PDIP menilai Pilkada Bali masih menuai kontraversi, terkait kemenangan pasangan Mangku Pastika-Ketut Sudikerta yang diputus Ketua Mahkamah Konstitusi nonaktif Akil Mochtar. Saat itu gugatan dilayangkan pasangan PDIP, Anak Agung Ngurah Puspayoga-Dewa Nyoman Sukraman (PAS).
Wakil Sekjen DPP PDIP Hasto Kritiyanto mengatakan, lebih dari 138 TPS di Kabupaten Karangasem, Bali ditemukan pemilih mencoblos lebih dari 1 kali atau diwakilkan.
"Berdasarkan ketentuan UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, Pasal 104 nyata-nyata ditegaskan bahwa pemungutan suara di TPS dimana pemilih mencoblos lebih dari 1 kali atau diwakilkan seharusnya diulang," kata Hasto kepada Liputan6.com, Jakarta, Senin (7/10/2013).
Menurut Hasto, sejumlah saksi yang disampaikan pasangan PAS sudah membuktikan hal tersebut dan kebenarannya diakui MK. Namun, kata dia, aneh ketika Akil Mochtar justru membuat dalil hukum baru.
"Menurut Akil, mencoblos lebih dari 1 kali atau diwakilkan dapat dibenarkan, selama hasil kesepakatan atau tidak dipersoalkan di TPS, dan tidak ada manipulasi, serta pernah dilakukan dalam pemilu sebelumnya," ungkap dia.
Hasto menilai dalil Akil ini sebagai `akrobat hukum`. Bahkan, kata dia, selidik punya selidik ternyata berdasarkan informasi yang cukup akurat, ada dana puluhan miliar beredar. "Sekurangnya Rp 80 miliar yang beredar dan diduga menjadi fulus bagi Akil," ucap dia.
Lebih lanjut Hasato mengaku, tertangkapnya Akil membuka kembali kontroversi Pemilukada Bali. Dangan selisih 996 suara, dan dugaan proyek kekuasaan yang bekerja di Bali, serta dugaan mudahnya menyuap Akil, dan bukti otentik berupa dalil hukum yang kontroversial, membuat rakyat Bali bangkit kesadarannya untuk menggugat.
"Dengan tertangkapnya Akil Mochtar adalah jalan Tuhan untuk kembalinya kedaulatan rakyat di Bali. Bagaimana membuktikan dana yang diduga diterima Akil. Gampang saja, cek passport seluruh keluarga Akil Mochtar. Dari situlah ada petunjuk kapan dan dimana dana disimpan," ujar dia.
"Kemudian, buka rekaman KPK dan audit kekayaan Akil dan keluarga," sambung Hasto.
Selain itu, lanjut Hasto, jelang Pilkada Bali sang Ketua Umum PDIP Megawati Sukarno Putri pun menjadi korban pengerahan intelijen di Bali. "Cerita selengkapnya tentang campur tangan intel di Pilkada Bali, ada di Pak TB Hasanudin."
"Bagaimana menangani masalah-masalah yang kontroversial atas sengketa pilkada yang ditangani Akil?" lanjut Hasto.
Namun lanjut dia, secara sederhananya pada dasarnya demokrasi yang dibangun adalah demokrasi substansial. Keputusan MK bersifat pertama, terakhir dan final, hanya benar apabila `ketokan palu` tersebut dipegang hakim MK yang kredibel, tidak korup, dan tidak narkoba.
"Jadi seharusnya dibentuk panel hukum yang baru, yang merupakan kombinasi dari pakar-pakar hakim MA dan MK yang kredibel. Disitulah salah satu ruang lingkup Perpu," tegas dia.
Hasto menambahkan, ruang lingkup Perpu yang lain adalah menempatkan kewenangan MA, melalui pengadilan negeri untuk sengketa tingkat Kabupaten Kota, atau Pengadilan Tinggi untuk sengketa Pilkada Tingkat Propinsi.
"Dan banding atas keputusan di Pengadilan Negeri dan pengadilan tinggi, dilakukan di MK. Disitulah tercipta check and balances," pungkas Hasto.(Adi)
Wakil Sekjen DPP PDIP Hasto Kritiyanto mengatakan, lebih dari 138 TPS di Kabupaten Karangasem, Bali ditemukan pemilih mencoblos lebih dari 1 kali atau diwakilkan.
"Berdasarkan ketentuan UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, Pasal 104 nyata-nyata ditegaskan bahwa pemungutan suara di TPS dimana pemilih mencoblos lebih dari 1 kali atau diwakilkan seharusnya diulang," kata Hasto kepada Liputan6.com, Jakarta, Senin (7/10/2013).
Menurut Hasto, sejumlah saksi yang disampaikan pasangan PAS sudah membuktikan hal tersebut dan kebenarannya diakui MK. Namun, kata dia, aneh ketika Akil Mochtar justru membuat dalil hukum baru.
"Menurut Akil, mencoblos lebih dari 1 kali atau diwakilkan dapat dibenarkan, selama hasil kesepakatan atau tidak dipersoalkan di TPS, dan tidak ada manipulasi, serta pernah dilakukan dalam pemilu sebelumnya," ungkap dia.
Hasto menilai dalil Akil ini sebagai `akrobat hukum`. Bahkan, kata dia, selidik punya selidik ternyata berdasarkan informasi yang cukup akurat, ada dana puluhan miliar beredar. "Sekurangnya Rp 80 miliar yang beredar dan diduga menjadi fulus bagi Akil," ucap dia.
Lebih lanjut Hasato mengaku, tertangkapnya Akil membuka kembali kontroversi Pemilukada Bali. Dangan selisih 996 suara, dan dugaan proyek kekuasaan yang bekerja di Bali, serta dugaan mudahnya menyuap Akil, dan bukti otentik berupa dalil hukum yang kontroversial, membuat rakyat Bali bangkit kesadarannya untuk menggugat.
"Dengan tertangkapnya Akil Mochtar adalah jalan Tuhan untuk kembalinya kedaulatan rakyat di Bali. Bagaimana membuktikan dana yang diduga diterima Akil. Gampang saja, cek passport seluruh keluarga Akil Mochtar. Dari situlah ada petunjuk kapan dan dimana dana disimpan," ujar dia.
"Kemudian, buka rekaman KPK dan audit kekayaan Akil dan keluarga," sambung Hasto.
Selain itu, lanjut Hasto, jelang Pilkada Bali sang Ketua Umum PDIP Megawati Sukarno Putri pun menjadi korban pengerahan intelijen di Bali. "Cerita selengkapnya tentang campur tangan intel di Pilkada Bali, ada di Pak TB Hasanudin."
"Bagaimana menangani masalah-masalah yang kontroversial atas sengketa pilkada yang ditangani Akil?" lanjut Hasto.
Namun lanjut dia, secara sederhananya pada dasarnya demokrasi yang dibangun adalah demokrasi substansial. Keputusan MK bersifat pertama, terakhir dan final, hanya benar apabila `ketokan palu` tersebut dipegang hakim MK yang kredibel, tidak korup, dan tidak narkoba.
"Jadi seharusnya dibentuk panel hukum yang baru, yang merupakan kombinasi dari pakar-pakar hakim MA dan MK yang kredibel. Disitulah salah satu ruang lingkup Perpu," tegas dia.
Hasto menambahkan, ruang lingkup Perpu yang lain adalah menempatkan kewenangan MA, melalui pengadilan negeri untuk sengketa tingkat Kabupaten Kota, atau Pengadilan Tinggi untuk sengketa Pilkada Tingkat Propinsi.
"Dan banding atas keputusan di Pengadilan Negeri dan pengadilan tinggi, dilakukan di MK. Disitulah tercipta check and balances," pungkas Hasto.(Adi)