Kelenteng Gondomanan Yogyakarta, dari Tanah Raja hingga Gerilya

Kelenteng Gondomanan mengalami dinamika sepanjang perkembangannya, dari ramai, sepi, sampai kembali dipadati.

oleh Switzy Sabandar diperbarui 15 Feb 2018, 17:01 WIB
Diterbitkan 15 Feb 2018, 17:01 WIB
Kelenteng Gondomanan
Kelenteng Gondomanan pusat peribadatan Tridharma di Yogyakarta

Liputan6.com, Yogyakarta - Kelenteng Gondomanan yang bernama Fuk Ling Miau merupakan salah satu dari dua kelenteng legendaris di Yogyakarta. Meskipun didirikan setelah Kelenteng Poncowinatan, tempat ibadah ini menyimpan cerita masa lalu yang dinamis.

Tanah kelenteng yang dibangun pada 1900 ini merupakan pemberian Sultan HB VII di tahun 1854. Keraton Yogyakarta menghibahkan tanahnya untuk tempat beribadah masyarakat Tionghoa kala itu.

Tanah yang diberikan tidak seluas Kelenteng Gondomanan saat ini, yakni 1.150 meter persegi. Hanya separuhnya dan memang waktu itu diperuntukkan bagi pembangunan rumah ibadah.

Kelenteng Gondomanan dibangun untuk memfasilitasi masyarakat Tionghoa yang berada di Kampung Ketandan. Sebab, lokasi Kelenteng Poncowinatan lebih jauh dari Ketandan, yakni sekitar dua kilometer, sedangkan Gondomanan tidak lebih dari satu kilometer.

Sempat terbersit untuk membangun kelenteng di Ketandan. Namun, lokasi itu sudah padat penduduk, sehingga tidak mungkin dibangun kelenteng baru.

 

Dinamika Saat Orde Baru

Kelenteng Gondomanan
Kelenteng Gondomanan pusat peribadatan Tridharma di Yogyakarta

Semula, Kelenteng Gondomanan bernama Hok Tik Bio atau tempat ibadah untuk Hok Ting Cing Sin alias Dewa Bumi. Dewa ini merupakan tuan rumah kelenteng ini.

Pada era pemerintahan Orde Baru, Buddha dimasukkan ke kelenteng ini. Alasannya, negara saat itu tidak mengakui agama Konghucu. Dimasukkannya unsur Buddha juga membuat kelenteng ini tidak ditutup oleh penguasa.

Namanya pun berubah menjadi Vihara Buddha Prabha atau Fuk Ling Miau. Kaum Konghucu pun beribadah secara sembunyi-sembunyi. Untuk menyembah dewa mereka seolah-olah seperti sedang bergerilya.

Setelah rezim Orde Baru berakhir, umat Konghucu bisa beribadah kembali. Terlebih, Imlek dan Cap Go Meh bisa dirayakan lagi.

Kelenteng Gondomanan mulai dipadati umat yang beribadah. Tidak hanya itu, kelenteng ini juga menjadi salah satu pusat peribadatan umat Tridharma, yakni Buddha, Konghucu, dan Tao di Yogyakarta.

 

Membersihkan Patung Setahun Sekali

Kelenteng Gondomanan
Kelenteng Gondomanan pusat peribadatan Tridharma di Yogyakarta

Layaknya umat Konghucu di daerah lain, umat Kelenteng Gondomanan juga membersihkan tempat ibadah dan patung-patung di altar seminggu sebelum Imlek. Setidaknya ada 15 patung di altar yang dicuci dan dilaporkan, antara lain, Dewa Bumi, Dewa Obat, Dewa Nabi Konghucu, Dewa Surya, dan Dewa Kwan Kong.

"Untuk jamas atau cuci patung-patung dilakukan setahun sekali menjelang Imlek," ujar Anglingwijaya, Ketua Kelenteng Gondomanan, pekan lalu.

Pada malam hari sebelumnya, umat Konghucu bersembahyang di Kelenteng Gondomanan bertepatan dengan keyakinan mereka dewa-dewa sudah naik ke surga.

Patung dan kelenteng yang sudah bersih siap digunakan untuk menyambut kedatangan para dewa kembali ke bumi. Turunnya para dewa disambut dengan sembarang pada 19 Februari mendatang.

"Bagi umat patung dan kelenteng dibersihkan supaya diberkati sehat, rezeki, dan keselamatan," ucap Anglingwijaya.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya