Jejak Freemasonry, Perkumpulan Rahasia Dunia di Salatiga

Di beberapa bagian tubuh kereta peninggalan kolonial Belanda, banyak terpampang simbol-simbol. Salah satunya adalah lambang organisasi rahasia Freemasonry.

diperbarui 23 Jul 2018, 03:03 WIB
Diterbitkan 23 Jul 2018, 03:03 WIB
Freemasonry di Salatiga
Warin Darsono (30), juru rawat menunjukkan lambang Freemasonry pada kereta jenazah peninggalan era kolonialisme Belanda. (Tunggul Kumoro/JawaPos.com)

Salatiga - Jejak Freemasonry, salah satu perkumpulan rahasia dunia, ternyata ada di Salatiga. Salatiga merupakan sebuah kota di Jawa Tengah yang terbentuk pada masa Pemerintah Kolonial Hindia Belanda di Indonesia. Terkenal sebagai tempat permukiman bangsa kulit putih karena letaknya berdekatan dengan kawasan perkebunan lokasi mereka bekerja. Hingga Indonesia merdeka, Salatiga masih menyimpan setumpuk peninggalan era kolonial.

Bergeser sedikit dari pusat keramaian penduduk, atau tepatnya di Kantor Kelurahan Kutowinangun Lor, Jalan Dr Muwardi, Tingkir, setiap dua minggu sekali atau pada akhir pekan, dapat ditemui salah satu jejak "kompeni" di Salatiga. Yakni, tiga kereta jenazah buatan tahun kisaran 1800-an hingga awal 1900-an.

Ketiga kereta bergaya arsitektur campuran ini, sekarang telah menjadi aset kebudayaan setempat.

"Tahun 2015 didaftarkan ke BPCB (Balai Pelestarian Cagar Budaya) di Klaten. Sebenarnya pemerintah itu malah tidak tahu ada barang ini, kemudian saya ajak untuk nguri-nguri," ucap Warin Darsono (30), juru rawat, saat dijumpai di halaman Kantor Kelurahan Kutowinangun Lor, Sabtu, 21 Juli 2018, dikutip JawaPos.com.

Ia menjelaskan, keberadaan ketiga kereta tersebut awalnya terdeteksi olehnya saat ia masih kecil, sekitar 20 tahun silam. Namun diakuinya, publik belum banyak tahu akan wujud peninggalan Belanda itu. "Dulu dengar kereta, ngiranya gerbong. Pertama kali ketemu di garasi tua depan kelurahan ini," katanya.

Pasalnya, menurut pengakuan Warin dan beberapa warga sekitar, Kantor Kelurahan Kutowinangun Lor dulunya adalah kawasan pemakaman. Garasi tadi, ternyata juga sudah dibangun sejak lama sebagai kandang bagi ketiga kereta jenazah tersebut.

Namun, menurut Warin, ada hal yang kerap mengundang banyak tanya bagi mereka yang menyaksikan kereta ini. Di beberapa bagian tubuh kereta, banyak terpampang simbol-simbol. Salah satunya adalah lambang organisasi rahasia Freemasonry.

Lambang itu terdapat pada salah satu kereta yang didominasi material kaca pada badan utamanya. Bukan terukir dari besi seperti simbol-simbol lain, melainkan dengan cat putih. Bergambar segitiga, lengkap beserta mata satunya.

Simbol ini populer dengan nama mata ilahi yang pertama kali dipakai sebagai bagian dari ikonografi Freemasonry pada tahun 1797. "Memang, karena ini adalah kepunyaan Pemerintah Kolonial Belanda, miliknya Pejabat VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie atau Perusahaan Hindia Timur Belanda), karena kan Freemasonry itu isinya petinggi, orang-orang pintar," imbuhnya.

Baca berita menarik dari JawaPos.com lain di sini.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

Kereta Pengangkut Tokoh-Tokoh Freemasonry?

Freemasonry di Salatiga
Tiga kereta jenazah peninggalan era kolonialisme Belanda dipamerkan setiap dua minggu di halaman Kantor Kelurahan Kutowinangun Lor, Tingkir, Salatiga. (Tunggul Kumoro/JawaPos.com)

Akan tetapi, Warin tak menyebut siapa sosok asli pemilik kereta ini. Yang jelas, ketiganya pernah digunakan untuk mengangkut jenazah orang-orang penting. Salah satunya adalah peletak batu pertama Gereja Indische Kerk di Jalan Jenderal Sudirman.

"Namanya tidak begitu terkenal, tapi cukup berpengaruh di Salatiga. Dia petinggi militer juga pendeta. Kebetulan buyut teman saya di Belanda," terangnya.

Warin mengatakan pula, kelompok Freemasonry dengan keanggotaan tertutup dan berisikan orang-orang dari kalangan intelektual itu pernah menapakkan kakinya di Kota Salatiga. Hal itu tak terlepas dari status kota-kota di Jawa Tengah saat era penjajahan silam.

Salatiga yang dijadikan pusat perkebunan semasa era kolonialisme Belanda, lanjut Warin, membuat kota berisikan empat kecamatan itu tak luput jadi kesayangan bangsa kulit putih.

"Salatiga dan Magelang itu dulunya juga kota garnisun, Semarang dan Tegal itu pusat pertahanan angkatan laut. Kota-kota yang mempunyai organisasi masonic pada saat era penjajahan pasti dianggap penting," tuturnya.

Bukan asal bunyi, Warin mengaku mendapat semua informasi itu lantaran dirinya memang hobi mengulas akan sejarah. Seperti bagaimana getolnya ia menggali masa lalu ketiga kereta jenazah tadi melalui salinan manuskrip yang diperolehnya dari beberapa koneksinya asal Universitas Leiden dan Museum Bronbeek di Negeri Kincir Angin sana.

"Dokumen di sana malah jauh lebih lengkap. Ada data mengenai kapan kereta ini dibuat, perusahaannya, siapa saja yang pernah pakai dan diangkut. Bahkan tarif sewanya juga ada," katanya.

Mengenai keberadaan anggota Freemasonry di kotanya, ia memastikan kemungkinan besar sudah tidak ada. Lantaran, sebelum dilarang pendiriannya oleh Presiden Sukarno tahun 1962 lalu. Hanya orang-orang asing saja yang sempat menjadi bagian dari organisasi penuh misteri tersebut.

"Saking tertutupnya, orang awam hanya bisa mengetahui keanggotaan Freemasonry kalau anggota tersebut sudah meninggal saja. Yakni bisa dilihat pada nisan, ada simbol organisasinya yang juga saya temui di beberapa makam di Salatiga. Salah satunya pemakaman China, Ngebong," tandasnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya