Liputan6.com, Jakarta - Wacana adanya tes psikologi sebagai syarat penerbitan dan perpanjangan Surat Izin Mengemudi (SIM), memancing komentar sejumlah pihak.
Seperti Ahli Psikologi Klinis, Antonia Ratih Andjayani, yang menilai bahwa tes psikologi bagi pemohon SIM merupakan tindakan yang tidak fair.
Advertisement
Baca Juga
Menurut dia, jika seseorang mempunyai kecenderungan terhadap hal negatif, itu belum tentu terwujud ke perilaku orang tersebut. Contohnya, bila orang yang memiliki kencenderungan melakukan kekerasan, hal tersebut belum tentu termanifestasi ke perilaku orang yang bersangkutan.
"Kalau itu hanya potensi, sebetulnya sulit untuk bisa ditentukan bahwa orang berpotensi mengalami gangguan jiwa. Seseorang yang cenderung agresif belum tentu orang itu akan berperilaku agresif. Itu tidak fair kalau saya gak bisa dapat SIM karena saya berkencenderungan agresif tapi sehari-hari saya sangat mampu mengendalikan sikap agresif," kata Antonia saat dihubungi Liputan6.com, Senin (25/6/2018).
Ia mencontohkan kembali bila ada orang yang punya kecenderungan ketergantungan terhadap alkohol di mana kecenderungan itu ada, tetapi dalam kehidupan sehari-hari, orang tersebut sangat ketat menghindari diri dari alkohol.
"Kalau lantaran kecenderungan ini lalu orang tersebut tidak berhak mendapatkan SIM dan membawa kendaraan kan jadi tidak adil," kata Antonia.
Â
*Pantau hasil hitung cepat atau Quick Count Pilkada 2018 untuk wilayah Jabar, Jateng, Jatim, Sumut, Bali dan Sulsel. Ikuti juga Live Streaming Pilkada Serentak 9 Jam Nonstop hanya di Liputan6.com.
Simak Video Pilihan Berikut Ini:
Selanjutnya
Ia memahami penerbitan SIM memang harus melalui berbagai ujian seperti tes teori atau pun praktik agar bisa melihat skill atau keterampilan berkendara seseorang.
"Kalau kita buat SIM kan ada tes tertulis, untuk melihat seberapa kita memahami aturan lalu lintas dan bagaimana kita sebagai pengendara menerapkan aturan tersebut di dalam tes praktik. Tapi terkait dengan kesehatan jiwa, saya tidak tahu tujuan tes psikologinya ini untuk apa. Kalau melihat dia yang bergangguan jiwa itu tidak boleh (mendapat SIM), saya mengerti. Misalnya ada orang yang punya mental disorder, sakit jiwa, atau skizofren, itu tidak boleh ikut memang benar," ujarnya.
Jika tes psikologi salah satunya untuk menilai kemampuan konsentrasi pengendara, Antonia mengatakan tak perlu menggunakan tes psikologi.
"Daya konsen yang bagaimana yang boleh? Kalau sangat mengganggu (konsentrasi), baru ikut test teorinya saja sudah gagal kan. Enggak usah susah-susah pakai tes psikologi," tutupnya.
Seperti diketahui, tes psikologi telah tertulis pada Undang-undang LLAJ Nomor 22 tahun 2009, dan pada Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2012 tentang Surat Izin Mengemudi. Pada pasal 36 tertulis, ada enam komponen penilaian pada kesehatan rohani, yaitu kemampuan konsentrasi, kecermatan, pengendalian diri, kemampuan penyesuaian diri, stabilitas emosi, dan ketahanan kerja.
Advertisement