Liputan6.com, Semarang - Mempertahankan kemerdekaan Indonesia bukan hanya mengibarkan bendera merah putih dan dar der dor adu senjata. Di balik itu ada perang lain yang cukup rumit: perang kode. Bagaimana mengaburkan sebuah pesan sehingga bisa menyesatkan musuh, atau setidaknya pesan itu tak bermanfaat ketika jatuh ke tangan musuh.
Mantan ketua pengamanan IT Kepresidenan Lembaga Sandi Negara, Pratama D. Persadha mengatakan bahwa sejak zaman pendudukan Belanda dan Jepang, pola komunikasi yang konvensional mengharuskan adanya pesan tersembunyi yang dibawa kurir.
Itulah cikal bakal lembaga kode Indonesia. Pratama menuliskan pengalamannya selama mengabdi di Lembaga Sandi Negara itu dalam sebuah buku "Kode Untuk Republik".
Advertisement
"Pesan yang dibawa bersifat khusus, jadi harus diperlakukan secara khusus pula. Perlakuan ini adalah penggunaan kode atau sandi. Dan sekarang lebih canggih lagi dengan kriptografi elektronik," kata Pratama kepada Liputan6.com, Rabu 8 Agustus 2017.
Pelembagaan sandi di Indonesia mulai dikenal sejak Belanda mendirikan NEFIS (Netherlands Forces Intelligence Service), pada 1941 oleh Commandant der Zeemacht in Netherlands-Indie (CZMNI~Panglima Angkatan Laut Hindia Belanda) yakni Laksamana Madya C.E.L Helfrich. Awalnya, bertujuan mengumpulkan data tentang Jepang.
Baca Juga
"Saat itu dikepalai Letkol Laut G.B Salm. Namun saat itu Kapten Simon Hendrik Spoor sudah membuat bagan, struktur organisasi dan tugas-tugas NEFIS," kata Pratama.
Pada 1945, Indonesia Merdeka. Tugas NEFIS kemudian diperluas. Dalam "Panduan Kontra Intelijen Saat Kembali ke Hindia Belanda", H.J Van Mook menginginkan agar anggota NEFIS selain bertugas sebagai intelijen, juga menjadi korps diplomatik, pengontrol lalu lintas isu, dan juga sebagai badan sensor.
Atas hal ini, Hendrik Spoor yang cerdas langsung menyusun "Rancangan Peraturan Sensor Untuk Hindia Belanda dalam periode Pendudukan Kembali (Ontwerp censuurvoorschrift voor Netherlands-Indie gerunde herbezettingsperiode).
Spoor tiba di Tanjung Priok, 16 Oktober 1945, dengan menumpang kapal Van Heutz. Selama perjalanan dari pelariannya di Australia itu akhirnya dirancang bahwa NEFIS memiliki tugas tambahan. Dibagi menjadi 10 departemen.
"Urusan radio dan perhubungan yang meliputi distribusi informasi, perhubungan, kamar sandi, dan penerjemah masuk dalam afdeling/departemen delapan," kata Pratama.
Berdasarkan data di Lembaga Sandi Negara, pada pertengahan pada 1947, NEFIS afdeling 8 ini memiliki reputasi dahsyat. Selain sukses mencari informasi jadwal frekuensi dan transmisi radio Indonesia yang dijadikan media komunikasi, para pejuang juga berhasil mendapatkan daftar nama operatornya. Bahkan gambaran organisasi militer Indonesia, perintah tempur unit militer dan kesiagaannya.
Tak heran kalau dalam agresi militer II Yogyakarta, Belanda dengan mudah menundukkan Yogya. Spoor yang sudah berpangkat Jendral menjadi tokoh penting penyuplai informasi untuk menentukan strategi penyerangan yang efektif.
Dalam agresi yang dinamakan operasi gagak (Operation Kraai) itu, Spoor sudah mengumpulkan informasi mengenai kekuatan militer Indonesia, strategi dan rencana diplomatik yang akan dilakukan para pemimpin Republik.
George McTurnan Kahin dalam South East Asia: A Testament, beberapa komunikasi strategis perjuangan sukses disadap Belanda. Hanya melalui jaringan Radio Republik, Spoor mengetahui rencana pelarian pemimpin Republik. Bahkan rencana Jawaharlal Nehru yang akan mengirim pesawat pribadi untuk melarikan Soekarno dan Hatta keluar dari Yogya.
Perintah Panglima Sudirman
Minggu, 19 Desember 1948, Sudirman menerima laporan bahwa Lapangan Terbang Maguwo diserang Belanda. Ia langsung menulis surat, belakangan dikenal dengan Perintah Kilat no 1.
Isi lengkapnya; 1). Kita Telah Diserang. 2). Pada tanggal 19 Desember 1948 Angkatan Perang Belanda menyerang kota Yogyakarta dan lapangan terbang Magoewo. 3). Pemerintah Belanda telah membatalkan persetujuan gencatan senjata. 4) Semua angkatan perang menjalankan rencana yang telah ditetapkan untuk menghadapi serangan Belanda. Dikeluarkan di tempat, tanggal 19 Desember 1948, jam 08.00. Ditandatangani panglima Besar Angkatan Perang Republik Indonesia, Letnan Jendral Sudirman.
Perintah Kilat no 1 ini menjadi salah satu tonggak sejarah lembaga kode atau sandi di Indonesia. Ditulis dengan huruf yang samar karena kondisi Sudirman hanya bernafas dengan satu paru-paru, ajudan Sudirman yakni Kapten Pardjo mampu membaca dengan baik.
"Oleh Pardjo kemudian diberikan kepada Vaandrig Kadet Utoyo Kolopaking agar diteruskan ke RRI Yogyakarta. Ia juga diminta agar naskah itu segera diudarakan," kata Pratama.
Menghadapi Agresi Belanda II itu, pemerintahan Soekarno dan Hatta menggelar sidang kabinet di pemerintahan pengungsian, yakni Yogyakarta. Keputusannya sangat antisipatif. Jika pemerintahan tidak bisa melaksanakan kewajibannya diputuskan untuk membentuk pemerintahan darurat di Sumatera.
Dalam sidang itu pula, Soekarno-Hatta menandatangani surat kuasa yang ditujukan kepada Syafruddin Prawironegara, Menteri Kemakmuran yang sedang berada di Bukittinggi.
Bahkan, jika Syafruddin gagal membentuk pemerintahan darurat, disiapkan pula surat kuasa untuk dr Sudarsono, Dubes di India, staf kedutaan LN Palar, dan Menteri Keuangan AA Maramis. Tentu saja hal ini membutuhkan penanganan khusus, karena lalu lintas telegram dari dan ke Yogyakarta terkait keberlangsungan pemerintahan Indonesia pasti akan melonjak.
Kantor Dinas Kode di Jalan Batanawarsa 32 Yogyakarta menjadi sangat sibuk. Dari kantor dinas kode ini pula, dr Roebiono Kertapati menjalankan semua strategi penyelamatan pemerintahan dan eksistensi Indonesia.
Dalam buku "Kode Untuk Republik" gubahan Pratama Persadha dijelaskan bahwa pada 19 Desember 1948 jam 14.00, pasukan baret hijau Belanda yang dipimpin Kolonel Van Beek sudah mengepung Gedung Agung.
Saat yang sama, Panglima Sudirman meinggalkan Ndalem Kadipaten. Alhasil, ketika pasukan Van Beek menyerbu gedung Agung jam 17.00 WIB dan sukses menjadikan para pemimpin republik sebagai tahanan rumah, Panglima Sudirman sudah tidak ada.
Naskah-naskah pesan dan pidato para pemimpin republik kemudian dienkripsi oleh para Code Officer, yakni petugas sandi yang bertugas mengubah pesan biasa menjadi sandi atau menerjemahkan pesan sandi yang diterima. Hal itu dilakukan agar pemerintahan bisa diselamatkan dan informasi tidak bocor hingga bisa disampaikan dalam forum-forum internasional.
"Naskah-naskah pidato para pemimpin Republik sampai di Batavia tanggal 10 Januari 1949 dengan selamat, sehingga bisa dibacakan delegasi Konferensi Tiga Negara," kata Pratama.
Advertisement
Kelanjutan Dinas Kode
Ketika pasukan Belanda merangsek hampir ke seluruh Yogya dan sampai di jembatan Gondolayu, Kabag Pendidikan Dinas Kode, Kapten Santoso memberi perintah para Code Officer agar meloloskan diri dengan berbagai cara.
Santoso bersama Letda Sumarkidjo dan Letda Soedijatmo kemudian menuju desa Dekso di Kulonprogo. Di Dekso inilah, dengan bermodal sebuah pemancar radio, ia menjalin komunikasi dengan kaum republikan. Hingga dr. Roebiono Kertapati bisa mengkonsolidasikan kekuatan dinas Kode.
Di Desa Dekso ini pula, pertama kali didirikan Kamar Kode di bawah naungan Satuan Perhubungan (PHB) Angkatan Perang. Perhubungan menjadi urat syaraf dan roh yang menghidupkan strategi perang gerilya. Perang ini digelar dengan arsitek perang A.H Nasution.
"Pak Nasution mengeluarkan instruksi yang disebut Renraku pada 7 Januari 1949. Diambil dari bahasa Jepang Ren yang artinya komunikasi," kata Pratama.
Renraku mengatur soal penyamaran, pembakaran/pemusnahan dokumen, aturan para kurir, pemakaian kode atau sandi tertentu, dan pembentukan pos X secara beranting sebagai jalan gerilya. Pos X ini membentang dari Subang Rancah di barat hingga Probolinggo di Jawa Timur.
Pos-pos yang dibentuk ini memiliki pemutakhiran informai melalui radio siaran. Angkatan Udara RI memiliki 39 stasiun radio penghubung dan tersebar di berbagai tempat. Radio ini mengudara setiap malam jam 19.00-20.00 dengan materi siaran berupa laporan dri garis depan pertempuran, pengumuman pemerintahan militer, radiogram dari pemerintahan darurat, dan sejenisnya. Semua bertujuan mengkonsolidasikan pasukan gerilya.
Catatan Kolonel TB Simatupang yang tertuang dalam buku "Laporan Dari Banaran" menyebutkan bahwa staf penerangan dari Markas Besar Komando Djawa (MBKD) di Boro, Kulonprogo dan markas sandi negara di Dekso membuat pemancar-pemancar kecil yang terhubung dengan radio perhubungan yang ada di Banaran, Playen Gunung Kidul, dan Balong. Semua di-relay melalui pemancar kecil dan bisa diterima hingga Jakarta, Sumatera, bahkan akhirnya bisa sampai New Delhi.
Meskipun para pemimpin Republik dan pemimpin politik sudah ditahan dan dibuang, namun perjuangan berlanjut. Hal itu tertuang dalam radiogram Hatta yang dikaburkan dengan sandi hingga sampai ke stasiun radio dengan selamat dan disiarkan.
"Pemerintah Republik Indonesia di Yogya dikepung musuh dan tidak dapat melakukan tugas kewajibannya, tetapi persiapan telah diadakan untuk meneruskan pemerintah Republik Indonesia di Sumatera. Apapun yang terjadi dengan orang-orang pemerintah yang ada di Yogya, perjuangan diteruskan," demikian pesan Hatta yang sukses disiarkan Sabar Wijoyomukti dari radio AURI ketika Yogya diserbu.
Sebagai panduan, dr Roebiono Kertopati menyusun Buku Kode C yang disusun selama dua bulan. Buku ini berisi sekitar 10.000 kata bahasa Indonesia dan sistem-sistem sandi lain yang sangat bersifat operasional. Buku ini dikerjakan dengan ditulis tangan, agar bisa cepat selesai Roebiono mengerjakan dalam kamar tertutup yang dijaga ketat dan ditulis menggunakan tangan kanan dan tangan kiri.
Pada 2017, umur Republik 72 tahun. Teknologi pembuat sandi sudah sangat maju dengan pesat. Enkripsi kini merambah dunia sipil, termasuk munculnya aplikasi-aplikasi percakapan yang anti sadap.
Namun selama 2000 tahun, pola yang terbangun dalam dunia kriptografi masih sama. Ada pengguna yang butuh kerahasiaan, ada sekelompok elit cerdas yang mengkodefikasi, dan ada publik yang tak tahu apa-apa.
Kriptografi di dunia digital ketika semua terhubung dengan internet seperti tentara yang menjadi benteng negara. Tanpa kriptografi canggih, sebuah negara atau lembaga, atau organisasi akan sangat mudah disusupi musuh dan ditaklukkan dari dalam.
"Chryptography is the essential building block of independence for organizations on the internet, just like armies are the essential building blocks of states, because otherwise one state just takes over another," kata Julian Assange, pendiri Wikilieaks.