Liputan6.com, Banjarnegara - Siapa tak mengenal Dataran Tinggi Dieng (Dieng) di Banjarnegara, kaldera raksasa purba di ketinggian di atas 2.000 meter? Salah satu permukiman tertinggi di dunia. Iklimnya yang mirip dengan negara empat musim membuat Dieng selalu menjadi destinasi wisata yang diminati.
Kaldera raksasa itu menyimpan rahasia ribuan tahun. Cantik tetapi mematikan. Musababnya, di Gunung Api Dieng terdapat belasan kawah dan rekahan magma aktif.
Di satu sisi, kawah-kawah itu bisa menjadi daya tarik wisata, seperti Kawah Sikidang. Di sisi lain, kawah dan rekahan magma itu menyimpan bahaya laten berupa gas beracun yang dapat meruap sewaktu-waktu tanpa bisa diprediksi. Misalnya, Kawah Sinilia, Sikendang dan Kawah Timbang.
Advertisement
Baca Juga
Dalam sejarahnya, Kawah Sinila dan Timbang meninggalkan cerita horor saat ratusan jiwa warga meninggal dunia akibat menghirup gas beracun pada 1979.
Bahkan pada 2013 lalu, kawah ini erupsi dan kembali mengeluarkan gas beracun konsentrasi tinggi. Untung, warga sudah diungsikan ke lokasi aman hingga kawah berangsur normal.
Dalam kondisi normal, Kawah Sinila, Timbang, atau Sikendang di waktu-waktu tertentu gas beracunnya tak segera menguap, sehingga berbahaya bagi manusia. Penduduk setempat baru berani mendekati kawah-kawah ini pada siang hari, saat matahari sudah menguapkan embun dan sisa gas beracun.
Masyarakat Dieng akrab dengan kawah-kawah ini. Mereka bahkan bertani di jarak yang mestinya steril, menerobos radius 500 meter jarak aman dari kawah beracun. Apa boleh buat, semakin dekat dengan kawah, tanah di sekitarnya memang lebih subur.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Radius Bahaya Kawah Beracun Kerap Diterobos
Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Banjarnegara, Arif Rachman, menuturkan, pihaknya kerepotan untuk menghentikan aktivitas warga di kawasan terlarang. Sebab, banyak petani Dieng yang menggarap tanah di sekitar kawah beracun.
"Kita sudah memasang papan peringatan sebenarnya. Tapi kalau itu kan bukan untuk tujuan wisata ya. Banyak warga yang menerobos, bertani di situ," ucapnya.
Tak hanya kawah beracun, sejumlah kawah lain di Dieng juga rawan erupsi. Contohnya, Kawah Sibanteng dan Kawah Sileri.
Khusus Kawah Sileri, statusnya baru diturunkan menjadi normal kurang dari sebulan lalu, setelah dua bulan lebih berstatus waspada (level 2). Dalam sejarahnya, erupsi kawah ini juga pernah mengubur satu desa, dengan ratusan korban.
Layaknya masyarakat yang hidup di daerah rawan bencana, warga Dieng pun memiliki kearifan lokal yang terbentuk ratusan tahun berdasar pengalaman hidup berdampingan dengan kawah mematikan. Namun lantaran alpa atau tak terprediksi, jatuhlah korban nyawa.
Tak tinggal diam dengan kondisi ini, BPBD Banjarnegara getol memasang rambu peringatan bencana dan petunjuk evakuasi di sejumlah titik rawan Kabupaten Banjarnegara.
Kali ini, sebanyak 474 rambu bantuan dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dipasang di 38 desa yang memiliki kerawanan bencana tanah longsor, serta kawah beracun di wilayah gunung api Dieng.
Koordinator Tim Reaksi Cepat (TRC) BPBD Banjarnegara Andri Sulistyo mengatakan, pemasangan rambu-rambu ini melibatkan unsur Desa Tangguh Bencana (Destana), warga serta organisasi masyarakat setempat.
Sementara, di titik rawan gunung api, pihaknya melibatkan petugas Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana (PVMBG). "Desa rawan longsor dan gas beracun jadi prioritas pemasangan rambu. Kami juga libatkan masyarakat dalam pemasangan ini," kata Andri, melalui aplikasi pesan, Jumat, 17 November 2017.
Â
Advertisement
Jalur Evakuasi
Andri menerangkan, pemasangan rambu telah dimulai sejak Selasa, 14 November 2017 lalu hingga 10 hari ke depan. Lokasi pemasangan kebanyakan di pinggir jalan desa, jalan kabupaten, hingga jalan provinsi yang strategis dilihat warga.
Rambu yang dipasang memiliki pesan berbeda, mulai informasi jalur evakuasi, kawasan Pengurangan Risiko Bencana (PRB), tempat kumpul, titik pengungsian hingga info daerah rawan longsor dan lainnya. Pemasangan rambu ini adalah bagian dari upaya mengurangi risiko bencana, baik oleh tanah longsor, gas beracun, hingga erupsi kawah aktif.
Pemasangan rambu-rambu ini merupakan bentuk sosialisasi kepada masyarakat perihal titik rawan bencana di lingkungan mereka. Pelibatan masyarakat dalam kegiatan ini sekaligus ajang edukasi terhadap mereka mengenai pemahaman kebencanaan.
"Masyarakat yang tinggal di daerah rawan bisa lebih waspada dan bisa mengantisipasi kemungkinan terburuk di wilayah mereka," dia menjelaskan.
Andri berharap, jika ada tanda bahaya, masyarakat setempat atau mereka yang tengah berada di kawasan bencana bisa menyelamatkan diri dengan panduan jalur-jalur evakuasi. Melalui petunjuk jalur evakuasi atau titik kumpul, mereka akan tahu arah sehingga terhindar dari bencana.