Para Perempuan Perkasa di Balik Sakralnya Tudung Sesaji

Hampir semua perempuan di Dusun Bantar, Desa Kertayasa, Kecamatan Mandiraja, Kabupaten Banjarnegara, Jateng, bisa membuat tudung sesaji.

oleh Muhamad Ridlo diperbarui 13 Sep 2017, 03:00 WIB
Diterbitkan 13 Sep 2017, 03:00 WIB
Tudung Sesaji
Jaminan mutu membuat produk kerajinan Dusun Bantar Desa Kertayasa tak pernah ada matinya. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Liputan6.com, Banjarnegara - Perempuan berkerudung itu tampak tak terganggu dengan suhu panas yang dipendarkan atap seng di teras rumahnya, siang hari itu. Tangannya dengan terampil menganyam bilah irisan tipis bambu yang tak beraturan di sebuah kerangka bundar.

Hanya membutuhkan beberapa menit, irisan bambu itu mulai membentuk motif khas anyaman yang teratur, lagi indah. Sementara, kakinya menahan kerangka agar tetap bundar. Lantas, ia pun mengikat kencang-kencang anyaman itu menjadi sebuah tudung sesaji setengah jadi.

Namanya Turyati, usianya sudah lewat 40 tahun. Sehari-harinya, Turyati dan hampir seluruh perempuan di RT 2/2 Dusun Bantar, Desa Kertayasa, Kecamatan Mandiraja, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, berprofesi menjadi perajin tudung sesaji.

Turyati berujar, keahliannya membuat tudung sesaji diperolehnya secara turun-temurun. Tak aneh jika tudung asal kampung ini dikenal seantero Jawa hingga luar pulau. Tak hanya ibu rumah tangga, remaja putri di dusun ini juga dikenal terampil menganyam tudung.

"Boleh dikatakan hampir semua warga di sini bisa membuat kerajinan tudung. Sudah lama," tuturnya, Senin, 11 September 2017.

Dalam sepekan, Turyati mengaku bisa menyelesaikan antara 25 hingga 30 tudung berbagai ukuran, mulai sedang hingga besar. Tiap tudung dihargai Rp 15 ribu untuk ukuran sedang, dan Rp 18 ribu untuk tudung ukuran besar.

Bahan baku pembuat tudung tak boleh asal. Hanya bambu wulung yang secara turun-temurun digunakan oleh para perajin. Bambu wulung diyakini lebih kuat, indah sekaligus tahan lapuk. Bambu itu dibeli seharga Rp 17 ribu per batang.

Bambu itu pun tak lantas digunakan begitu dibeli. Bambu-bambu ini harus melewati periode rendaman selama berminggu hingga berbulan-bulan. Perendaman di kolam diyakini memperkuat struktur dan serat bambu, sehingga lebih tahan lama saat digunakan kelak.

"Bapak-bapak yang merendam. Ditata yang siap dipakai yang mana, yang baru mana. Yang memotong dan membelah juga bapak," Turyati menerangkan.

Jaminan mutu itu membuat produk kerajinan Dusun Bantar tak pernah ada matinya. Permintaan selalu ada. Bahkan, seringkali, lantaran keterbatasan bahan baku, permintaan tengkulak yang datang sepekan sekali tak bisa dilayani.

Kepala Dusun Bantar, Suwarso mengatakan, selain tudung warga setempat juga memproduksi bakul, tampah, hingga besek atau piti. Dia menyebut, ada sekitar 780 keluarga di desanya yang salah satunya pasti berprofesi sebagai perajin anyaman bambu.

Tampah dan bakul disebut sebagai kerajinan pertama dan lebih tua umurnya dibanding tudung sesaji dan besek. Berbeda dengan tudung sesaji yang hanya menggunakan bahan baku bambu wulung, tampah dan besek dibuat dengan bambu jenis tali. Jenis bambu ini liat dan kuat, namun berharga lebih murah dan ketersediaannya terjamin.

"Dari nenek moyang dulu sudah buat tampah, turun-temurun. Kerajinan tudung sesaji lebih baru. Menyesuaikan permintaan," ujar Suwarso.

Suwarso juga yakin, industri kreatif di kampungnya itu masih bisa dijadikan andalan tambahan penghasilan khususnya kaum perempuan. Sebab, tudung dan berbagai kerajinan bambu itu telah memiliki pasar khusus dan ada tren perluasan pasar hingga keluar pulau. Antara lain Kalimantan dan Sulawesi. Ia bahkan berangan-angan suatu saat produk ini bisa diekspor.

 Saksikan video pilihan berikut ini:

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya