OPINI: Tugas Pamungkas Peraih Emas

Dengan kalungan medali emas seberat 500 gram tersebut, sebenarnya tugas berat yang dibebankan Owi/Butet sudah tuntas.

oleh Liputan6 diperbarui 29 Nov 2016, 08:10 WIB
Diterbitkan 29 Nov 2016, 08:10 WIB

Liputan6.com, Jakarta - Masih lekat dalam ingatan para pecinta bulu tangkis dengan peristiwa di Pavilliun 4 Riocentro, Rio de Janeiro, Brasil, 17 Agustus 2016. Di arena untuk memanggungkan cabang olahraga bulu tangkis Olimpiade Rio de Janeiro 2016 itulah, ada peristiwa besar sekaligus begitu bersejarah bagi perbulutangkisan Indonesia.

Pada saat itu, pasangan Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir sukses mencatatkan namanya dengan tinta emas bagi kasanah bulu tangkis Merah-Putih di arena Olimpiade. Dalam partai pamungkas nomor ganda campuran, Owi/Butet, sapaan karib pasangan asal klub Djarum Kudus ini telah menorehkan sebuah cerita emas yang akan dikenang sepanjang masa. Ya, medali emas Olimpiade Rio berhasil mereka raih lewat pertarungan nan menegangkan.

Bagaimana selebrasi Owi/Butet usai Goh Liu Ying gagal menyeberangkan shuttlecock ke bidang permainan lawan karena membentur jaring. Momen ini menjadi penentu keberhasilan Owi/Butet menyabet medali emas setelah menumbangkan wakil Malaysia, Chang Peng Soon/Goh Liu Ying, 21-14, 21-12.

Ya, Owi/Butet berteriak kegirangan di tengah lapangan. Plong rasanya! Perjuangan berat mereka sudah berhasil dituntaskan dengan kemenangan. Medali emas cabang bulu tangkis pun untuk Indonesia.

Butet langsung lari ke luar lapangan menyerbu Richard Mainaky, sang mentor yang menyambut dengan pelukan hangat. Owi pun kemudian menyusul bergabung bersama orang-orang yang sangat dicintainya dengan berangkulan untuk meluapkan kegembiraan. Tradisi emas pun mampu dipertahankan Indonesia.

Setelah Indonesia gagal pada Olimpiade London 2012, tradisi emas pun bisa dikembalikan lagi oleh Owi/Butet. Pasangan yang diduetkan sejak 2010 ini pun sukses mengikuti jejak para seniornya yang telah menyumbangkan medali emas di pesta olahraga paling akbar tersebut.

Mulai dari Susy Susanti dan Alan Budikusuma pada Olimpiade Barcelona 1992, lalu Ricky Soebagdja/Rexy Mainaky (Olimpiade Atlanta 1996), Tony Gunawan/Candra Wijaya (Olimpiade Sydney 2000), Taufik Hidayat (Athena 2004), dan Markis Kido/Hendra Setiawan (Olimpiade Beijing 2008).

Dengan kalungan medali emas seberat 500 gram tersebut, sebenarnya tugas berat yang dibebankan Owi/Butet sudah tuntas. Target PP PBSI dan juga kontingen Indonesia untuk bisa merebut medali emas sudah terwujud. Artinya, sebagai seorang pemain, misi yang diusung keduanya sudah paripurna.

Gelar-gelar penting dunia sudah dikoleksi Owi/Butet. Turnamen paling prestisus seperti All England, sudah dikoleksi sampai tiga kali secara beruntun, yaitu 2012, 2013, dan 2014. Titel juara dunia juga sudah direbut, bahkan khusus Butet sampai tiga kali. Yaitu 2005 di Anaheim, AS dan 2007 di Kuala Lumpur, Malaysia diraih bersama Nova Widianto. Sementara 2013 di Guangzhou, Butet merebutnya bareng Owi.

Selain itu, masih ada gelar-gelar di kelas turnamen super series atau super series premier yang digenggam oleh Owi/Butet. Sebagai pemain, mereka sudah termasuk komplet titel juara yang direbutnya.

Namun, tidak ada gading yang tidak retak. Kalau pun ada yang kurang, mereka belum mampu mempersembahkan Piala Sudirman, tropi lambang supremasi bulu tangkis campuran dunia untuk skuat Garuda. Juga memenangi emas Asian Games, serta menjadi kampiun di ajang Indonesia Terbuka yang berlangsung di depan publiknya sendiri.

Dengan semua titel juara sudah berhasil direbut, sebenarnya kalau mau gantung raket, Owi/Butet bisa melakukannya sekarang. Bonus dan hadiah rumah yang didapat menyusul keberhasilan merebut medali emas Olimpiade Rio lalu, sudah melimpah.

Hitung-hitung, totalnya sekitar Rp10 miliar yang diterima. Kalau pun mau pensiun saat ini, pemerintah lewat Menpora Imam Nahrawi sudah mempersiapkan Jaminan Hari Tua dengan nilai Rp20 juta per bulan masing-masing bagi Owi dan Butet.

Tetapi, rasanya tidak. Masih banyak tugas yang belum selesai. Sebagai pemain, Owi/Butet masih lapar dengan titel juara. Setelah puasa gelar selama 95 hari sejak merebut medali emas Olimpiade Rio, pekan lalu Owi/Butet menambah catatan prestasi dengan meraih mahkota juara Thaihot China Terbuka Super Series Premier berhadiah total 700 ribu dolar AS di Fuzhou.

Kini, ambisi Owi/Butet tetap membara. Mereka tampil di ajang Hong Kong Terbuka Super Series. Sebagai pemain, mereka tetap lapar kemenangan dan gelar kampiun. Dan gelar Hong Kong Terbuka Super Series pun mereka raih usai mengalahkan juniornya, Praveen Jordan/Debby Susanto di final 21-19 dan 21-17.

Mumpung, saat ini para musuh bebuyutan sudah banyak yang gantung raket atau ganti pasangan, Owi/Butet justru harus bisa memanfaatkan peluang besar ini. Ketika, lawan-lawan sengitnya tidak hadir, keduanya harus tancap gas untuk merebut mahkota juara, sekaligus menambah tebal pundi-pundinya.

Seteru bebuyutannya, Zhang Nan/Zhao Yunlei asal China, sudah tidak main. Kedua pasangan asal China dan Indonesia ini, secara head to head paling tidak sudah 19 kali bertemu di berbagai kejuaraan. Hasilnya, hanya 6 kali kemenangan yang diperoleh Owi/Butet, termasuk yang terakhir dan sangat vital, di semifinal Olimpiade Rio.

Zhao sudah memutuskan untuk memilih pensiun. Kini Zhang Nan harus berduet dengan Li Yinhui. Pasangan baru ini pun sudah ditekuk Owi/Butet pada final China Terbuka lalu. Begitu juga dengan Xu Chen/Ma Jin. Pasangan asal negeri Tirai Bambu ini sudah ganti formasi seperti pada China Terbuka lalu. Xu Chen duet dengan Tang Jinhua.

Di belahan Eropa, masih ada pesaing tradisionial seperti Joachim Fischer Nielsen/Christinna Pedersen asal Denmark atau pasangan suami istri asal Inggris, Chris dan Gabrielle Adcock. Sementara untuk belahan Asia, juga masih ada Chan Peng Soon/Goh Liu Ying asal Malaysia atau Ko Sung-hyun/Kim Ha-na asal Korea Selatan.

Yang justru layak diwaspadai adalah pasangan-pasangan muda Tiongkok. Saat ini, paling tidak ada empat ganda campuran Negeri Panda yang tidak boleh dipandang sebelah mata. Ada nama Zheng Siwei/Cheng Qingchen, Lu Kai/Huang Yaqiong, Liu Yuchen/Chen Lu, dan Liu Cheng/Huang Dongping.

Ke depan, para young guns China itu akan bisa menjadi batu sandungan bagi Owi/Butet. Mereka memiliki postur tinggi dan ditambah tenaga yang demikian besar. Mereka juga memiliki semangat besar untuk bisa mengalahkan para seniornya. Kalau pun saat ini belum bisa meroket, semua karena faktor jam terbang pengalaman yang masih minim.

Tugas lain yang tidak kalah penting bagi Owi/Butet adalah mengatrol performa adik-adiknya di Pelatnas Cipayung. Saat ini, kualitas permainan para juniornya di pelatnas ini memang terbilang jauh. Ada gap yang lebar di sana.

Memang, ada Praveen Jordan/Debby Susanto yang sudah menunjukkan prestasi bagus dengan menggondol juara All England 2016. Namun, di luar itu adik-adiknya masih labil. Prestasinya masih jauh. Di pentas level super series, mereka kerap gagal di babak pertama, seperti yang terjadi di Hong Kong Terbuka kali ini.

Ronald Alexander/Melati Daeva Oktavianti dijegal Isara Bodin/Savitree Amitrapai (Thailand), 15-21, 18-21. Alfian Eko Prasetya/Annisa Saufika ditekuk Choi Solgyu/Chae Yoo-jung (Korea Selatan), 12-21, 21-19, 17-21. Sementara Hafiz Faisal/Shela Devi Aulia dihentikan Zheng Siwei/Chen Qingchen, 17-21, 13-21.

Prestasi para pelapis ini memang belum moncer. Ronald/Melati baru berjaya di kelas turnamen grand prix gold di Indonesia Masters 2016. Begitu pula dengan Alfian/Annisa, Hafiz Faisal/Shela Devi Aulia, dan Edi Subaktiar/Gloria Emanuelle Widjaja, yang menjadi juara Austria International Challenge 2015 dan Makau Terbuka Grand Prix 2014.

Inilah tugas peraih emas Olimpiade yang belum tuntas. Owi/Butet masih punya tanggung jawab, yaitu bagaimana mendongkrak kualitas dan performa adik-adiknya. Setidaknya, dalam dua tahun ke depan hingga Asian Games 2018 di Jakarta-Palembang, Owi/Butet harus bisa mentransfer ilmu, keterampilan, dan pengalamannya kepada adik-adiknya.

Dua tahun ini pula rasanya waktu yang tersisa buat Butet untuk bisa terus mendedikasikan segenap kemampuan untuk bulu tangkis Indonesia. Bersama Owi, dia bisa terus bertanding di turnamen-turnamen yang dipilih atau wajib diikuti. Selama dua tahun ini pula, Butet dan Owi harus bisa membimbing juniornya untuk bisa naik kelas dan menjadi pasangan penerus kejayaan sektor ganda campuran di pentas bulutangkis internasional.

Itulah tugas peraih emas, sebelum Owi/Butet benar-benar pensiun!

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya