OPINI: Jurnalisme di Tengah Kebangkitan Pemanfaatan Artificial Intelligence

Seluruh kecerdasan AI juga menerbitkan rasa khawatir jurnalis profesional. Berikut pertanyaan yang bernada pesimis: bagaimanakah nasib insan pers, di hadapan kebangkitan AI?

Dr. Firman Kurniawan S
Berdasarkan opini dari: Dr. Firman Kurniawan S

Pemerhati Budaya dan Komunikasi Digital, Pendiri LITEROS.org

Dr. Firman Kurniawan S
Pemerhati Budaya dan Komunikasi Digital, Pendiri LITEROS.org, Dr. Firman Kurniawan S.... Selengkapnya

Liputan6.com, Jakarta - Bulan Februari di Indonesia, selalu istimewa. Utamanya bagi Insan Pers. Ada Hari Pers Nasional (HPN), di dalamnya. Dan berbeda dari hari peringatan nasional lainnya, HPN hampir selalu menghadirkan Presiden turut menyambutnya. Tampaknya ini adalah apresiasidi tingkat negara. Terlepas dari relasi ‘benci dan cinta’ --lantaran pers sering dituding melakukan kritik tak proporsional pada kinerja pemerintah-- tak dapat ditampik perannya. Pers berposisi sentral bagi sebuah negara. Demokratisasi mengandalkan pers jadi penopang pentingnya.

Mengutip rilis yang tersedia di laman Persatuan Wartawan Indonesia, tema HPN tahunini, "Pers Mengawal Ketahanan Pangan untuk Kemandirian Bangsa”. Pilihan temanya --di tengah masalah mendesak lain yang menggelisahkan-- memang penting. Pangan mutlak bagi tiap orang. Ketahanannya yang terganggu, memunculkan rentetan akibat yang serius. Negara bisa runtuh jika gagal mengelolanya. Lagi pula, tema ini sebangun dengan program unggulan Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Tampaknya, insan pers sepakat turut mendukungnya.

Adapun masalah lain yang juga penting, adalah intensifnya penggunaan artificial intelligence (AI). Di berbagai aktivitas pers hari ini, tak asing adanya presenter berita TV diperankan oleh deepfake AI. Juga kolaborasi penyiar radio AI, dengan penyiar sejati. Seluruhnya diikuti tersedianya aneka perangkat penyusun berita, yang gratis digunakan. Sebut saja: AI penghasil teks, gambar, video, pembantu penyusunan rencana maupun produksi konten bercorak multimedia.

Realitas tersedianya berbagai perangkat cerdas ini, bahkan memungkinkan didirikannya sebuah perusahaan media informasi cukup dengan 1 pengelola. Tentu saja pengelola yang dilengkapi dan menguasai penggunaan AI. Namun di sisi lain, seluruh kecerdasan AI juga menerbitkan rasa khawatir jurnalis profesional. Berikut pertanyaan yang bernada pesimis: bagaimanakah nasib insan pers, di hadapan kebangkitan AI?

Memang gelombang penggantian profesional industri media informasi Indonesia oleh AI, belum tersedia data handalnya. Gambaran korelasinya masih samar. Yang kerap beredar, cerita kelesuan industri pers, akibat penurunan belanja iklan. Ini sebenarnya telah jadi perbincangan sejak 10 tahunan lampau. Juga fenomena penurunan minat konsumsi media informasi konvensional, akibat desakan media digital. Ini juga bukan kabar baru. Adapun realitas tergantikannya tenaga kerja oleh AI, lebih banyak dialami perusahaan-perusahaan media informasi di negara lain. Ini mungkin akibat peralihan penganggaran perusahaan, dari belanja untuk keperluan sumberdaya manusia ke belanja teknologi berbasis AI.

Charlotte Tobitt, 2025, dalam “Around 4,000 Journalism Job Cuts Made in UK and US in 2024”, menyebut: pada tahun 2024 setidaknya telah terjadi 3.875 PHK di di seluruh industri media informasi. Di dalamnya termasuk bisnis surat kabar, penyiaran berita, dan media digital. Jumlah yang disebutkan itu, memang masih setengahnya dibanding tahun sebelumnya. Di tahun 2023, PHK di seluruh industri media informasi di Inggris dan Amerika Utara, mencapai 8.000 posisi tenaga kerja. Namun laju PHK yang menurun 50% itu, bukan merupakan pertanda baik. Sejak tahun 2022, setidaknya 1.391 tenaga kerja berlatar editorial di Inggris, AS, dan Irlandia kehilangan pekerjaan.

Gelombang PHK Terus Berlanjut

Setelah melewati tahun 2022 dan 2023 dengan angka di atas, gelombangnya terus berlanjut. Di kuartal pertama 2024, PHK terhadap 1.576 posisi tenaga kerja. Kemudian mengalami perlambatan di kuartal kedua, menjadi 300 posisi tenaga kerja. Sedangkan pada kuartal ketiga meningkat lagi, jadi sebanyak 887 PHK. Dan pada kuartal keempatnya terjadi1.112 PHK. Jumlah itu, merupakan tiga perempat dari seluruh PHK di AS tahun lalu.

PHK yang dialami The Messenger, merupakan yang terbesar. Startup berita digital yang didirikan Jimmy Finkelstein ini, tutup di bulan Januari dan memutus 300 posisi kerja. Rentetannya turut dialami oleh Associated Press, yang mengumumkan rencana PHK 8% pekerjanya di AS, pada bulan November 2024. Memang tak secara tegas artikel yang ditulis Tobitt, menyebut AI jadi penyebab utama gelombang PHK. Hanya disebut adanya peran perubahan platform dari konvensional ke digital. Juga tersedotnya perhatian konsumen informasi, oleh sistem algoritma media digital yang mendegradasi konsumsi media konvensional.

Namun The Economic Times edisi 10 Januari 2025, dalam beritanya berjudul “It's Just been 9 Days in 2025, and Thousands Have Already Lost Their Jobs in the U.S.; From Technology to Media, here are The Top Companies Sacking People” mengkonfirmasi peran AI pada PHK yang terjadi. PHK menimpa berbagai bidang bisnis, dari teknologi hingga media informasi. Washington Post melakukan pemutusan hubungan kerja, tak kurang dari100 posisi tenaga kerja di area non-redaksi. Tujuannya untuk merampingkan lini operasinya.PHK jadi gambaran kecenderungan yang lebih luas, di sektor teknologi maupun keuangan. Alasan di balik gelombang PHK itu, perusahaan bersiasat atas tekanan ekonomi maupun pergeseran teknologi. Pergeseran teknologi yang dipicu kehadiran AI.

Sedangkan Danielle Chazen, 2025, dalam “AI in Media Industry: Artificial Intelligence and Latest Technology”, menguraikan pandangan optimisnya soal peran AI. Alih-alih fokus pada ancamannya, Chazen menyarankan pemeriksaan yang seksama untuk memanfaatkan AI di industri media informasi. Ujungnya, dicapainya efisiensi dan pertumbuhan perusahaan. Ini lantaran penggunaan AI menyederhanakan proses yang semula membutuhkan banyak waktu. Aktivitas penyusunan teks yang memerlukan upaya dan waktu, dapat dialihkan jadi kreasi bernilai. Perangkat berbasis AI juga dapat digunakan untuk menyediakan transkrip hasil rekaman acara, maupun rekaman wawancara. Lembaga pengawas, selalu menuntut bukti wawancara tetap tersedia dengan cara ini.

Jurnalis juga dapat menggunakan AI dalam pengumpulan bahan berita maupun membangun pemahaman terhadap data. Data terstruktur dapat diubah jadi teks berita, dengan sedikit melibatkan manusia. Hasilnya didistribusikan, cukup hanya dengan meng-klik tombol dan terwujudlah yang disebut: 'jurnalisme otomatis'. Algoritma berfungsi memandu produksi berita dalam skala besar, lengkap beserta personalisasinya. Ini lantaran machine learning mampu mempelajari pengguna, seraya memprediksi pilihan konsumsi berikutnya sebagai rekomendasi. Seluruhnya jadi kabar baik bagi pengiklan. Iklan dapat ditujukan secara tepat. Adapun pendapatannya, dapat memperbesar pertumbuhan perusahaan.

Dua Sisi Wajah AI

Seluruh tulisan di atas, menampilkan dua sisi wajah AI. Wajah ramahnya menawarkan efisiensi dan pertumbuhan perusahaan. Sedangkan wajah buruknya, mengancam posisi aman dan nyaman jurnalis profesional. Setiap saat, keamanan dan kenyamanan itu dapat direbut AI. Namun masih ada waktu. Ini, kalau wajah buruk AI yang lebih membayangi industri media informasi. Termasuk bagi pers di Indonesia.

Pemanfaatan AI di berbagai perusahaan media dunia --ini termasuk yang terjadi di The New York Times, The Washington Post, Bloomberg, CNN, Al Jazeera— baru menggunakan AI, sebatas interaksi dengan data terstruktur. AI macam ini memproduksi informasi bercorak laporan. Laporan kinerja keuangan, berdasar data berkala; laporan pertandingan olah raga yang mengandalkan data jumlah pemain, nama pemain, pemain yang mencetak nilai dan akhirnya kelompok pemain yang memenangkan pertandingan; juga laporan peristiwa alam: seperti prakiraan cuaca, kemungkinan terjadinya bencana akibat perubahan volume air atau kecepatan angin.

AI yang memanfaatkan data terstruktur, juga digunakan untuk mengkarakterisasi perilaku konsumennya. Sehingga pada konsumen dapat direkomendasikan informasi tertentu untuk dikonsumsi selanjutnya. Contoh jelasnya, saat Netflix dan Spotify menerapkannyadalam pembacaan selera masing-masing konsumennya.

Sedangkan pemanfaatan AI untuk menghasilkan informasi investigatif --misalnya AI diminta memberitakan ‘pagar laut misterius’ beserta jaringannya-- bukan kemampuan AI hari ini. Juga produksi informasi yang dikemas dengan corak sastrawi maupun pendekatan naratif ala film maupun novel, masih jadi keterbatasannya. Model bahasa besar, large language model yang saat ini lazim digunakan, masih bertumpu terutama pada terstrukturnya peristiwa.  

Namun suatu saat –ini berdasar intensitas pengembangannya yang tanpa batas-- hal-hal yang bersifat emosional dan tampak berkesadaran, tak mustahil jadi kecerdasan AI. Selama seluruhnya belum terwujud, tentu jadi kabar baik dan masih tersedia waktu untuk mempelajari ‘celah tak mungkin’, yang dapat dikerjakan AI. Insan pers selain perlu mempersiapkan kolaborasi kerja dengan AI, tampaknya juga perlu menemukan celah tak mungkin itu. Berdampingannya produk informasi hasil formulasi mesin cerdas dengan produk informasi manusiawi, merupakan hal yang menarik untuk dipikirkan. Tentu saja sambil merayakan Hari Pers Nasional. Selamat berpesta.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Live dan Produksi VOD
oleh Raden Trimutia Hatta diperbarui 14 Feb 2025, 10:56 WIB
Diterbitkan 14 Feb 2025, 10:56 WIB

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya