Liputan6.com, Semarang Jika ke Semarang, mampirlah di air terjun Curug Lawe, lereng gunung Ungaran. Tak hanya keindahan alam berupa air terjun unik, banyak hal akan didapatkan di tempat ini. Terutama jika dikunjungi pagi hari.
Aviola Putri dan Ika Permana mencoba menghabiskan waktu menuju air terjun ini. Diawali dengan melewati hutan komplet dengan semak belukar, pohon rimbun, dan jalan bebatuan. Jalan yang dilalui juga seru, naik turun tapi adem.
"Nanti kita akan melewati jalan setapak menurun yang hanya cukup dilalui satu orang secara bergantian. Jadi harus fokus. Kita bisa lihat jurang di kanan kiri," kata Aviola.
Advertisement
Setelah jalan setapak terlewati, tiba-tiba akan ketemu sebuah jalan yang dilapisi dengan kayu. Ini menunjukkan jika jalan ini sudah tersentuh pengelolaan. Meski kelihatan licin, jalan ini aman dilalui menuju air terjun.
Baca Juga
"Di sepanjang jalan itu, foto-foto dong. Instagramable banget deh," kata Aviola.
Semakin mendekati air terjun, ternyata hutan semakin rimbun. Nah, saat itu siapa pun yang beruntung bisa menemui binatang-binatang liar yang langka. Seperti lutung (Trachypithecus auratus), yaitu sebangsa monyet berbadan langsing dan berekor panjang.
Lutung memiliki bulu yang berbeda-beda. Hitam, kelabu hingga kekuningan seperti emas. Jika dibandingkan dengan kakinya, tangan lutung terbilang pendek, dengan telapak yang tidak berbulu. Ukuran lutung berkisar antara 40-80 cm, dengan berat 5-15 kg. Lutung jantan berbadan lebih besar dibanding lutung betina."Berangkat makin pagi makin terbuka peluang ketemu lutung, karena lutung termasuk hewan siang dan sangat aktif pada pagi hari," kata Ika Pratama.
Jika jalur berkayu sudah terlewati, suasana mendadak hening. Keheningan itu pelan-pelan akan dipecahkan suara gemuruh yang makin lama makin keras. Pertanda air terjun Curug Lawe sudah sangat dekat.
"Penyuka jembatan kayak Vio akan dimanjakan jika ingin berfoto. Tapi jika tak terlatih, akan kecapaian karena jalan kaki sekitar 40 menit," kata Ika.
Keunikan curug Lawe adalah bentuknya yang berupa cekungan dan di tengahnya terdapat air terjun yang mengalir deras.
Â
Air Terjun Anti-Perang
Air terjun di mana pun, memiliki kisah yang berkaitan dengan sikap menghindari perang. Merujuk pada kisah Baladewa, raja Mandura dalam pewayangan, ia dipaksa bertapa di Grojogan Sewu (Air Terjun Seribu) untuk menghindari terlibat dalam perang Bharatayuda.
Baladewa adalah kakak kandung dari Prabu Krisna yang dicitrakan sebagai raja bijaksana penasehat perang Pandawa. Ia sangat sakti dan menjadi penasihat kaum Kurawa. Jika Baladewa terlibat dalam peperangan, maka dipastikan Pandawa akan kalah.
Krisna yang dikenal bijak kemudian menggelar siasat tipu muslihat. Baladewa ditipu dan diminta bertapa di Grojogan Sewu, sebuah air terjun yang berdekatan dengan padang Kurusetra yang menjadi arena pertempuran. Namun, gemuruh suara air terjun, ternyata mampu menenggelamkan hiruk-pikuk suara perang.Ketika tahu ia dibohongi adiknya, Baladewa sudah mampu mengendalikan emosinya karena bertapa. Ia tidak marah dan terbangun serta menyelesaikan tapanya ketika perang sudah berakhir dengan kemenangan Pandawa.
Itulah sebabnya air terjun sering dianggap cocok dikunjungi bagi manusia yang antiperang. Meski dalam cerita wayang itu menjadi tak jelas, benarkah Krisna bijaksana dengan menipu kakaknya? Yang jelas keberserahan Baladewa dalam bertapa sudah mampu meredam emosinya.
Karakter Baladewa yang pemarah menjadi lumer setelah bertapa di air terjun. Ingin dunia damai? Ajak warga daerah konflik untuk berlibur di air terjun.
Advertisement