Liputan6.com, Jayapura - Kelompok Panglima Operasi Kodap III Hendrik Wanmang yang bergerilya di sekitar Tembagapura, Kabupaten Mimika menyatakan bertanggung jawab atas kejadian penembakan yang merenggut nyawa Brigadir Firman, anggota Brimob Polda Papua Den B Timika.
Hendrik mengaku aksi tersebut merupakan bentuk dari perang terbuka yang dilakukan oleh kelompok Tentara Pembebasan Nasional/Organisasi Papua Merdeka (TPN/OPM) kepada aparat keamanan Indonesia.
"Kami sudah nyatakan perang dan menuntut kedaulatan Papua merdeka," kata Hendrik yang dihubungi melalui telepon selularnya, Rabu (15/11/2017).
Advertisement
Baca Juga
Kelompok OPM Kodap III Mimika juga telah menetapkan daerah perang terbuka, mulai dari Utikini, Kali Kabur, hingga sepanjang jalan areal PT Freeport Indonesia, mulai dari Gresberg hingga Portsite.
Hal ini karena OPM Tembagapura tak pernah melakukan perang terbuka di tengah masyarakat Papua yang tinggal di kampung-kampung. Jika ajakan perang terbuka ini tak dilakukan oleh aparat keamanan Indonesia, maka OPM di Tembagapura akan tetap menghancurkan Freeport.
"Pihak TNI/Polri telah melindungi Freeport. Silahkan saja. Freeport telah melakukan penipuan di atas tanah ini. Kita akan lihat, siapa korban selanjutnya. Anda atau saya? Korban berikutnya, apakah orang yang berkorban untuk kebenaran atau atas penipuan diatas tanah ini?" tegas Hendrik yang pernah menempuh sekolah di salah satu SMA di Jayapura.
Dia meminta Pemerintah Indonesia, Amerika Serikat, Belanda, dan PBB bertanggung jawab atas kesalahan di atas tanah Papua dan harus mengembalikan kedaulatan Papua seperti tahun 1961.
"Kami mengajak perang terbuka, hingga akar masalah Freeport dimusnahkan," kata dia.
Simak video pilihan berikut ini:
Aksi-Aksi Teror OPM
Kelompok OPM di Tembagapura, awalnya hanya dikuasai oleh Kodap III Mimika. Jumlahnya juga tak banyak, hanya sekitar 15-20 personel. Kodap III dipimpin oleh Sabinus Waker, setelah Pimpinan OPM tertinggi, Kelly Kwalik tewas ditembak aparat keamanan pada 2009.
Aksi teror dan penembakan di Tembagapura, areal PT Freeport Indonesia terjadi sejak 17 Agustus 2017 hingga 25 September 2017. Dugaan yang awalnya serangkaian penembakan dilakukan oleh kelompok OPM Kodam III Mimika, tetapi belakangan ada kabar bergabungnya Kodap VIII dari Kabupaten Intan Jaya dan Kodap IX dari Kabupaten Intan Jaya.
Pastor John Jonga yang melakukan komunikasi dengan Hendrik Wanmang mengaku kelompok OPM di Banti dan Utikini berjumlah sekitar 150 orang.
"Keinginan OPM ini hanya merdeka," kata Pastor yang pernah mendapatkan penghargaan Yap Thiam Hien 2009.
Data dari kepolisian setempat, sederetan aksi yang dilakukan OPM Tembagapura mulai meningkat pada 21 Oktober 2017, tim Satgasus Polda Papua melakukan penyelidikan dan patrol di Bukit Sangker, Kampung Utikini, tiba-tiba anggota Brimob yang sedang patroli, mendapatkan serangan penembakan dan berakibat meninggalnya Briptu Berry Permana Putra.
Tak hanya sampai disitu, saat mengevakuasi jenazah anggota Brimob, Berry, kelompok OPM ini kembali menembaki anggota Brimob lain sehingga mengakibatkan empat orang Brimob mengalami luka tembak.
Pada 24 Oktober 2017, OPM Tembagapura kembali berulah dan menembaki mobil ambulans Rumah Sakit Tembagapura yang berisi Serena Kobogau, seorang ibu yang butuh perawatan lanjutan setelah melahirkan. Serena mengalami luka tembak pada bagian pahanya.
Aksi kelompok ini juga diduga melakukan pemerkosaan, merampok barang masyarakat, menjarah dan membakar kios masyarakat. Aksi kelompok OPM semakin meluas dan menutup akses Kampung Banti dan Kimbeli. Kapolda Papua, Irjen Boy Rafli Amar menyebutkan, saat ini ada sekitar 1.300 warga yang tertahan di Kampung Utikini, Banti dan Kimbeli.
Dengan rincian 300-an masyarakat pendatang dari suku Toraja, Bugis, Jawa, Timor dan Buton. Sementara terdapat 1000-an warga asli Papua dan saat ini terisolir, serta kekurangan bahan makanan.
Advertisement