Perjuangan Nenek Hariri, Kartini bagi Keluarganya

Di usia senjanya, ia tak berpangku tangan. Semangat perjuangannya patut diacungi jempol karena dia harus menjadi Kartini bagi keluarganya.

oleh Aceng Mukaram diperbarui 21 Apr 2017, 16:50 WIB
Diterbitkan 21 Apr 2017, 16:50 WIB
Perjuangan Nenek Hariri, Kartini Bagi Keluarganya
Di usia senjanya, ia tak berpangku tangan. Semangat perjuangannya patut diacungi jempol, karena dia harus menjadi Kartini bagi keluarganya. (Liputan6.com/Raden AMP).

Liputan6.com, Pontianak Namanya Hariri, usianya kini 63 tahun. Janda dengan belasan anak itu tinggal di Sungai Putat, Kelurahan Siantan Hilir, Kecamatan Pontianak Utara, Kota Pontianak, Kalimantan Barat. Sudah dari lama ia menjadi Kartini bagi keluarganya sendiri.

Wanita tua itu berjalan lambat. Tangannya memegang erat barang. Ada panci, mangkok, hingga sendok. Matanya menatap tajam pada benda yang ia tatap. Dia fokus pada jalannya itu.

Setiap hari Nenek Hariri jualan makanan untuk sarapan pagi di bantaran Sungai Putat. Di usia senjanya, Nenek Hariri tak berpangku tangan. Semangat perjuangan sang nenek patut diacungi jempol.

Sebab, setiap hari Nenek Hariri bekerja sendiri membuat menu sarapan pagi. Bahkan untuk pergi ke pasar, dia seorang diri tanpa ditemani. Dia jalan kaki sejauh 3 km dari rumahnya.

Kamis pagi, 20 April 2017, Liputan6.com menemui Nenek Hariri. Ia menuturkan tidak lelah menjalani kehidupan. Walaupun suami tercinta sudah lebih dulu menghadap Ilahi, ia tetap tegar dan semangat berjuang demi kelangsungan hidup ia dan keluarganya.

"Bapak sudah lama enggak ada," ucapnya lirih di warung sempit miliknya. Warung yang hanya berlantaikan papan dan beratapkan seng bekas.

Tak ada hentinya ia terus menerus melayani pembeli. Dengan sigap dan cekatan, tangannya begitu lincah memasukkan menu sarapan pagi. Yang dijual sang nenek adalah nasi kuning, bubur, mi sagu, mi suwah (mi asin), dan bakwan.

"Kalau tak habis, ya dimakan cucu," katanya tersenyum tanpa gelisah tak dapat keuntungan.

Ingatannya saat ini mulai melemah. Contohnya kala mengingat jumlah cicitnya. Yang masih dia ingat jumlah anak kandungnya

"Anak 11. Ada cicit banyak, tak terhitung saking banyaknya," kata dia yang berusaha terus mengingat.

Setiap hari, perjuangan nenek ini dimulai pukul 03.00 WIB dini hari. Saat banyak orang masih terlelap mimpi, ia sudah terbangun. Setelah itu, ia mengemaskan barang dagangannya, lalu memasak.

"Jam 3 bangun, masak. Jam 5 berangkat ke warung,"  ujarnya sembari mengusap keringat di mukanya yang tampak mulai berkeriput.

Bahan pokok untuk jualannya ini dibeli dari sebuah pasar tradisional. Ia membeli sendiri. Bermodalkan Rp 100 ribu, sang nenek setiap hari menekuni usahanya di warung sederhana yang sempit di bantaran Sungai Putat.

"Ya untungnya lebih dari itu. Ini mengisi kesibukan," ucapnya.

Setiap hari berjualan ia tak mengeluh sakit. Ia tetap semangat. Sebab, setiap jam 07.00 WIB pagi sudah ramai pembeli.

"Kebanyakan anak-anak sekolah yang beli," kata Nenek Hariri.

Ternyata, berjualan sang nenek sudah menjadi hobi. Itu diakuinya semenjak dia menikah. Ia mengatakan pertama kali jualan menu sarapan pagi di Pelabuhan Dwi Kora Pontianak pada 1980. Kala itu, sang suami masih menemani.  

"Sudah jualan ini dari tahun 1980. Anak saya juga masih kecil-kecil. Dulu saya jualan di Pelabuhan Dwi Kora Pontianak. Saya suka jualan dari sejak menikah dengan suami saya. Kalau untungnya saya tabung," ucapnya.

Kulit keriput dan legam di tubuhnya bukti perjuangannya tak mudah. Ia tidak lelah, meski usianya menginjak senja. Bagi dia, hidup tidak perlu menggantungkan pada orang lain.

Justru kemandirian yang harus dipupuk pada setiap orang. Sebab, dengan keterampilan semuanya akan menuntun. Seperti yang pernah diperjuangkan Raden Ajeng Kartini dulu membuktikan bahwa tak ada yang mustahil asal mau berusaha.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya