Liputan6.com, Jakarta - Dalam rangka membendung langkah teroris di Indonesia, diperlukan cara pandang obyektif karakteristik daerah, potensi yang dimiliki dan aspek yang mempengaruhi. Seberapa besar peranan masing-masing instansi terkait, aparat keamanan dan seluruh komponen masyarakat termasuk tingkat kewaspadaan bela lingkungan terhadap bahaya terorisme yang harus terukur dan teruji.
Untuk menengarai, menuduh bahkan menangkap sekalipun seorang atau kelompok orang yang dianggap teroris, baik teroris lokal maupun teroris internasional tidak mudah. Perlu data akurat dan pencermatan indikasi-indikasi dalam kurun waktu yang relatif panjang.
Eksistensi kelompok teroris sejatinya tidak lepas dari regenerasi yang terus dilakukan dengan merekrut anggota-anggota baru yang disiapkan menjadi martir. Mereka merekrut anggota dengan berbagai cara. Mulai dari pertemuan-pertemuan tertutup hingga propaganda melalui dunia maya.
Di sanalah proses transformasi mengubah individu dari radikal menjadi teroris berjalan. Sedikitnya ada 5 tangga kondisi yang mentransformasi individu menjadi teroris.
Pertama, individu mencari solusi tentang apa yang dirasakan sebagai perlakuan tidak adil. Kedua, individu membangun kesiapan fisik untuk memindahkan solusi atas persoalan tersebut dengan penyerangan.
Ketiga, individu mengidentifikasi dengan mengadopsi nilai-nilai moral dari kelompoknya. Keempat, orang yang telah masuk ke dalam kelompok teroris sangat kecil kemungkinan bisa keluar dari kelompok tersebut.
Setelah melalui empat tangga sebelumnya, maka di tangga kelima, individu secara psikologis menjadi termotivasi untuk melakukan kegiatan-kegiatan terorisme.
Baca Juga
Kemajuan teknologi melalui media internet membuat program penyebaran paham terorisme makin mudah dan makin sulit dilacak. Akibatnya, sejumlah penduduk Indonesia berhasil pergi ke Suriah dan bergabung dengan kelompok ISIS.
Pola radikalisasi modern yang menyebar tanpa banyak tatap muka, serta melibatkan organisasi yang sebetulnya masih dianggap “abu-abu” terkait keterikatannya dalam terorisme.
Dalam konteks ini, upaya hard approach sebagaimana yang telah diterapkan pasca tragedi bom Bali sangat tidak tepat dilakukan.
Jika sebelumnya pelaku teroris pasca Bom Bali sangat mudah dijerat atas dugaan perencanaan aksi teror di Indonesia, mereka yang pergi berjihad ke Suriah ini sulit dijerat secara hukum.
Mereka memahami dogma yang sedikit berbeda dari yang sebelumnya. Mereka mendapatkan ajaran atas dasar keinginan pribadi dari media massa dan kelompok-kelompok radikal. Mereka bahkan tidak melakukan aktivitas melanggar hukum di Indonesia dan hanya pergi untuk mati syahid di Suriah.
Operasi Camar Maleo
Baru-baru ini video berisi rekaman suara yang disebut sebagai pimpinan jemaah Indonesia Timur, Santoso alias Abu Wardah, beredar di media sosial Facebook. Pada gambar diam yang diunggah oleh akun bernama Muhammad Bahrunnaim Anggih Tamtomo itu, tercantum tulisan 'Seruan Sang Komandan, Abu Wardah Asy-Syarqi'.
Pada video tersebut terlihat kibaran bendera ISIS di bagian kiri gambar dan sosok seorang pria yang diduga komandan kelompok Mujahidin Indonesia Timur, Santoso alias Abu Wardah. Dalam rekaman suara itu, dilontarkan juga ancaman kepada pemerintah dan Polda Metro Jaya.
BIN meminta publik waspada terhadap gerak-gerik mencurigakan. Masyarakat juga diminta melapor jika terjadi keanehan. Kewaspadaan makin ditingkatkan setelah terjadi serangan mematikan di Paris, Perancis, 13 November lalu.
Keberadaan kelompok ISIS dapat menjadi tempat pelatihan bagi gelombang lahirnya para pelaku peledakan bom di Indonesia.
Warga Indonesia pendukung ISIS yang baru kembali dari Suriah bisa menghidupkan dan melatih sel-sel teroris yang masih ada di Indonesia.
Ada sekitar 200–250 mujahidin yang ikut pasukan ISIS. Jika dilihat dari biodata, dengan nama dan data lain dari orang-orang tersebut, hanya sekitar 150-an orang fighter yang sudah diketahui datanya secara lengkap.
Dengan makin meluasnya isu terorisme, langkah tepat yang harus dilakukan adalah memisahkan terduga teroris dan memberikan rehabilitasi secara komprehensif dan terukur.
Rehabilitasi teroris sebetulnya bukan hal baru dalam mengatasi radikalisasi teoris. Di Arab Saudi misalnya, para teoris dipisahkan dan diberikan fasilitas khusus yang tidak seperti penjara.
Mereka diberi bimbingan dari para ahli terbaik di Arab Saudi untuk keluar dari isu teroris. Bahkan di Denmark, para Jihadis Syria yang tertangkap justru menghabiskan masa rehabilitasinya dengan bermain bola, gym, sambil mendapatkan pendampingan dari berbagai ahli agama di Denmark.
Pelajaran yang dapat diambil dari contoh tersebut, bukanlah fasilitas mewah yang seharusnya dimiliki teroris di pusat rehabilitasi. Melainkan cara pandang kita, bahwa perlawanan terhadap terorisme bukanlah perlawanan terhadap para penjahat, bukan pula penghukuman atas kesesatan berpikir yang dimiliki oleh para teroris. Melainkan upaya mengembalikan mereka kepada pemikiran yang seharusnya.
Advertisement
Langkah soft approach jauh lebih bermanfaat bagi penanggulangan terorisme di Indonesia dalam jangka panjang. Kesalahan pendekatan dalam mengatasi masalah terorisme, berpotensi pada dampak negatif yang lebih parah.
Namun, gerakan ISIS akan sulit berkembang di Indonesia. Penyebabnya, ideologi ISIS bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945, dan Bhineka Tunggal Ika.
Kendati demikian, Indonesia menjadi target dari perkembangan ISIS. Hal ini karena pertama, jumlah muslim di Indonesia mayoritas. Kedua, di Indonesia banyak muncul gerakan radikal, dan ketiga, beberapa WNI diduga bergabung dengan kelompok ISIS di Suriah maupun Irak.
Perkembangan terorisme global telah menunjukkan peningkatan yang signifikan baik modus, kuantitas maupun kualitasnya. Ada keterkaitan jaringan militan lokal dengan jaringan internasional.
Aktivitas teroris telah membidik dan memanfaatkan ideologi dan agama bagi masyarakat dunia sebagai garapan agar memihak kepada perjuangan mereka.
Untuk mencegah dan menanggulangi segala bentuk tindakan dan kegiatan teroris, pemerintah Indonesia harus menyikapi fenomena terorisme secara arif, menganilisis berbagai aspek kehidupan bangsa saat ini, mencari akar permasalahan, termasuk mengoreksi kebijakan Barat di Timur Tengah.
Deradikalisasi dan Pola Terorisme
Untuk melakukan edukasi, rehabilitasi dan merubah mindset teroris membutuhkan waktu panjang. Selain melakukan deradikalisasi, harus pula dilakukan pendekatan terhadap keluarga dari pelaku aksi terorisme.
Pemerintah daerah dan masyarakat harus peduli terhadap keluarga yang menjadi pelaku teror. Mereka jangan dikucilkan. Terorisme tradisional secara umum ditandai dengan adanya kelompok dengan personel dan komando yang jelas.
Sistem organisasinya berlangsung berdasarkan sistem piramid-hirarkis. Aktor terlibat secara penuh, mulai dari perencanaan hingga ploting target. Melakukan pemilihan target secara selektif.
Operasi serangan dilakukan secara konservatif. Sementara kelompok atau organisasi yang melakukan serangan mengklaim atau mengakui perbuatannya. Terorisme model ini terjadi pada masa sebelum gencar-gencarnya operasi terorisme pasca tragedi 11 September yang melibatkan Al Qaeda dan Al Jama’ah al Islamiyah (JI).
Bom Bali I dan II, serta bom J.W. Marriot I dan II adalah produk dari terorisme pola tradisional. Serangan direncanakan dengan pengorganisasian, pendanaan dan perencanaan yang matang, sehingga menghasilkan efek serangan yang dahsyat.
Perubahan dari pola tradisional ke pola modern terjadi beberapa tahun pasca Bom Bali I dan II, yakni ketika sel-sel dan beberapa nama aktor teroris dan jaringan terorisme global mulai terkuak.
Pada masa ini koordinasi dan dukungan dari aktor lokal mulai tersendat. Dalam kondisinya yang kian terjepit, para teroris kemudian mulai mengeksplorasi pola baru yang ditandai dengan aksi terorisme yang dilakukan secara mandiri.
Struktur organisasi terpisah dan tidak jelas, kendali komando bersifat mendatar. Kelompok besar teroris mulai terpecah ke dalam kelompok-kelompok kecil yang melakukan aksi teroris secara terpisah.
Sistem pendanaan dilaksanakan secara terpisah atau dengan menjalin kerjasama antara kelompok jika dimungkinkan. Target tidak lagi harus ditentukan oleh pemimpin besar, mereka juga tidak lagi melakukan pengakuan publik atas aksi-aksi terorisme yang dilakukan.
Pola ini terlihat pada kasus bom Cirebon, bom Serpong dan bom Solo. Pola terorisme modern memunculkan fenomena baru bernama phantom cell network (jaringan sel hantu), leaderless resistance (perlawanan tanpa pimpinan), dan lone wolver (serigala tunggal).
Dibutuhkan pendekatan yang bersifat kemanusiaan kepada para`mantan pelaku agar tidak mengulangi tindakan terorisme.
Salah satu strategi yang dapat dijalankan adalah membangun sistem deteksi dini (cegah-tangkal) yang berlapis dengan ujung tombak institusi-institusi pemerintahan di tingkat komunitas (RT/RW, dusun dan kampung).
Jaringan teroris tidak akan bisa beraksi atau membentuk kelompok di daerah tersebut apabila ada kesadaran masyarakat untuk melaporkan adanya gerakan yang mencurigakan, terutama RT setempat harus mengetahui adanya warga baru yang masuk di lingkungan RT tersebut dan harus lapor 1x24 jam.