Liputan6.com, Jakarta - Pada era globalisasi ekonomi, lebih dari 60% volume transaksi internasional dilakukan oleh pelaku usaha besar yang memiliki hubungan istimewa (related party relations) atau sering disebut perusahaan grup (associate companies). Perusahaan grup tersebut memiliki keunggulan komparatif (comparative advantage) dibandingkan dengan entitas hukum lainnya didalam persaingan usaha. Perusahaan grup memiliki sumber daya ekonomi (economic resources) yang besar sehingga dapat beroperasi lebih efisien dan efektif.
Entitas-entitas hukum (subsidiary companies) dalam perusahaan grup dapat dibedakan sesuai dengan supply chain of business yang tersebar di berbagai yurisdiksi untuk mendapatkan keunggulan kompetitif (competitive advantage) di yurisdiksi-yurisdiksi tersebut ataupun dalam upaya memperluas pasar. Entitas-entitas hukum dalam perusahaan grup ada yang berfungsi sebagai pusat laba (profit center), pusat penghasilan (revenue center), biaya dan pendukung (cost and supporting center).
Baca Juga
Transaksi ekonomi antara sesama entitas hukum dalam perusahaan grup merupakan suatu keniscayaan. Perusahaan grup memiliki standar pengukuran harga atas transaksi dalam hubungan istimewa dalam menentukan nilai wajar atas transaksi antar-grup perusahaan multinasional tersebut. Pada transaksi dalam hubungan istimewa, harga yang terbentuk mengacu pada prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (PKKU) atau arm’s length principle dengan menggunakan berbagai metode penentuan harga antara lain, comparable uncontrolled price (CUP) method, resale price method dan cost plus method.
Advertisement
Bila ditinjau dari ukurannya (size), perusahaan grup sangat bervariasi mulai dari yang sederhana dimana jumlah entitas hukumnya tidak banyak yaitu 2 hingga 10 entitas hukum, hingga pada perusahaan grup yang besar dimana entitas hukumnya berjumlah di atas seratus entitas hukum.
Selain itu, entitas-entitas hukumnya ada yang berdomisili di manca negara, maka perusahaan grup tersebut dikelompokkan sebagai perusahaan multinasional (mutinational corporation). Dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya, perusahaan multinasional tersebut tunduk pada ketentuan pajak dibeberapa yurisdiksi.
Tujuan komersial perusahaan grup adalah memaksimalkan laba usahanya dan salah satu strateginya adalah meminimalkan beban operasional dan beban lainnya. Kebijakan perusahaan untuk memenuhi tujuan perusahaan dan pemegang saham (shareholders) tersebut sadar ataupun tidak dapat berbenturan dan menyimpang dari ketentuan perundang-undangan pajak yang berlaku di suatu yurisdiksi.
Hal yang demikian sangat mungkin terjadi bila perusahaan grup memaksimalkan laba usahanya dengan cara mengalihkan laba usaha (profit shifting) dari suatu yurisdiksi ke low tax jurisdictions melalui perusahaan cangkang (special purpose company/SPV), transfer pricing, thin capitalization, controlled foreign companies (CFC), back to back loan, treaty abuse, dan rekayasa transaksi keuangan lainnya.
Perencanaan pajak yang agresif tersebut menyebabkan tergerusnya basis pemajakan sehingga mengakibatkan hilangnya potensi penerimaan pajak (tax revenue forgone) yang seharusnya diterima atau diperoleh oleh suatu yurisdiksi. Padahal diketahui bahwa penerimaan pajak pada banyak yurisdiksi termasuk Indonesia merupakan sumber utama penerimaan APBN.
Oleh karenanya, kelompok yurisdiksi maju (developed jurisdictions) yang tergabung dalam kelompok OECD dan G7 memiliki pendekatan (approches) berupa kebijakan pengawasan dan pemeriksaan maupun struktur organisasi yang khusus untuk menangani kepatuhan perusahaan grup.
Misalnya Jerman dan Belanda memiliki kebijakan dalam melakukan pengawasan dan pemeriksaan terhadap perusahaan grup. Sedangkan Australian Tax Office (ATO) memiliki suatu divisi khusus yaitu divisi Public Groups and International untuk memberikan supervisi kepada perusahaan grup dan pemiliknya (ultimate shareholders).
Alasannya otoritas pajak dari kelompok yurisdiksi maju tersebut adalah memberikan pelayanan yang prima (excellent service), berdasarkan ukuran (size), kompleksitas, dan perilaku perusahaan grup, dan sekaligus pengawasan kepatuhan karena perusahaan grup memberikan kontribusi penerimaan yang sangat signifikan yaitu di atas 60% dari jumlah penerimaan sehingga memudahkan otoritas pajak dalam mengadministrasikan penerimaan.
Selain aspek kebijakan dan organisasi, kelompok yurisdiksi maju juga melengkapi administrasi perpajakannya dengan menyiapkan sumber daya manusia (SDM) yang cakap dan berpengalaman (profesional) dan sarana serta prasara pendukung yang memadai sehingga otoritas pajak mampu secara efektif mengadministrasikan penerimaan dari perusahaan grup.
Â
Oleh: John Hutagaol, Guru Besar Perpajakan dan bekerja di Direktorat Jenderal Pajak sebagai Tenaga Pengkaji Bidang Pembinaan dan Penertiban SDM. Tulisan ini adalah pendapat pribadi.