Liputan6.com, Lampung - Pulau Pasaran, Lampung, awalnya hanya seluas dua sampai tiga hektare dan dipenuhi pohon kelapa di era 1960-an. Penduduknya pun hanya beberapa keluarga yang umumnya bekerja sebagai nelayan dan pembuat ikan asin.
Hasil usaha sederhana itu kemudian dijual ke warga di luar pulau tersebut. Belakangan, usaha tersebut semakin menjanjikan. Kebutuhan lahan pun bertambah karena jumlah penduduk dan perajin ikan asin di Pulau Pasaran semakin banyak.
Dilansir Antara, Pulau kecil itu kini menjadi sesak dengan rumah-rumah perajin. Areal pantainya dipenuhi kapal-kapal nelayan dan bagan penangkap ikan. Area laut di sekitar Pulau Pasaran juga dijejali usaha budidaya kerang dan ikan laut bernilai tinggi.
Advertisement
Karena itu, pulau direklamasi. Warga berinisiatif menambah luas pulau dengan menggunakan terumbu karang. Namun, hal itu kemudian dilarang keras, sehingga warga tak ada lagi yang menguruk pantai dengan maksud mendapatkan lahan permukiman dan tempat usaha.
Kini, luas Pulau Pasaran sudah mencapai sekitar 12 ha dan menjadi salah satu daerah terpadat di Kota Bandar Lampung. Aktivitas penduduk Pulau Pasaran setiap harinya selalu berkaitan dengan produksi ikan asin. Jika berhenti berproduksi, mereka bekerja serabutan, seperti buruh dan awak angkutan umum.
Baca Juga
Dalam sehari, para pengrajin mampu memproduksi ikan teri asin berkisar 20-30 ton yang umumnya dipasarkan ke Jabotabek, Bandung, dan daerah lainnya di Sumatera, seperti Medan, Sumut. Jika produksi anjlok, Pulau Pasaran hanya mampu menghasilkan sekitar satu-dua ton ikan teri dalam sehari.
Ikan teri tetap menjadi primadona bagi nelayan dan pengrajin karena harganya relatif cukup mahal sehingga penduduk Pulau Pasaran makin serius menggeluti usaha produksi ikan asin tersebut, sedang yang lainnya umumnya memasok memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Selain memenuhi kebutuhan pasar lokal, ternyata ikan teri Pulau Pasaran juga memasuki pasar ekspor. Hanya beberapa perajin yang menggeluti produksi ikan teri untuk tujuan ekspor.
Salah satu perajin usaha ikan teri, Thabrizi, menyebutkan dirinya menggeluti usaha pembuatan ikan teri asin dengan tujuan ekspor, meski juga memproduksinya untuk kebutuhan pasar lokal di berbagai daerah di Jawa dan Sumatera.
"Ikan teri untuk tujuan ekspor, saya kirimkan ke Cilegon karena agennya di sana. Kami tak mengekspor langsung, namun melalui pihak lain yang membeli ikan kami, selanjutnya dikirim ke pasar ekspor," katanya.
Perajin yang sudah lama menggeluti usaha pembuatan ikan asin itu kemudian menceritakan tentang perbedaan cara memproduksi ikan teri asin untuk tujuan ekspor dengan pangsa pasar lokal.
Ikan tujuan ekspor harus diolah lebih cermat dengan kadar garam yang sedikit, karena pasar luar negeri tidak menyukai ikan yang asin. Untuk ikan tujuan pasar lokal, digunakan garam dalam cukup banyak agar tak membusuk karena pengeringannya tidak terlalu lama.
"Garamnya sedikit, bahkan tanpa terasa ada rasa asin di ikannya. Ikan juga dijemur lebih lama supaya kering, dan warnanya lebih tua daripada ikan teri lokal yang umumnya berwarna agak putih," katanya.
Ikan teri segar yang umumnya ditangkap nelayan payang (jaring) direbus menggunakan air yang diambil dari sumur di Pulau Pasaran, yang dicampur dengan garam. Perbandingan penggunanaan garam adalah satu kilogram untuk tiga kilogram ikan, tapi ada juga yang menggunakan satu kilogram garam untuk dua kilogram ikan.
Karena ikan teri ekspor berkadar garam kecil, masa penjemurannya butuh waktu lebih lama. Dengan kondisi matahari terik, ikan teri lokal dijemur pukul 08.00 WIB dan sudah bisa dikemas pukul 12.00 WIB, untuk selanjutnya dikirimkan ke pembeli di Sumatera dan Jawa.
Sedang ikan tujuan ekspor, ikan dijemur pagi, sekitar pukul 16.00 WIB baru bisa dikemas, dan selanjutnya dikirim ke perusahaan ekspor.
Â
Â
Tanpa Pengawet
Para perajin ikan teri asin, baik tujuan pasar dalam negeri maupun ekspor, menyebutkan mereka tak menggunakan bahan pengawet, seperti formalin, dalam produksi ikan teri di Pulau Pasaran. Ikan teri segar hanya direbus dengan garam sebagai tambahannya, kemudian dikeringkan di terik matahari, dan selanjutnya dikirimkan kepada pembeli.
Pengalaman pahit sekitar 12 tahun lalu menjadi pembelajaran ketika produk ikan teri mereka ditolak di mana-mana, sehubungan ada temuan sampel penggunaan pengawet. Kejadian itu menjadi pembelajaran bagi para pengrajin sehingga menjauhi penggunaan bahan pengawet dalam proses produksi ikan teri asin mereka.
Kini, ikan teri asin Pulau Pasaran saat dikonsumsi umumnya berasa gurih, dan renyah atau tidak alot. Namun, jika ikan teri asin dikonsumsi terasa alot apakah disebabkan penggunaan pengawet?
Sebenarnya itu karena faktor pengolahan pascaproduksi, atau proses produksi seperti ikan dijemur terlalu kering dan kadar garamnya tidak pas, juga mempengaruhi kerenyahan ikan tersebut.
Usaha pembuatan ikan asin tetap menjadi primadona di Pulau Pasaran, karena harga komoditas laut tersebut cukup tinggi. Dalam kondisi produksi banyak, harga teri nasi tujuan ekspor mencapai Rp 120 ribu/kg, sedang teri nasi untuk pasar lokal mencapai Rp 90.000- Rp 100.000/kg.
Harga teri jenis lainnya, seperti teri buntio mencapai Rp 70.000/kg, dan teri jengki Rp 55.000/kg. Selain teri asin, juga diproduksi ikan asin yang harganya berkisar Rp 15.000- Rp 20.000/kg. Harga teri akan naik jika produksi sedikit dan sebaliknya.
"Hukum pasar yang menentukan soal harga ikan," kata Yadi, perajin ikan asin setempat.
Meski harga produk tetap tinggi dan permintaan atas ikan asin juga selalu ada, keberadaan usaha pembuatan ikan teri asin di Pulau Pasaran semakin terancam. Mereka mengingatkan bahwa produksi ikan teri asin tergantung pada pasokan bahan bakunya, yakni ikan teri segar yang ditangkap nelayan payang dan nelayan bagan di perairan Teluk Lampung, mulai dari kawasan Ketapang hingga Legundi dan perairan Gunung Anak Krakatau.
Para perajin dan nelayan menyebutkan pemerintah pusat dan daerah sebenarnya telah memberikan banyak dukungan kepada mereka agar Pulau Pasaran bisa tetap bertahan sebagai sentra penghasil ikan asin. Namun, pemerintah perlu lebih optimal berupaya mengurangi pencemaran laut dan penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan, seperti penggunaan cantrang.
Dukungan lain yang dibutuhkan kemudahan mendapatkan kredit usaha rakyat (KUR) dari perbankan, untuk mengembangkan usaha mereka. Salah satu perajin, Sarnoto, menyebutkan ia telah menggunakan dana KUR untuk pengembangan usahanya, meski harus menggunakan agunan.
Ia menyebutkan dana KUR sangat menolong para perajin dalam mengembangkan usaha pembuatan ikan asin, karena butuh modal yang cukup besar untuk bisa bertahan menekuni pembuatan ikan asin. Dalam sehari dibutuhkan biaya berkisar Rp 10 juta - Rp 20 juta per kapal untuk sekali melaut, yakni untuk biaya bahan bakar, gaji awak kapal, dan biaya membeli ikan segar.
Dukungan lainnya yang dibutuhkan adalah pembelajaran diversifikasi pengolahan makanan dengan bahan baku ikan teri, serta cara memasarkannya ke pasar lebih luas menggunakan jaringan daring agar nilai tinggi ikan asin juga dinikmati para nelayan dan perajin.
Dengan demikian, perajin ikan teri asin bisa menjadi ekspoter langsung, dan bukan sebatas "penonton" yang melihat produk mereka dikirim ke pasar luar negeri oleh perusahaan lain.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Advertisement