OPINI: Insentif Fiskal Pengelolaan Lapangan Migas Mature

Berdasarkan data Ditjen Migas dan SKK Migas (2022), sekitar 70% WK migas produksi di Indonesia telah mengalami penurunan produksi alamiah.

Pri Agung Rakhmanto
Berdasarkan opini dari: Pri Agung Rakhmanto

Pengajar di FTKE Universitas Trisakti Founder & Advisor ReforMiner Institute

Pri Agung Rakhmanto, Pengajar di FTKE Universitas Trisakti Founder dan Advisor ReforMiner Institute. Infografis/ Dillah
Pri Agung Rakhmanto, Pengajar di FTKE Universitas Trisakti Founder dan Advisor ReforMiner Institute. Infografis/ Dillah

Liputan6.com, Jakarta Ketergantungan produksi migas Indonesia terhadap produksi dari lapangan – lapangan tua (mature field) menjadi salah satu faktor utama penyebab terus menurunnya produksi migas nasional. Dalam hal produksi minyak, hingga tahun 2021/2022 tercatat sekitar dari 36,52 % porsi produksi minyak nasional tercatat berasal dari lapangan – lapangan yang telah beroperasi lebih dari 50 tahun.

Dengan rincian Wilayah Kerja (WK) Rokan dengan porsi sekitar 24,61 %, WK Offshore Southeast Sumatra (OSES) dengan porsi sekitar 3,64 %, WK Offshore North West Java (ONWJ) dengan porsi sekitar 4,06 % dan WK Mahakam dengan porsi sekitar 4,06 %.

Sementara untuk produksi gas, hingga tahun 2021/2022 masih mengandalkan lapangan – lapangan yang telah berproduksi lebih dari dua dekade seperti wilayah kerja Corridor dengan porsi sekitar 14,0 %, wilayah kerja Mahakam dengan porsi sekitar 8,0 %.

Lapangan-lapangan pada WK migas di atas tergolong sebagai lapangan migas mature karena berdasarkan perhitungan teknis telah mencapai puncak produksi dan telah berada pada fase natural decline menuju akhir masa produktifnya.

Berdasarkan data Ditjen Migas dan SKK Migas (2022), sekitar 70% WK migas produksi di Indonesia telah mengalami penurunan produksi alamiah. Dari 75 WK produksi yang saat ini aktif sekitar 40 di antaranya, atau 52 persen merupakan mature field di mana 36 diantaranya WK berumur 25-50 tahun, kemudian 4 WK migas lain berumur lebih dari 50 tahun. 

Dalam aspek keekonomian, permasalahan utama dalam pengelolaan produksi pada mature field pada dasarnya adalah bahwa tingkat pengembalian investasi dari lapangan tersebut (IRR, Internal Rate of Return) yang akan diperoleh akan lebih rendah dibandingkan IRR pada fase awal produksi sampai dengan produksi puncak.

Pada mature field, produksi tidak dapat ditingkatkan seringkali bukan semata karena faktor teknis seperti potensi geologi dan cadangan yang menipis, tetapi lebih karena bahwa untuk menambah produksi memerlukan biaya yang lebih tinggi sehingga secara kelayakan proyek dinilai tidak ekonomis lagi.

Hasil riset dan publikasi white paper Indonesian Petroleum Association (IPA) 2023 menemukan bahwa reformasi kebijakan salah satunya melalui pemberian insentif fiskal untuk mature field dapat memperbaiki kelayakan keekonomian dan umur masa produksinya. 

Insentif Fiskal untuk Mature Field di Sejumlah Negara

Negara-negara maju seperti Inggris, Norwegia dan Amerika Serikat tercatat merupakan pelopor di dalam penerapan reformasi kebijakan fiskal pengelolaan lapangan migas mature, dengan memberikan berbagai insentif fiskal secara khusus.

Pemerintah Inggris dalam hal ini menurunkan total marginal tax rate dari 81% bagi wilayah kerja migas yang memperoleh lisensi sebelum 1993 menjadi 62% dan 40% bagi semua wilayah kerja yang memperoleh lisensi setelah 1993.

Pemerintah Norwegia memberikan insentif fiskal berupa pengembalian biaya eksplorasi hingga sebesar 78% yang dilakukan melalui pengembalian pembayaran pajak setiap tahun. Insentif lainnya adalah berupa pemnerian Progressive Area Fee bagi wilayah kerja yang periode eksplorasinya akan segera berakhir.

Amerika Serikat, memberikan berbagai insentif fiskal untuk pengelolaan lapangan migas mature nya, dengan lebih rinci lagi. Beberapa diantaranya, yang diterapkan di negara bagian Texas adalah sebagai berikut: Pertama, Enhanced Oil Recovery (EOR) Incentives, yaitu insentif untuk proyek peningkatan produksi minyak atau pengembangan dari proyek yang telah ada.

Insentif berupa penerapan pengurangan pajak sebesar 2,3% selama 10 tahun setelah adanya produksi. Kedua, High-Cost Gas Incentives, yaitu insentif untuk sumur gas dengan kriteria High-cost gas sesuai ketentuan pasal 107 dalam Federal Natural Gas Policy Act (NGPA).

Sumur yang dapat memperoleh insentif ini adalah sumur yang memiliki izin produksi setelah 1 September 1996. Ketiga, Severance Tax Relief for Marginal Gas Wells, yaitu insentif berupa pemotongan pajak 25%, 50% dan 100% bagi produsen marjinal ketika harga gas berada di bawah batasan yang telah ditentukan.

Keempat, Enhanced Efficiency Equipment Severance Tax Credit, yaitu insentif kredit hingga 10% untuk sumur dengan kapasitas produksi rendah jika menggunakan peralatan hemat energi dibandingkan peralatan alternatif. 

Insentif Fiskal Hulu Migas di Indonesia

Di Indonesia, upaya untuk memberikan insentif fiskal bagi pengembangan lapangan migas juga sudah dilakukan, namun tidak secara khusus untuk lapangan mature.

Pengelolaan mature field di Indonesia sejauh ini memang relatif belum mendapat perlakuan khusus. Dalam kerangka regulasi pengelolaan hulu migas nasional saat ini, pengembangan mature field cenderung diperlakukan sama dengan lapangan migas secara umum. Bentuk dan jenis kontrak juga relatif tidak dibedakan apakah untuk lapangan baru ataukah untuk lapangan yang sudah mature. 

Dua peraturan perpajakan utama yang menyangkut pengelolaan hulu migas, yaitu Peraturan Pemerintah (PP) No 27 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi dan Peraturan Pemerintah (PP) No 53 Tahun 2017 tentang Perlakuan Perpajakan pada Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi dengan Kontrak Bagi Hasil Gross Split telah memuat berbagai ketentuan tentang insentif. 

PP No. 27 Tahun 2017 diantaranya memuat insentif fiskal seperti pembebasan bea masuk,PPN, PPnBM, PPh 22 impor dan PBB, perubahan prinsip field basis menjadi block basis, depresiasi aset dapat dipercepat, penerapan bagi hasil dinamis (sliding scale split), pemberlakuan full DMO holiday, pemberian kepastian kredit investasi dan kepastian atas daftar biaya yang dapat diklaim sebagai cost recovery.

Sementara PP No. 53 Tahun 2017 umemuat ketentuan insentif seperti pemberian insentif pajak berupa pembebasan bea masuk,PPN, PPnBM, PPh 22 impor dan PBB, biaya operasi kontraktor dapat diperhitungkan sebagai unsur pengurang penghasilan dalam penghitungan penghasilan kena pajak, tax loss carry forward atau penangguhan pajak penghasilan (PPh) selama 10 tahun, dan penerapan prinsip biaya operasi fasilitas bersama (cost sharing). 

Fokus Penyempurnaan

Kedua peraturan di atas, secara substansi cakupa insentifnya pada dasarnya dapat dikatakan telah cukup positif. Namun tetap memerlukan penyempurnaan, khususnya di dalam hal-hal yang berkaitan dengan mekanisme penerapan dan aspek operasionalisasinya.

Saat ini, dikabarkan bahwa pemerintah tengah menyiapkan revisi dan atau perbaikan atas kedua peraturan tersebut. Dua hal berikut kiranya perlu menjadi fokus dari pemerintah di dalam melakukan perbaikan dan penyempurnaan tersebut, yaitu: pertama, kesegeraan kepastian di dalam mendapatkan insentif tersebut, di mana selama ini penetapan pemberian insentif tersebut masih bergantung pada penilaian tertentu dari tim teknis maupun keputusan dari Menteri ESDM dan atau Menteri Keuangan.

Kemudian kedua, kemudahan dan penyederhanaan di dalam prosedur dan mekanisme, baik untuk pengajuannya secara administratif mapun untuk mendapatkan insentif tersebut.

Mengingat produksi migas nasional dan sebagian besar WK migas kita merupakan lapangan mature, ada baiknya pada lapangan-lapangan migas yang masuk kategori mature tersebut insentif dapat diberlakukan secara langsung, atau setidaknya lebih cepat dan sederhana, tanpa melalui prosedur dan mekanisme yang memakan waktu dan berlapis.

 

 

 

oleh Nurmayanti diperbarui 30 Agu 2023, 16:37 WIB
Diterbitkan 14 Agu 2023, 14:00 WIB

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya