Liputan6.com, Manado - Sulawesi Utara (Sulut) ternyata merupakan salah satu pemasok Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ilegal ke luar negeri, termasuk di negara-negara Afrika seperti Kongo. Ironisnya nasib mereka di sana memprihatinkan. Bekerja tanpa ada jaminan keamanan, dan asuransi kesehatan, beberapa di antara mereka tewas mengenaskan.
Robby Lumi, salah satu TKI ilegal menceritakan derita yang dia alami di negara yang masuk wilayah Afrika Barat itu. Dia menjadi korban praktek TKI ilegal di benua Afrika itu, dengan bekerja sebagai sopir. Namun, gajinya dipotong oleh seorang makelar tenaga kerja asal Kota Bitung, Sulawesi Utara.
Robby mengadukan kasus-kasus TKI ilegal asal Sulut ke kepolisian, juga ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sulawesi Utara pada Rabu 25 Mei 2016. Robby mengatakan, semula dia dijanjikan gaji sebesar 1.000 USD tiap bulannya. "Namun gaji itu juga dipotong. Nanti sampai tiga bulan baru dibayarkan sebesar 10 juta rupiah," ujar dia.
Baca Juga
Selalu protes terkait persoalan gaji itu, Robby akhirnya dipulangkan oleh Mr A Kao, seorang pengawas TKI ilegal yang direkrut oleh Ince, makelar asal Bitung tersebut. "Ince ini makelar kami, tapi dia tidak punya perusahaan. Perusahaan ada di Malaysia. Karena Ince ini suaminya kontraknya asal Malaysia, jadi dia melakukan perekrutan di Bitung," kata Robby.
Robby yang pergi kerja di Kongo pada Mei 2012 dan kembali 2013. Dia menceritakan awal mula hingga bisa bekerja di Kongo. Tergiur dengan tawaran gaji yang besar yang dijanjikan Ince, Robby dan sejumlah temannya berangkat ke Kongo melalui bandara Sam Ratulangi Manado, Singapura dan langsung ke Kongo.
Padahal, Ince tidak memiliki Surat Izin Pelaksana Pengiriman Tenaga Kerja atau SIPPTK. "Kepada kami Ince menjamin bahwa semua baik-baik saja. Sehingga kami pun berangkat ke sana," ujar Robby.
Dia tidak pernah berpikir lebih jauh, apakah perekrutan mereka itu legal atau tidak. "Karena janji gaji yang besar, saya berharap bisa menyejahterakan keluarganya maka saya terima tawaran itu," ujar dia.
Menurut Robby, ada sekitar 200-an warga Sulawesi Utara yang direkrut oleh Ince dan bekerja di Kongo. "Kami bekerja sesuai keahlian untuk pelebaran jalan di sana. Ada yang jadi driver, operator dozer, grider dan lainnya," ungkap Robby.
Hal lain yang membuat Robby dan kawan-kawannya kian khawatir adalah paspor mereka ditahan dan mereka tak punya komunikasi dengan Kedutaan Besar RI di sana. Menurut Robby, mereka bekerja tanpa ada jaminan keamanan, kesehatan dan keselamatan kerja.
"Setahu saya ada lima orang yang sama-sama dengan kami yang tewas. Dua orang dari Pakistan hanya dihanyutkan di sungai, dua dari Sulawesi Utara dikuburkan di Kongo, satu lainnya asal Indonesia dipulangkan ke Ambon. Bahkan, istri TKI asal Ambon itu hanya menerima jenazah tanpa ada asuransi apapun juga," ungkap Robby.
Ketua Komisi IV Bidang Kesra DPRD Provinsi Sulut, James Karinda langusung mengeluarkan instruksi kepada Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Propinsi Sulut dan Disnaker Kota Bitung untuk segera memanggil Ince. "Ince harus dipanggil dan dihadirkan dalam pertemuan lanjutan. Kita harus segera selesaikan persoalan ini," ujar James.
Ketua KSPSI Sulawesi Utara, Tommy Sampelan mengatakan, kasus ini harus ditangani oleh DPRD bersama para anggota DPR RI dapil Sulut. "Masalah ini ini butuh diplomasi internasional. Karena kasus ini melibatkan beberapa negara, yaitu Indonesia, Malaysia dan Kongo. Jadi tidak akan selesai bila hanya di DPRD Sulut saja," kata Tommy.