Penelitian: 1 dari 3 Penyintas Covid Alami Kecemasan dan Insomnia Setelah Pemulihan

Sebuah studi baru dari Oxford menemukan bahwa satu dari tiga orang yang selamat dari Covid-19 didiagnosis dengan kondisi neurologis atau kejiwaan.

oleh Liputan6.com diperbarui 19 Apr 2021, 08:00 WIB
Diterbitkan 19 Apr 2021, 08:00 WIB
Ilustrasi kesehatan mental
ilustrasi kesehatan mental

Liputan6.com, Jakarta Sebuah studi baru dari Oxford menemukan bahwa satu dari tiga orang yang selamat dari Covid-19 didiagnosis dengan kondisi neurologis atau kejiwaan dalam waktu enam bulan setelah terinfeksi.

Melansir dari CNBC, Senin (19/4/2021), kondisi kesehatan mental yang paling umum adalah gangguan kecemasan, gangguan mood (seperti depresi), gangguan penyalahgunaan zat dan insomnia. 

Kondisi neurologis termasuk hal-hal seperti pendarahan otak, yaitu pendarahan yang mengganggu fungsi otak; stroke iskemik, yang disebabkan ketika pembuluh yang memasok darah ke otak tersumbat; dan demensia.

Untuk penelitian tersebut, para peneliti melihat catatan kesehatan pasien sejumlah lebih dari 230.000 orang yang telah dikonfirmasi kasus Covid di Amerika Serikat. Mereka memperkirakan kemungkinan orang didiagnosis dengan gangguan neurologis atau mental setelah infeksi Covid-19 adalah sebesar 34%.

Kondisi kejiwaan jauh lebih umum, tetapi kondisi neurologis "signifikan, terutama pada mereka yang menderita Covid-19 parah," kata profesor Paul Harrison, penulis utama studi dari Departemen Psikiatri di Universitas Oxford, dalam rilisnya.

Bagaimana Covid dan virus lainnya mempengaruhi otak

Psikologi - kesehatan mental (iStockphoto)
Ilustrasi psikologi - kesehatan mental (iStockphoto)

Selain gejala khas infeksi Covid, seperti demam, batuk, dan sesak napas, 25% orang mengalami gejala yang berkaitan dengan otak dan sistem saraf mereka, termasuk pusing, sakit kepala, kelelahan yang melemahkan dan "kabut otak" atau gangguan kognitif, yaitu kesulitan mengingat, belajar dan berkonsentrasi. 

Sementara gejalanya cenderung hilang begitu seseorang pulih, beberapa penderita Covid tetap mengalami efek jangka panjang yang bertahan lama. Pada tahap ini, para peneliti tidak yakin apa mekanisme fisiologis sebenarnya yang mendorong gejala neurologis dan kognitif. 

Sebuah studi di New England Journal of Medicine telah meneliti jaringan otak dari orang yang meninggal karena Covid dan memperhatikan kombinasi peradangan dan kebocoran pembuluh darah di otak.

“Banyak gejala neurologis Covid-19 kemungkinan dijelaskan oleh respons peradangan tubuh yang meluas terhadap infeksi dan cedera pembuluh darah yang terkait, bukan oleh infeksi jaringan otak itu sendiri,” ujar Dr. Francis Collins, direktur National Institutes of Health.

Covid juga tampaknya memiliki efek yang lebih kuat pada kesehatan neurologis dan mental orang daripada kondisi pernapasan lainnya. Dalam studi baru, secara keseluruhan terdapat risiko 44% lebih besar untuk diagnosis kesehatan neurologis dan mental setelah Covid-19 daripada setelah flu, dan 16%. risiko lebih besar setelah COVID-19 dibandingkan dengan infeksi saluran pernapasan.

Dampak kesehatan mental dari Covid

Sementara kebanyakan orang menghadapi lebih banyak masalah kesehatan mental daripada biasanya selama pandemi, kecemasan dan stres yang menyertai diagnosis Covid adalah signifikan, bahkan bagi mereka yang sudah pulih.

Para peneliti menulis bahwa prevalensi kondisi kesehatan mental di antara para penyintas Covid "mencerminkan, setidaknya sebagian, implikasi psikologis dan lainnya dari diagnosis Covid-19 daripada menjadi manifestasi langsung dari penyakit tersebut."

Penelitian sebelumnya dari kelompok yang sama di Oxford menemukan bahwa orang yang didiagnosis dengan Covid lebih mungkin didiagnosis dengan masalah kesehatan mental daripada orang yang menghadapi masalah kesehatan lain selama pandemi. 

Misalnya, mereka yang sembuh dari Covid-19 dua kali lebih mungkin didiagnosis dengan gangguan kesehatan mental dibandingkan dengan seseorang yang terserang flu. Hampir 20% pasien Covid yang pulih didiagnosis dengan penyakit mental dalam waktu tiga bulan.

Harrison, penulis utama untuk kedua studi tersebut, mengatakan bahwa temuan tersebut menunjukkan perlunya layanan kesehatan mental untuk sejumlah besar orang yang mungkin mengalami gejala.

Reporter: Priscilla Dewi Kirana

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya