Wakil Ketua Komisi II DPR Fraksi Partai Demokrat Khatibul Umam Wiranu menyatakan setuju dengan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menetapkan mulai 2019 pemilu legislatif dan pemilu presiden dilakukan secara serentak.
"Keputusan ini memberi makna yang penting dan memperkuat sistem presindensil, pemilu presiden itu dibarengkan waktunya sama dengan pemilu legislatif," kata Umam kepada Liputan6.com, di Jakarta, Jumat (24/1/2014).
Umam menilai, manfaatnya dari pemilu serentak adalah partai politik peserta pemilu akan berkoalisi lebih dini sebelum pemilu itu digelar. Dia menambahkan, bila presiden terpilih akan memutuskan suatu kebijakan akan lebih mudah jika koalisi dibentuk dan diperkuat sebelum diadakannya pemilu serentak.
"Buat partai itu memaksa untuk melakukan koalisi terlebih dahulu sebelum ada pemilu, itu positifnya. Sistem presidensil berbasis pada keputusan di tangan presiden lebih kuat. Jadi untuk presiden mengambil keputusan harus didukung penuh oleh parpol yang mengusungnya, itu akan lebih kuat," jelasnya.
Namun begitu, Umam juga mempertanyakan terkait keputusan MK tersebut kenapa baru diumumkan sekarang. Padahal sejak Maret 2013 atau 10 bulan yang lalu sudah pernah diputuskan Ketua MK sebelumnya yakni Mahfud MD.
"Jadi keputusannya yang memutuskan itu di antaranya Mahfud MD, Akil Mochtar, Ahmad sodiki, Hamdan Zoelva, Maria Farida, Haryono dan Anwar Usman. Kenapa baru diumumkan sekarang, sehingga legitimasi keputusan ini perlu kita pertanyakan, ada apa dengan keputusannya?" ujar Umam.
Ia juga mengaku heran, bila keputusan MK secara teknis dilaksanakan setelah dibacakanpada Kamis 23 Januari kemarin, namun kenapa dilaksanakannya pada 2019.
"Kalau saya mempertanyakan kenapa 2019, meskipun kita bisa menerima sampai 2019. Sebenarnya keputusan MK menurut undang-undang bersifat final dan mengikat, ini yang agak rancu. Kalau tetap di 2014 pemilu serentaknya, ini tinggal menyesuaikan di Komisi II apakah pilegnya sama dengan pilpres atau pilpresnya," pungkas Umam.
MK memutus mengabulkan permohonan uji materi Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pemilu serentak terhadap Undang-Undang Nomor 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (UU Pilpres). Dalam amar putusannya, MK menyatakan penyelenggaraan Pileg dan Pilpres dilakukan serentak mulai 2019, bukan pada 2014 ini.
Menurut Mahkamah, pemilu serentak tak bisa dilakukan serentak pada 2014 ini karena persiapan yang sudah berjalan dan sudah mendekati pelaksanaan. Sehingga jika Pemilu 2014 dipaksa dilaksanakan serentak, maka dikhawatirkan akan menimbulkan kekacauan dan ketidakpastian hukum. (Mut)
Baca juga:
Hanura: Putusan Pemilu Serentak MK Pertaruhkan Legitimasi 2014
Pemilu Serentak 2019, Demokrat: MK Ambil Langkah Tepat
Yusril: UU Pilpres Tetap Sah untuk Pemilu 2014
"Keputusan ini memberi makna yang penting dan memperkuat sistem presindensil, pemilu presiden itu dibarengkan waktunya sama dengan pemilu legislatif," kata Umam kepada Liputan6.com, di Jakarta, Jumat (24/1/2014).
Umam menilai, manfaatnya dari pemilu serentak adalah partai politik peserta pemilu akan berkoalisi lebih dini sebelum pemilu itu digelar. Dia menambahkan, bila presiden terpilih akan memutuskan suatu kebijakan akan lebih mudah jika koalisi dibentuk dan diperkuat sebelum diadakannya pemilu serentak.
"Buat partai itu memaksa untuk melakukan koalisi terlebih dahulu sebelum ada pemilu, itu positifnya. Sistem presidensil berbasis pada keputusan di tangan presiden lebih kuat. Jadi untuk presiden mengambil keputusan harus didukung penuh oleh parpol yang mengusungnya, itu akan lebih kuat," jelasnya.
Namun begitu, Umam juga mempertanyakan terkait keputusan MK tersebut kenapa baru diumumkan sekarang. Padahal sejak Maret 2013 atau 10 bulan yang lalu sudah pernah diputuskan Ketua MK sebelumnya yakni Mahfud MD.
"Jadi keputusannya yang memutuskan itu di antaranya Mahfud MD, Akil Mochtar, Ahmad sodiki, Hamdan Zoelva, Maria Farida, Haryono dan Anwar Usman. Kenapa baru diumumkan sekarang, sehingga legitimasi keputusan ini perlu kita pertanyakan, ada apa dengan keputusannya?" ujar Umam.
Ia juga mengaku heran, bila keputusan MK secara teknis dilaksanakan setelah dibacakanpada Kamis 23 Januari kemarin, namun kenapa dilaksanakannya pada 2019.
"Kalau saya mempertanyakan kenapa 2019, meskipun kita bisa menerima sampai 2019. Sebenarnya keputusan MK menurut undang-undang bersifat final dan mengikat, ini yang agak rancu. Kalau tetap di 2014 pemilu serentaknya, ini tinggal menyesuaikan di Komisi II apakah pilegnya sama dengan pilpres atau pilpresnya," pungkas Umam.
MK memutus mengabulkan permohonan uji materi Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pemilu serentak terhadap Undang-Undang Nomor 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (UU Pilpres). Dalam amar putusannya, MK menyatakan penyelenggaraan Pileg dan Pilpres dilakukan serentak mulai 2019, bukan pada 2014 ini.
Menurut Mahkamah, pemilu serentak tak bisa dilakukan serentak pada 2014 ini karena persiapan yang sudah berjalan dan sudah mendekati pelaksanaan. Sehingga jika Pemilu 2014 dipaksa dilaksanakan serentak, maka dikhawatirkan akan menimbulkan kekacauan dan ketidakpastian hukum. (Mut)
Baca juga:
Hanura: Putusan Pemilu Serentak MK Pertaruhkan Legitimasi 2014
Pemilu Serentak 2019, Demokrat: MK Ambil Langkah Tepat
Yusril: UU Pilpres Tetap Sah untuk Pemilu 2014