[OPINI] Bela Negara untuk Bertahan

Bela negara adalah state’s rights yang harusnya diprogramkan oleh setiap negara yang ingin terus bertahan.

oleh Liputan6 diperbarui 26 Okt 2015, 19:05 WIB
Diterbitkan 26 Okt 2015, 19:05 WIB
Al Chaidar
Al Chaidar

Liputan6.com, Jakarta - Dalam perspektif geopolitik, bela negara adalah konsep sentral yang sangat krusial. Suatu bangsa yang telah kehilangan negara, tanah, dan wilayahnya adalah bangsa yang kemudian akan hilang kebudayaan dan jati-dirinya sebagai sebuah entitas di muka bumi ini.

Banyak sudah bangsa yang punah karena hilangnya tanah tempat berpijak mereka, sehingga bangsa tersebut tidak kuasa untuk mempertahankan kultur dan struktur negaranya, sehingga menjadi sasaran atau mangsa bagi bangsa-bangsa lain yang lebih superior.

Bangsa yang tak mampu mempertahankan kekuasaannya adalah bangsa yang akan dijajah oleh bangsa predator, yang akan melumat setiap entitas negara yang ada di muka bumi ini.

Bangsa Prusia atau Arya misalnya, telah melakukan ekspansi yang sangat luas di dalam rentang waktu sejarah yang panjang, namun pada akhirnya hanya tinggal secuil di Eropa. Bangsa Yunani dan Romawi pun dengan dahsyatnya melakukan ekspansi, namun kemudian terpuruk sebagai bangsa yang sedang bernapas dengan tersengal-sengal.

Bela negara adalah state’s rights yang harusnya diprogramkan oleh setiap negara yang ingin terus bertahan. Untuk bisa bertahan, sebuah negara mestilah maju secara ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan dan merata dipahami oleh tiap-tiap jiwa rakyatnya.

Negara harus mengupayakan segala cara yang beradab dan manusiawi untuk mempertahankan diri agar setara dan diakui oleh negara-negara lainnya. Hidup damai dengan negara-negara lainnya dan sejahtera. Program bela negara mustilah sebuah program yang terinternalisasikan ke dalam jiwa-jiwa setiap rakyatnya.

Internalisasi nilai-nilai kenegaraan ini adalah program paling mendasar dalam setiap program pembangunan apapun, yang dibuat oleh pemerintahan yang berdaulat. Jika program bela negara tidak berjalan, bisa saja sebuah negara maju secara ekonomi, namun mundur secara politik, sosial dan budaya. Bisa saja sebuah negara maju secara teknologi dan militer, namun mundur secara ideologi.

Negara Indonesia di bawah sistem politik yang multipartai dan di bawah dominasi ideologi demokrasi liberal, telah menjadi negara yang tidak terkontrol (uncontrolled state), atau bahkan mungkin akan menjadi failed state atau unmanaged state.

Saat ini, situasi Indonesia yang serba terpuruk dan kacau membutuhkan sebuah program afirmatif untuk menghidupkan kembali jiwa-jiwa kemanusiaannya yang mati. Bela negara sangatlah penting dan perlu dipertahankan, agar entitas warga yang hidup, bernaung di wilayah Nusantara ini bisa terjamin. Tidak akan diperbudak atau dijajah oleh bangsa lain yang merasa dirinya lebih superior dan maju.

Jika bangsa Indonesia luput mempersiapkan program bela negara yang mantap, maka intrusi atau pengaruh-pengaruh negara lain akan masuk dan mengendalikan Indonesia dari suatu jarak tertentu, dengan ancaman-ancaman dan tekanan tertentu, yang membuat warga ini tidak lagi merasa bebas dan merdeka dalam mengekspresikan idenya.

Tidak bisa kita bayangkan jika suatu hari kelak Indonesia dikuasai oleh ras atau bangsa lain, atau bahkan mungkin sebagian wilayahnya dikuasai oleh negara lain atau entitas korporasi lain, yang membuat kebebasan kemanusiaan menjadi hilang.

Indonesia tidak boleh kehilangan tanah air. Bangsa yang kehilangan tanah air adalah bangsa yang kemudian menjadi bangsa yang menjajah negara dan rakyat bangsa lain secara biadab, sebagaimana ditunjukkan Israel.

Jika Indonesia kemudian kehilangan negaranya, dan jika di kemudian hari negara tersebut ditemukan kembali, perang tak akan mungkin dihindari. Konflik selalu dimulai oleh klaim, dan akan selalu diakhiri oleh konsensus.

Jika konsensus sebuah negara dengan negara lainnya berbentuk pengakuan terhadap negara lawan, maka itu seperti mencoreng wajah sendiri. Penderitaan di masa lalu bukanlah alasan untuk menjajah negara lain atas dasar apapun.

Bela Negara: Nasionalisme atau Patriotisme?

Nasionalisme adalah ekspresi primordial sebuah bangsa yang yakin dan bangsa dengan nilai-nilai luhur nenek-moyangnya, yang telah hidup lama dan beradaptasi dengan segala macam perubahan.

Daya tahan dan daya survive sebuah bangsa sangat ditentukan oleh nilai-nilai kecintaan kepada bangsa, kepada orang-orangnya, kepada masyarakatnya sendiri yang tidak ingin direndahkan oleh entitas bangsa lainnya.

Minimal eksistensi sebuah bangsa diakui sama atau sederajat dan tidak berada di bawah pengaruh atau tekanan bangsa lain.  

Nasionalisme yang terlalu sempit pun —seperti Chauvinisme— akan tergerus oleh perkembangan zaman dan evolusi sistem politik, yang semakin hari semakin berkembang ke arah yang semakin humanis dan beradab.

Chauvinisme telah mati dan hanya dianut oleh mereka yang tidak rasional dan tidak sensitif kemanusiaan (humanism unsensitive).

Indonesia pada masa-masa keemasan Orde Baru, telah membawa nasionalisme Indonesia menjadi ideologi yang hampir mirip dengan Chauvinisme. Namun, karena realitas politik tidak berhasil membawa Indonesia menjadi bangsa yang superior, maka Chauvisnisme Orde Baru tidak sempat muncul seperti halnya Naziisme.

Patriotisme juga merupakan ideologi kekerasan yang dipuja oleh banyak kalangan yang membutuhkan pahlawan, dalam bentuknya yang paling tradisional: pembunuh bangsa lain secara berdarah atas alasan membela penguasa.

Jika yang dibelanya adalah masyarakat atau entitas kemanusiaan yang paling rentan dalam sebuah negara, maka patriotisme akan sangat perlu. Namun jika yang dibela adalah penguasa (partai atau korporasi pasar), maka patriotisme adalah ideologi kekerasan yang masih mementingkan darah sebagai pencitraan dirinya.

Dalam Islam, patriotisme ini dapat kita lihat dalam beragam sejarah dan patriotisme ini hilang ketika penaklukan kota Mekah oleh Nabi Muhammad SAW. Orang-orang yang kalah tetap diproteksi dan tidak dibantai. Orang-orang yang kalah tidak digantung atau dibunuh hanya karena sebuah situasi yang tidak menguntungkan mereka.

Bela negara adalah sebuah kegiatan yang sangat perlu dipersiapkan jika Bangsa Indonesia tidak mau kehilangan tanahnya jengkal demi jengkal. Bela negara adalah program yang sangat urgen untuk dirumuskan agar rakyat Indonesia tidak digagahi oleh bangsa atau negara lain, yang memiliki sejarah kanibalisme yang menjijikkan. Dalam geopolitik, wilayah adalah modal politik yang paling penting untuk dipertahankan.

Mempertahankannya perlu sebuah political will yang kuat dari pemerintah yang sedang berkuasa, kecuali jika pemerintah yang berkuasa memang hendak menjual Indonesia kepada asing untuk keuntungan personal atau kelompoknya.

Banyak hal bisa dilakukan demi terwujudnya bela negara yang tangguh dan kokoh. Misalnya dengan memanfaatkan potensi rakyat Indonesia yang saat ini sedang mendapatkan berkah bonus demografi, yang bisa dimanfaatkan sebagai energi bela negara.

Wajib militer adalah kegiatan paling umum yang seharusnya diarahkan untuk tujuan terwujudnya bela negara yang kokoh. Bahkan kegiatan bela negara seperti wajib militer ini bisa juga disandingkan dengan kegiatan-kegiatan lain seperti membersihkan sungai atau pantai dari sampah-sampah yang bertebaran.

Program wajib militer seharusnya adalah kegiatan yang mengandung banyak kegiatan fisik (outbound activity) dan luar-ruangan (outdoor activity). Kegiatan-kegiatan ini pada akhirnya akan bermuara kepada kontemplasi tentang perlunya menjaga keutuhan wilayah Indonesia.

SM Kartosoewirjo pernah membuat sistem politik di mana sipil dan militer digabungkan untuk memperkuat tanggung-jawab dan hak bela negara warga negara. Dikotomi antara sipil dan militer yang saat ini ada adalah potensi yang tidak baik bagi perkembangan sosial politik dan ekonomi negara.

Jika dwifungsi militer bisa diformat ulang dalam bentuk yang lebih egaliter, maka akan bisa menciptakan kesadaran bela negara yang merata dan utuh dari rakyat.

Selama ini, banyak sekali potensi militer yang terabaikan (idle military), sehingga secara sosial-budaya, militer lebih banyak menyalurkan kelebihan energinya dalam bentuk konflik dengan aparat kepolisian dan lain sebagainya.

Jika militer diberi porsi yang cukup untuk mengejawantahkan prinsip-prinsip geopolitik bela negara, maka Indonesia akan terjawa dan terkendali secara lebih baik. Di masa depan, persenjataan bukanlah faktor utama dalam politik dominasi di kawasan Asia Pasifik. Bahkan di seluruh dunia, persenjataan tidak lagi menduduki posisi utama dalam menjaga keutuhan suatu negara.

Menguasai rakyat jauh lebih utama dan seharusnya lebih diprioritaskan. Berbagai kasus perlawanan (rebellions, unrests, revolutions, dll.) seperti separatisme atau terorisme terjadi karena lemahnya negara dalam mengendalikan warganya.

Warga negara seharusnya dijaga dan dimanusiakan serta dihargai dalam struktur politik yang ada. Jika warga negara sudah tidak lagi merasa terasuh oleh suatu negara, maka perlawanan akan dengan mudah tersulut.

Jika hal ini diketahui oleh pihak asing, maka akan memudahkan mereka mempengaruhi sebagian warga negara untuk melalukan kegiatan-kegiatan perlawanan dengan didukung dana modal asing. Jika Indonesia tidak mampu dekat dengan rakyatnya,  pihak asing akan dengan mudah meletupkan konflik di Indonesia seperti terjadi di Ambon, Ternate, Poso, Papua, serta Aceh. (Sun/Yus)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya