Liputan6.com, Lebak - Masyarakat Hukum Adat (MHA)Â Banten Kidul telah meninggali wilayah Pegunungan Halimun Salak sejak abad ke-17 Masehi. Untuk melindungi keberadaan mereka dari gerusan zaman dan perusakan hutan, warga kasepuhan itu memiliki payung hukum peraturan daerah (perda).
Perda Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pengakuan, Perlindungan, dan Pemberdayaan Masyarakat Adat Kasepuhan itu akan melindungi budaya serta wilayah mereka. Wilayah adat diakui sebagai ruang kehidupan masyarakat Kasepuhan. Untuk pertama kalinya di Indonesia sebuah perda pengakuan masyarakat hukum adat memiliki lampiran tentang wilayah adat.
Setidaknya terdapat 67 komunitas kasepuhan yang mendiami wilayah Gunung Halimun Salak. Sedangkan di Kabupaten Lebak sendiri memiliki 57 kasepuhan, yang terdiri dari pupuhun kasepuhan, sesepuh kampung, dan sesepuh rendangan.
Luas wilayah adat Kasepuhan Banten Kidul mencapai 20 kali luas wilayah Baduy. Saat ini luas wilayah Kasepuhan yang sudah terpetakan melalui pemetaan partisipatif adalah 21.059,204 hektare. Dari luas wilayah tersebut, sebagian beririsan dengan hutan konservasi, yaitu Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS).
Baca Juga
Sementara sebagian lain beririsan dengan hutan produksi dan fungsi-fungsi lainnya. Hasil dari pemetaan partisipatif yang dilakukan masyarakat menunjukkan bahwa 14.138,045 hektare atau 67 persen dari delapan kasepuhan di Kabupaten Lebak, Banten yang telah dipetakan beririsan dengan fungsi konservasi TNGHS.
Kasepuhan-kasepuhan ini adalah Kasepuhan Cirompang, Kasepuhan Karang, Kasepuhan Sindang Agung, Kasepuhan Pasir Eurih, Kasepuhan Cibedug, Kasepuhan Citorek, dan Kasepuhan Cibarani.
Kasepuhan Ciptagelar-Sinarresmi-Ciptamulya sendiri sebagian wilayahnya masuk ke dalam wilayah administrasi Kabupaten Lebak, Banten. Namun sebagian lagi masuk ke dalam wilayah administrasi Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat.
Advertisement
Sabaki
Selasa malam 6 September 2016, para ketua adat atau ketua kasepuhan berkumpul di 'Imah Olot' (rumah tua) Kasepuhan Pasir Eurih, Sobang, Kabupaten Lebak, Banten. Mereka berembuk dan bersilaturahmi hingga dini hari untuk menggelar acara Festival Persatuan Adat Banten Kidul atau yang akrab disebut Sabaki.
Beranjak pagi, Rabu (7/9/2016), ketika ayam berkokok, matahari terbit dari ufuk timur tertutup hijaunya pegunungan di Gunung Halimun Salak. Saat itu suara seruling sunda, angklung buhun, dan tumbukkan lisung atau lesung merdu terdengar di Lapangan Desa Sindang Laya, Kecamatan Sobang, Kabupaten Lebak, Banten.
Ratusan kokolot atau kaum yang dituakan berkumpul duduk rapi di bawah tenda menggunakan ikat kepala bermotif khas Sunda berwarna cokelat. Mereka bersilaturahmi dan berbincang tentang kelestarian hutan dan kebudayaan adat para kasepuhan di Banten Kidul.
"Festival Sabaki yang ke-12 salah satu organisasi yang sifatnya penyambung antar-para kasepuhan di Banten Kidul dengan pihak pemerintah, swasta, dan pihak lainnya," kata Ketua Sabaki, Sukanta dalam sambutannya di acara Festival Sabaki yang berlangsung di lapangan Desa Sindang Laya, Kecamatan Sobang, Kabupaten Lebak, Banten.