Liputan6.com, Majene - Namanya Nur Amaliah. Usianya baru delapan bulan. Sekilas seperti tak ada yang salah pada diri bayi tersebut. Namun jika dilihat saksama, akan terlihat ada benjolan sebesar bola pingpong di bagian belakang kepala. Bahkan benjolan itu seperti menunjukkan Nur Amaliah seolah-olah tak punya tempurung kepala.
Nur Amaliah tak terlihat seperti bayi yang sedang sakit. Ia periang, makannya pun lahap seperti bayi pada umumnya. Ia juga tidak rewel dan cengeng, bahkan ia senyum dan tertawa saat orang asing mengajaknya bermain.
Namun berbeda bagi kedua orangtuanya, Hariadi dan Burdawati. Warga Kelurahan Pangali-ali, Kecamatan Banggae, Kabupaten Majene, Sulawesi Barat, itu sangat khawatir terhadap benjolan yang berada di kepala belakang anak keduanya itu. Benjolan misterius itu selalu menjadi pikiran keduanya setiap hari.
Baca Juga
"Benjolan itu sudah ada sejak anak saya lahir. Dia dulu lahir melalui operasi sesar," kata ibu Nur Amaliah, Burdawati.
Sang ibu menjelaskan, saat Nur Amaliah dilahirkan, ukuran benjolan itu sangat kecil hingga ia tidak begitu mengkhawatirkannya. Akan tetapi, semakin hari benjolannya itu semakin besar.
Anehnya, benjolan di belakang kepala bayinya itu terasa lembek, bahkan bisa kembang kempis.
"Benjolan di kepala anak saya bisa kembang kempis. Benjolannya menembus keluar batok kepalanya, seperti tak memiliki batok di area benjolan itu. Jika ditekan pakai jari benjolan itu ke dalam lalu akan keluar lagi setelah tekanan dilepaskan," ia menerangkan.
Bocah delapan bulan itu bukan tidak pernah menjalani pemeriksaan oleh dokter ahli. Nur Amaliah pernah sekali dibawa ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Majene, Sulawesi Barat. Namun keterbatasan peralatan medis yang dimiliki rumah sakit itu menjadi hambatan penanganan Nur Amaliah.
"Pernah satu kali dibawa ke RSUD Majene, tapi peralatan di sana terbatas," ungkap Burdawati.
Selain itu, kemampuan ekonomi keluarga Nur Amaliah yang terbatas juga menjadi alasan kenapa bocah itu tak melanjutkan pemeriksaannya ke dokter ahli. Hariadi, ayah Nur Amaliah, sehari-hari bekerja sebagai nelayan dan penghasilannya hanya cukup untuk mengisi perut keluarga kecilnya.
Saat Nur Amaliah berusia lima bulan, kedua orangtuanya sempat mengurus BPJS untuk bayi mereka itu dan baru dapat digunakan tiga bulan setelahnya. "Sekarang baru bisa digunakan, rencananya mau dirujuk ke Makassar," ujar dia.
Namun, kepemilikan kartu BPJS dan surat rujukan dari RSUD Majene ke rumah sakit di Makassar belum sepenuhnya menggembirakan bagi keluarga nelayan ini. Hapriadi dan Burdawati masih memikirkan biaya perobatan dan biaya hidup selama di Makassar.
"Saya dengar meski ada kartu BPJS, masih saja ada obat yang harus dibayar. Mana lagi harus ada uang untuk biaya hidup selama di Makassar," ujar Hariadi sambil tertunduk.