Listrik Menyala, Warga Kampung Fef Bergoyang Semalaman

Warga Kampung Fef kini tak ragu lagi membeli televisi lengkap dengan parabola meski harus merogoh kocek Rp 5 juta.

oleh Katharina Janur diperbarui 29 Mei 2017, 13:32 WIB
Diterbitkan 29 Mei 2017, 13:32 WIB
Listrik Menyala, Warga Kampung Fef Bergoyang Semalaman
Warga Kampung Fef kini tak ragu lagi membeli televisi lengkap dengan parabola meski harus merogoh kocek Rp 5 juta. (Liputan6.com/Katharina Janur)

Liputan6.com, Fef - Suka cita dan pesta warga Kampung Fef pada 21 April 2017 malam pecah. Ratusan masyarakat Kampung Fef bersorak dan bergoyang semalaman mengikuti irama musik daerah yang menghentak.

Pesta itu menyambut aliran listrik memasuki perkampungan mereka. Pemerintah Kabupaten Tambrauw selaku pemerintah definitif sengaja mengambil momen Hari Kartini untuk menghidupkan listrik di daerah itu karena memiliki semboyan Habis Gelap Terbitlah Terang.

Warga tak sepenuhnya tak mengenal listrik. Sebagian warga yang mampu memiliki genset yang memerlukan bensin 2 liter untuk menyalakan lampu semalaman.

Sementara, harga bensin Rp 20 ribu per liter. Artinya, warga harus merogoh kocek Rp 40 ribu hanya untuk menyalakan lampu.

"Biasanya genset mulai menyala pukul 18.00 WIT hingga pukul 03.00 WIT dini hari, dengan menghabiskan 2 liter bensin. Ya, kalau hitungannya, semalam kami harus membeli bensin Rp 40-50 ribu," kata Anna Yembra (31) yang kesehariannya bekerja di Kantor Bupati Tambrauw, saat ditemui Liputan6.com, di Kampung Fef, beberapa waktu lalu.

Warga yang memiliki genset pun masih bisa dihitung dengan jari. Rata-rata yang memiliki genset adalah warga yang berpenghasilan menengah ke atas dan bekerja sebagai pegawai, guru dan pekerja swasta lainnya.

Sebelum ada listrik, warga mendapatkan penerangan di malam hari dari damar atau pelita, bahkan kadang kala tidak ada penerangan sama sekali. "Yang punya uang, bisa beli minyak tanah untuk bakar pelita dan rumahnya akan terang. Tetapi bagi yang tidak punya uang, ya gelap sudah," ucap Anna.

Warga Fef sebelumnya juga pernah menikmati listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) berkapasitas 15 KWP. Namun, PLTS hanya beroperasi sekitar satu tahun karena rusak. Setelah itu, kampung kembali gelap, sementara warga yang mampu kemudian membeli genset untuk menyalakan listrik di rumahnya.

Secara definitif, kampung Fef berdiri pada 2004 dan menjadi bagian dari Kabupaten Tambrauw, tapi keberadaan kampung sudah ada sejak 1900an. Letak kampung yang berjarak 156 kilometer dari Kota Sorong, Papua Barat, sempat menyulitkan PLN memasang jaringan listrik ke kampung itu.

Namun, situasi berubah setelah Kampung Fef dilalui jalan Trans Papua Barat yang menghubungkan Kota Sorong, Kabupaten Tambrauw, Kabupaten Manokwari hingga Kabupaten Bintuni.

Untuk mencapai Kampung Fef, Anda harus menempuh jarak 6-7 jam perjalanan dengan mobil dari Kota Sorong dengan merogoh kocek satu kali perjalanan Sorong-Fef Rp 3 juta.

Sebelum ada jalur darat, Kampung Fef hanya dapat dilalui dengan transportasi udara. Namun sejak 2010, jalur transportasi udara ditutup. Lapangan terbang milik itu saat ini sudah ditumbuhi ilalang setinggi hingga 2 meter.

Kampung Fef didiami sekitar 200 jiwa yang hidup terpencar di tengah hutan di bawah Pegunungan Tambrauw. Mayoritas warga kampung bekerja sebagai petani dan pekebun, dan sebagian lainnya menjadi pegawai negeri sipil.

Menabung untuk Televisi

Listrik Menyala, Warga Kampung Fef Bergoyang Semalaman
Anak-anak Kampung Nef kini bisa belajar hingga malam setelah listrik mengaliri kampung mereka. (Liputan6.com/Katharina Janur)

Sejak listrik masuk, kehidupan warga di Kampung Fef berubah. Banyak warga yang ingin membeli televisi untuk dapat melihat perkembangan daerah lain di Indonesia atau pun perkembangan lain di dunia.

Misalnya Tarsisius Bofra (21), warga Kampung Fef yang bekerja sebagai buruh bangunan. Ia membutuhkan uang Rp 5 juta untuk mewujudkan mimpinya memiliki televisi lengkap dengan parabola agar dapat menangkap siaran.

Menonton televisi saat ini menjadi kegiatan mewah warga kampung tersebut. Sebelumnya, warga hanya dapat menikmati siaran televisi di rumah kepala distrik dan Camp Baraya, salah satu kamp pekerja yang sedang membangun jalan Trans Papua Barat. Siaran terfavorit warga adalah di saat Persipura, klub sepak bola yang menjadi kebanggaan warga Papua, berlaga melawan klub lainnya di Indonesia.

"Saya sudah kumpul uang untuk membeli televisi. Bulan depan, mudah-mudahan televisi sudah bisa dinikmati di rumah," kata Tarsisius sambil tersenyum.

Dulu, sebelum warga bercita-cita memiliki televisi, sebagian warga di Kampung Fef hanya dapat menikmati musik yang diputar dari telepon genggamnya masing-masing. "Kami bisa putar musik sampai batre hape habis. Apalagi, warga kampung senang goyang (berjoget)," kata Maria Yewen (21), ibu tiga anak.

Untuk mengisi baterai telepon genggamnya penuh kembali, warga biasa mengisinya di rumah kepala distrik ataupun warga lainnya yang memiliki genset.

"Sekarang, bukan hanya televisi yang ingin kami beli. Mungkin kami juga ingin memiliki lemari pendingin, untuk menyimpan ikan atau pun makanan lainnya agar awet," kata Maria yang bercita-cita memiliki rumah makan.

Sementara, Kepala Kampung Fef, Sefnat Yembra bahkan telah memiliki televisi yang dibelinya langsung dari Kota Sorong. Dia berkisah, sebelum listrik masuk di kampung itu, warga yang ingin menonton televisi, harus mematikan sebagian lampunya, agar arus listrik dapat mencukupi arus listrik ke televisi.

"Tapi setelah PLN menerangi kampung ini, lampu bisa tetap menyala dan siaran televisi pun tetap dapat dinikmati. Kami telah mendapatkan pasokan listrik yang cukup," ujarnya.

Sefnat mengaku saat ini hampir semua rumah di kampung telah diterangi listrik. Jalan-jalan di kampung juga sudah terang.

"Warga berterima kasih kepada PLN. Warga senang, karena tidak gelap gulita lagi," ujarnya.

Nyala listrik di Kampung Fef juga berdampak pada pola belajar anak sekolah. Yusuf Bofra (10), siswa kelas III SD Yayasan Pendidikan dan Persekolahan Katolik (YPPK) Ases Fef mengaku bisa belajar hingga malam bersama adiknya, Demianus Bofra.

"Lampunya lebih terang dan kami bisa lebih lama belajarnya," jelasnya.

Sebelumnya, Yusuf selalu mengerjakan pekerjaan rumahnya pada siang atau sore hari, di saat matahari masih bersinar. Walaupun harus belajar malam hari, dia menggunakan pelita yang menerangi rumahnya.

Di Fef, hanya terdapat satu sekolah yaitu SD YPPK Ases. Jika sudah memasuki tingkat SMP, murid-murid harus melanjutkan pendidikan di luar Fef. Pada umumnya, orangtua menyekolahkan anaknya di Kota Sorong.

Listrik Pra Bayar

Listrik Menyala, Warga Kampung Fef Bergoyang Semalaman
Warga membeli listrik pra bayar untuk penerangan di Kampung Fef. (Liputan6.com/Katharina Janur)

Pembayaran listrik di Kampung Fef dilakukan dengan sistem listrik pra bayar. Warga harus mengisi nomor token listrik untuk mendapatkan pulsa listrik. Tercatat ada 173 sambungan dan 15 calon pelanggan yang masih menunggu pemasangan jaringan listrik karena tiang belum dipasang di lokasi tersebut.

Sebagai awal masuknya listrik ke Fef, Pemda Tambrauw membagi-bagikan pulsa listrik ke pelanggan senilai Rp 100 ribu. Jika nanti pulsa listrik sudah habis terpakai, warga harus membeli pulsa untuk listrik dapat tetap menerangi rumahnya.

Saat ini, sumber listrik di Fef berasal dari dua mesin PLTD yang berkapasitas 2x80 KW milik Pemda Tambrauw dan dioperasikan oleh PLN area Sorong. Karena bertenaga diesel, pembangkit menggunakan solar untuk bahan bakar menghidupan mesin. Dalam satu malam, mesin PLTD bisa menghabiskan 25-30 liter solar.

Manager PLN Area Sorong, Aep Saepudin menyebutkan untuk mengoperasikan dan menjaga mesin PLTD, pihaknya telah melatih empat warga sebagai operator lokal. "Jarak Kampung Fef sangat jauh dari Sorong, sehingga lebih efektif jika warga lokal yang mengoperasikan mesin. Selain itu, juga memberikan lapangan pekerjaan baru ke warga," ujarnya.

Mesin yang baru dioperasikan belum dapat bekerja maksimal. Selain SDM masih terbatas, juga sering terjadi gangguan, karena jaringan melewati pepohonan.

"Kalau ada gangguan, sering berhari-hari menunggu petugas jaringan dari Sorong untuk bisa diperbaiki. Selain jarak jauh, akses jalan sering terputus, apalagi kalau musim hujan di beberapa titik jalan tidak bisa dilalui karena kondisi berlumpur dan longsor," kata Aep.

Fef adalah ibu kota kabupaten di Papua Barat yang terakhir dialiri listrik. Sesuai dengan instruksi Presiden Joko Widodo, semua ibu kota kabupaten dan distrik di Papua dan Papua Barat harus dialiri listrik melalui Program Papua Terang pada 2019.

Kabupaten Tambrauw terdiri atas 29 distrik dan 216 kampung atau desa. Enam kampung di antaranya sudah dialiri listrik oleh PLN dan 210 kampung sisanya belum dialiri listrik PLN.

"Untuk mengaliri listrik, kami membutuhkan dana hingga Rp 3,5 miliar," ujar Aep menambahkan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya