Liputan6.com, Jakarta - Minggu-minggu ini, ruang media sosial dipopulerkan tagar #KaburAjaDulu. Awal kepemimpinan Prabowo-Gibran memberikan banyak protes di antaranya anak muda yang tidak diuntungkan oleh kebijakan pemerintahan baru ini. Protes ini semacam gerakan kesadaran manusia Indonesia untuk hidup lebih layak lagi dibandingkan negara tetangganya seperti Singapura.
Berita pindah ke Singapura bagi anak muda Indonesia memenuhi ruang-ruang media sosial. Tidak ada angka yang tepat, tetapi dari awal tahun 2000an sampai sekarang angkanya terus meningkat.
Advertisement
Baca Juga
#KaburAjaDulu Masih Ramai Dibicarakan, Psikolog: Jangan Hijrah ke Luar Negeri karena Emosi Sesaat atau Ikut Tren
Guru TK di Jerman Tanggapi Menteri Bahlil yang Pertanyakan Nasionalisme WNI yang Pindah ke Luar Negeri
VIDEO: Soal Tagar ‘KaburAjaDulu’, Luhut Gak Usah Buru-Buru Bilang Nggak Puas, Baru 100 Hari
Better Late Than Never
Advertisement
Better Late Than Never adalah ungkapan penting bagi anak bangsa Indonesia. Kesadaran untuk hijrah ke luar negeri sangat terlambat tetapi lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.
Banyak hal dalam proses keinginan pindah ke luar Indonesia sampai populer tagar #KaburAjaDulu seperti dunia semakin kosmopolit, pengetahuan nasionalisme yang terbuka (tidak sempit), pengetahuan semakin luas, generasi yang semakin inklusif, pintar, dan mudah berpindah-pindah. Sepertinya sudah sejak zaman beasiswa bertebaran kesadaran tinggal di luar negeri menguat.
Dari aspek negara yang dikunjungi juga memiliki daya tarik seperti adanya infrastruktur yang mendukung hidup layak, good government, kepastian hukum, kepastian hidup normal/layak, gaji yang layak, penghargaan diri, dan fasilitas lainnya yang tidak dimiliki Indonesia.
Pengalaman saya hidup di luar negeri selama kurang lebih 10 tahun memberikan kesadaran itu. Tagar #KaburAjaDulu sebenarnya tidak aneh dan terlambat tetapi lebih baik daripada tidak sama sekali. Generasi Indonesia untuk hijrah sangat tertinggal dibandingkan negara Asia lain seperti Cina, India dan Asia Tenggara.
Bangsa Asia yang sangat agresif dalam berhijrah adalah Cina dan India. Kini anak bangsa Cina dan India bertebaran di dunia di banyak bidang.
Orang Cina seperti Jack Ma (CEO Alibaba), Colin Zheng Huang (CEO PDD Holdings), Wang Wenyin (CEO Amer International Group) merupakan CEO kelas dunia yang kosmopolit. Mereka memegang perusahaan multinasional.
Orang India seperti Sundar Pichai (CEO Alphabet and Google), Satya Nadella (CEO Microsoft), Arvind Krishna (CEO IBM), Shantanu Narayen (CEO Adobe Systems), dan Anthony Francis Fernandes (CEO AirAsia) merupakan warga India yang kosmopolit dengan perusahaan multinasional.
Mereka hijrah dan terus belajar serta mengembangkan potensi hidup mereka untuk warga dunia tanpa terbatasi sekat-sekat nasionalisme sempit. Kita masih bisa melihat begitu banyak orang Cina dan India dari level cleaning service sampai dosen, manajer, dan pengusaha di luar negeri sebagai warga kosmopolitan (dunia).
Belum lagi warga Asia lainnya dari Korea Selatan sampai suku bangsa Tamil, Ravindran Kannan, seorang profesor di Universitas Yale yang memperoleh penghargaan Fulkerson Prize (1991).
Mereka memberi kontribusi kepada dunia melalui kemampuan mereka yang cukup diberi fasilitasi di suatu negara. Jadi Tagar #KaburAjaDulu menjadi hal positif yang penting bagi generasi muda Indonesia untuk hijrah, bertebaran di muka bumi dan bermanfaat bagi warga dunia.
Mengapa Tagar #KaburAjaDulu Penting?
Catatan positif yang perlu disadari dalam tagar #KaburAjaDulu: Pertama, kesadaran kosmopolitan tidak berarti tidak cinta Indonesia. Justru dengan cinta Indonesia, maka hijrah adalah suatu keniscayaan agar citra orang Indonesia menggema di dunia. Hal inilah yang disebut “nasionalis-kosmopolitan”.
Pengalaman penulis di luar negeri, pekerja migran Indonesia sangat disukai karena rajin, disiplin, dan penurut dibandingkan pekerja dari India dan Cina. Citra ini harus dipertahankan sebagai branding pekerja Indonesia bertaraf internasional.
Kedua, lupakan nasionalisme sempit. Nasionalisme yang kini dipahami bangsa Indonesia adalah nasionalisme sempit seperti katak dalam tempurung. Nasionalisme yang harus dikembangkan adalah nasionalisme kosmopolitan, yakni semakin cinta terhadap bangsanya, maka semakin gigih bekerja di luar negeri untuk membanggakan bangsanya.
Menghidupi Indonesia dari luar negeri adalah pahlawan di era kebangkitan bangsa Asia di dunia. Anak bangsa Indonesia harus menjadi seorang nasionalis-kosmopolitan.
Ketiga, hijrah ke luar negeri untuk menunjukkan keunggulan bangsanya adalah keren. Apakah bangsa Indonesia bisa berpikir maju?
Fenomena Ainun Najib, seorang NU jago matematika yang berkibar namanya di Singapura adalah contoh keren anak bangsa Indonesia yang harusnya menjadi tauladan generasi muda Indonesia; Khoirul Anwar adalah penemu prinsip dasar 4G yang tinggal di Jepang; Ardistia Dwiasri adalah designer yang telah mendunia di Amerika; Damar Canggih Wicaksono adalah anak bintang film Dono Warkop yang tinggal di Jerman sebagai ahli nuklir; Mulyoto Pangestu adalah dosen di Australia sama halnya dosen ahli hukum, Nadirsyah Hosen (Gus Nadir), seorang sosiolog handal Ariel Heryanto, dan seorang ahli arsitektur colonial, Abidin Kusno di Canada. Mereka adalah suri tauladan yang harus diikuti generasi tagar #KaburAjaDulu.
Keempat, negara bangsa dan nasionalisme adalah produk modernitas. Kesadaran itu produk bangsa Eropa dengan kesadaran Eropa yang direproduksi terus sampai sekarang. Dunia kini masih dalam dominasi kesadaran Eropa sehingga ‘petak-petak sawah’ dunia adalah realitas Eropa bukan Asia. Bangsa Asia masih didominasi oleh kesadaran Eropa sehingga pemikirannya masih terjajah.
“Mangan ora mangan kumpul” adalah produk penjajah yang perlu didobrak dengan hijrah. Bangsa besar adalah bangsa yang ada di mana mana dan bermanfaat bagi sekitarnya. Jadi menjadi anak bangsa Indonesia harus berada di belahan dunia mana pun berkontribusi positif untuk sekitarnya. Anak bangsa Indonesia haruslah independent tahu akan dirinya sehingga percaya diri bisa hidup di mana saja.
Kebangkitan Asia yang digemakan Anwar Ibrahim, “Renaisans Asia” (1996) sudah terbukti. Menurut Kishore Mahbubani, “Asia adalah Hemisfer baru Dunia” (2008) dan bangsa Asia, termasuk Indonesia adalah penentu dunia.
Oleh sebab itu, anak muda Indonesia berhijrahlah! Bertebaranlah di muka bumi ini dalam perlombaan kebaikan. Maksimalkan potensimu jangan terkunggung di dalam Indonesia menjadi medioker. Hidup hidupilah Indonesia, tak perlu hidup di Indonesia.
Penulis: Musa Maliki PhD, Dosen Hubungan Internasional, UPN Veteran Jakarta .
Advertisement
