jaksa pun mengajukan kasasi.
Di tingkat kasasi, MA mengabulkan permohonan Jaksa. Majelis Kasasi yang diketuai Bagir Manan menjatuhkan vonis 15 tahun penjara dan denda Rp 50 juta kepada Sudjiono. Tak hanya itu, Majelis Kasasi juga meminta Sudjiono membayar uang pengganti sebanyak Rp 369 miliar.
Namun, hingga saat ini Kejaksaan belum dapat mengeksekusi Sudjiono. Sebab sejak 7 Desember 2004 keberadaan Sudjiono tidak diketahui rimbanya. Sudjiono juga sudah tidak tinggal di rumahnya lagi di Jalan Diponegoro Nomor 46, Menteng, Jakarta Pusat. (Ali)
Dalam hal ini, dia melihat ada kesalahan yang dilakukan majelis PK. Salah satunya yakni majelis PK tidak melaksanakan profesinya tidak berpedoman pada hakekatnya fungsi hakim yang tidak sekadar "corong" undang-undang.
"Selain mempertimbangkan segi-segi kepastian hukum (wetmatig), majelis hakim PK juga memperhatikan segi keadilan dalam masyarakat (recht matige)," kata Abdul dalam keterangan tertulisnya, Rabu (28/8/2013).
Tak hanya itu, lanjut Abdul, dalam perkara korupsi majelis PK juga harus mempertimbangkan pengaruh putusannya terhadap program pemberantasan korupsi yang tengah gencar dilaksanakan semua pihak. Khususnya oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Majelis PK juga harus melihat pengaruhnya terhadap program pemberantasan korupsi yang sedang giat-giatnya dilakukan semua pihak dalam rangka mewujudkan Indonesia yang sejahtera dan bersih dari korupsi," kata Abdul.
Lebih jauh Abdul memandang, bahwa lembaga-lembaga terkait, seperti Komisi Yudisial (KY) tak boleh berdiam diri melihat "keanehan" dalam putusan PK tersebut. KY dirasa sangat perlu turun tangan guna memeriksa para majelis PK yang mengabulkan PK Sudjiono tersebut.
"Dalam setting sosial di mana penegakkan hukum sudah beratmosfir industri, KY wajib memeriksa para hakim yang memutus," ucap Abdul.
Mahkamah Agung (MA) sebelumnya mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan Sudjiono Timan. Padahal koruptor dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) itu dalam tingkat kasasi oleh MA divonis 15 tahun penjara.
Perkara yang diketok pada 13 Juli 2013 ini ditangani oleh majelis PK yang diketuai Hakim Agung Suhadi dengan anggota Sophian Martabaya dan Andi Samsan Nganro serta 2 hakim adhoc Tipikor.
Sebagai informasi, Sudjiono Timan adalah Direktur Utama PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI). Dalam perkara korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), Sudjiono dinilai telah merugikan Negara sebesar US$ 120 juta dan Rp 98,7 juta.
Pada tingkat pertama, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memvonis bebas Sudjiono Timan. Jaksa tak terima dengan putusan itu. Karena dalam tuntutannya, jaksa meminta hakim memvonis Sudjiono 8 tahun penjara, denda Rp 30 juta, serta membayar uang pengganti Rp 1 triliun. Jaksa pun mengajukan kasasi.
Di tingkat kasasi, MA mengabulkan permohonan Jaksa. Majelis Kasasi yang diketuai Bagir Manan menjatuhkan vonis 15 tahun penjara dan denda Rp 50 juta kepada Sudjiono. Tak hanya itu, Majelis Kasasi juga meminta Sudjiono membayar uang pengganti sebanyak Rp 369 miliar.
Namun, hingga saat ini Kejaksaan belum dapat mengeksekusi Sudjiono. Sebab sejak 7 Desember 2004 keberadaan Sudjiono tidak diketahui rimbanya. Sudjiono juga sudah tidak tinggal di rumahnya lagi di Jalan Diponegoro Nomor 46, Menteng, Jakarta Pusat. (Ali)