Rawan Korupsi, KPK Terus Pantau Pelaksanaan Pilkada 2020 Termasuk di NTB

Menurut Ketua KPK Komjen Pol Firli Bahuri, sebagian besar kasus melibatkan kepala daerah. Oleh karena itu, KPK pun prihatin dan memantau penuh gelaran Pilkada Serentak.

oleh Liputan6.com diperbarui 26 Okt 2020, 11:01 WIB
Diterbitkan 25 Okt 2020, 21:00 WIB
20171116-ilustrasi-jakarta-korupsi
Ilustrasi Korupsi. (Liputan6.com/Rita Ayuningtyas)

Liputan6.com, Jakarta - Kasus korupsi masih terjadi di Indonesia. Termasuk salah satunya di Nusa Tenggara Barat (NTB).

Berdasarkan data yang dihimpun Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK, NTB merupakan salah satu provinsi dari 26 daerah yang pernah terjadi tindak pidana korupsi. Data tersebut dihimpun dalam kurun waktu 2004-2020.

Ketua KPK Komjen Pol Firli Bahuri menyebut, di NTB sendiri terdapat 12 kasus korupsi, baik yang sudah maupun sedang diusut lembaga penegak hukum.

Menurut Firli, sebagian besar kasus melibatkan kepala daerah. Oleh karena itu, KPK pun prihatin dan memantau penuh gelaran Pilkada Serentak, termasuk di NTB.

"Ini memprihatinkan bagi kita," ujar kata Firli Bahuri, melalui keterangan tertulis, Minggu (25/10/2020)

Dia memaparkan, urutan kasus korupsi terbanyak yaitu ada di Jawa Barat 101 kasus, Jawa Timur 93 kasus, dan 73 kasus di Sumatera Utara.

"Kemudian di Riau dan Kepulauan Riau sebanyak 64, DKI Jakarta 61, Jawa Tengah 49, Lampung 30, Sumatera Selatan 24, dan Banten 24," papar Firli.

Lalu, lanjut dia, Papua 22 kasus, Kalimantan Timur 22, Bengkulu 22, Aceh 14, Nusa Tenggara Barat 12, Jambi 12 dan Sulawesi Utara.

Selanjutnya yakni Kalimantan Barat 10 kasus, Sulawesi Tenggara 10, Maluku 6, Sulawesi Tengah 5, Sulawesi Selatan 5, Nusa Tenggara Timur 5, Kalimantan Tengah 5, Bali 5, dan Sumatera Barat sebanyak 3 kasus.

"Dari sebaran 34 provinsi, 26 daerah itu pernah terlibat korupsi," kata Firli.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Kasus Korupsi Terbanyak

Ilustrasi Korupsi
Ilustrasi (Istimewa)

Firli mengharapkan, 8 dari 34 provinsi yang belum ditemukan tindak pidana korupsi oleh KPK untuk terus berbenah diri dan mencegah terjadinya tindak pidana korupsi. Begitu juga daerah-daerah yang pernah diusut KPK.

Firli menambahkan, sejak 2004 hingga 2020, kasus kepala daerah tersebut paling banyak adalah kasus suap sebanyak 704.

"Jadi kasus korupsi yang terjadi 2004 sampai 2020 itu paling banyak karena kasus suap, itu 704 kasus. Di proyek 224 perkara, penyalahgunaan anggaran 48 kasus dan TPPU sebanyak 36. Ini kasus-kasus yang melibatkan kepala daerah," kata Firli.

 

Potensi Korupsi di Pilkada

korupsi-ilustrasi-131003d.jpg
Ilustrasi korupsi.

Firli pun juga mengingatkan potensi tindak pidana korupsi dalam penyelenggaraan Pilkada.

Berdasarkan hasil Survei Benturan Kepentingan dalam Pendanaan Pilkada oleh Direktorat Penelitian dan Pengembangan KPK pada tahun 2015, 2017, dan 2018, ditemukan bahwa potensi adanya benturan kepentingan berkaitan erat dengan profil penyumbang atau donatur.

Hasil survei KPK menemukan, sebesar 82,3 persen dari seluruh calon kepala daerah dan wakil kepala daerah menyatakan adanya donatur dalam pendanaan pilkada.

Sesuai catatan survei KPK, total harta rata-rata pasangan calon adalah Rp 18,03 miliar. Bahkan, ditemukan pula ada satu pasangan calon yang hartanya minus Rp 15,17 juta.

Padahal, berdasar wawancara mendalam dari survei KPK itu, diperoleh informasi bahwa untuk bisa mengikuti tahapan Pilkada, pasangan calon di tingkat Kabupaten/Kota harus memegang uang antara Rp 5-10 Miliar, yang bila ingin menang idealnya musti mempunyai uang Rp 65 Miliar.

 

Adik Gubernur Ikut Pilkada

korupsi-ilustrasi-130620b.jpg
Ilustrasi korupsi.

Di kesempatan terpisah, Direktur Eksekutif Center for Budget Analysis (CBA) Uchok Sky Khadafi menilai KPK memang perlu mengawasi. Apalagi di Pilkada Sumbawa ada adik gubernur.

"Tentu bisa berpontesi adanya dinasti politik. Potensi penggunaan anggaran dan fasilitas gubernur untuk calon pilkada juga harus mendapat perhatian. KPK juga perlu memasang mata mengawasi di sana," kata Uchok.

Dia menegaskan, jangan sampai ada kecurangan atau permainan gubernur yang dapat menguntung salah satu paslon.

"Itu sangat dilarang jika sampai terjadi," jelas Uchok.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya