Jerat Asmodeus pada Guru Ngaji Cabul di Aceh

Berprofesi sebagai guru mengaji tak lantas membuat seseorang terlepas dari jerat rayu Asmodeus, sang penguasa birahi.

oleh Rino Abonita diperbarui 12 Nov 2018, 18:00 WIB
Diterbitkan 12 Nov 2018, 18:00 WIB
Pencabulan
Ilustrasi Pencabulan

Liputan6.com, Aceh - Berprofesi sebagai guru mengaji tak lantas membuat seseorang terlepas dari bisikan Asmodeus, sang penguasa birahi dalam mitologi Yunani. Yang menyandang sebutan ustaz atau tengku (bahasa Aceh) bisa saja berbuat amoral, seperti mencabuli hingga merudapaksa.

Lebih miris, yang menjadi korban rata-rata adalah sang murid, walau terkadang, pelaku bisa menyasar siapa saja sebagai korbannya, yang kebanyakan adalah anak-anak di bawah umur.

Bahkan julukan Serambi Mekkah juga tak membuat Provinsi Aceh bebas dari sosok-sosok monster cabul dan pemerkosa bertopeng ustaz seperti itu. Berdasarkan penelusuran yang dilakukan Liputan6.com, sejak Februari hingga November 2018 tercatat, setidaknya, ada lima kasus kejahatan seksual terhadap anak yang dilakukan oleh seorang guru mengaji dengan jumlah keseluruhan korban mencapai 38 orang anak.

Februari lalu, seorang guru mengaji, berinisial MA (40), warga Desa Lamkuta, Kecamatan Blangpidie, Kabupaten Aceh Barat Daya, Aceh, menyodomi 16 orang muridnya. Aksi tersebut dilakukan di kebun dekat rumahnya.

Selanjutnya, Maret lalu, Kepolisian Resor Aceh Barat mengamankan seorang guru RF (28), karena berbuat cabul terhadap dua orang muridnya. Pelaku beraksi dengan modus mengobati muridnya agar bersemangat saat belajar mengaji. Aksi itu dilakukan di rumah si tengku.

Lain lagi yang terjadi pada Juli. Seorang kakek cabul berinisial SR (59), guru mengaji dan imam masjid di Kabupaten Nagan Raya ditangkap karena mencabuli enam orang muridnya. Warga  Kubang Gajah, Kecamatan Kuala Pesisir ini melancarkan aksi bejatnya di tempat pengajian yang berada di dalam area masjid setempat.

Sementara itu, terjadi pada Oktober, seorang guru mengaji di Desa Pantan Musara, Kecamatan Pegasing, Kabupaten Aceh Tengah, berinisial TAM (41), mencabuli 12 orang muridnya. TAM menikmati aksinya dalam situasi dimana ia sedang mengajar murid-muridnya tersebut.

Sementara di bulan ini, oknum guru mengaji di Kecamatan Lhoksukon, Aceh Utara berinisial MN (41) mencabuli dua orang muridnya. Dia mencabuli kakak beradik itu di dapur dan kamar mandi rumahnya.

Semua guru mengaji pelaku pencabulan dan sodomi itu dikenakan sanksi hukuman berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

 

Tengku Juga Manusia

Ilustrasi Pencabulan
Ilustrasi Pencabulan (Liputan6.com/Johan Fatzry)

Kejadian berulang seorang guru mengaji tega mencabuli hingga merudapaksa muridnya tentu memantik amarah serta tanda tanya besar. Kenapa seseorang yang pekerjaannya membawa embel-embel agama malah melakukan perbuatan yang sangat bertolak belakang dengan agama?

Menurut Psikolog, Diah Pratiwi, fenomena guru mengaji atau di Aceh, lazim disebut tengku, yang mencabuli hingga merudapaksa muridnya sendiri, karena hasrat biologis seseorang tidak pernah memandang status yang melekat padanya.

"Seksual itu insting. Jadi hampir tidak ada hubungan seseorang itu berpendidikan, alim, atau dia seorang tengku. Semua orang punya insting seksual. Dia bebas berkecamuk di dalam kepala kita dengan fantasi kita masing-masing, terserah mau alim atau tidak," jelas Diah, kepada Liputan6.com, Senin (12/11/2018).

Pendapat Diah sepandangan dengan Sekretaris Jenderal Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA), Tgk. Tu Bulqaini. Menurutnya, jika Nabi Adam saja, yang seorang manusia unggul bisa terjerembab oleh hawa nafsu, maka akan lebih kentara lagi pada manusia biasa.

"Itu masalah nafsu. Nabi Adam, yang lebih saja bisa dipengaruhi oleh iblis (hawa nafsu), apalagi kita. Dan ini tidak kaitan Serambi Mekah atau tidak," ujar Tu Bulqaini, Senin (12/11/2018).

Sementara itu, berdasarkan hasil temuan Diah, kebanyakan guru mengaji yang melakukan tindakan pencabulan hingga merudapaksa muridnya sendiri memiliki kelainan atau kecenderungan seksual yang menyimpang.

"Bisa jadi takut sama istrinya, adanya hubungan yang tidak sehat. Bisa jadi istri pelaku tidak dapat memenuhi fantasi-fantasi seksual suaminya. Mungkin terlalu sepele, tidak punya keinginan atau tidak bisa memenuhi khayalan-khayalan suaminya. Bisa jadi punya kecenderungan suka sama anak-anak, dan sebagainya," sebut Diah.

Para pelaku menjadikan murid mereka  sebagai objek pelampiasan karena anak-anak tidak punya kekuatan melawan dan cenderung manut sehingga mereka rentan menjadi target kejahatan seksual.

 

Borok Tersembunyi

Ilustrasi Pencabulan
Ilustrasi Pencabulan (Liputan6.com/Johan Fatzry)

Secara implisit, Diah hendak mengatakan, kasus amoral yang melibatkan seorang guru mengaji bak fenomena gunung es, jika tidak ingin dikatakan, tersembunyi sangat rapat, dibalik topeng dan embel-embel agama yang menempel pada pelaku.

Hal ini disebabkan, bagi hampir semua kalangan terutama yang beragama Islam, percaya kalau seorang guru mengaji terbentengi dari semua perbuatan amoral. Mencabuli atau merudapaksa dianggap tidak mungkin dilakukan oleh seseorang yang mengajari orang lain membaca Alquran.

"Beberapa orangtua yang menitipkan anaknya untuk belajar mengaji, biasanya percaya kepada si guru mengaji atau tengku," kata wanita yang pernah menjadi Ketua Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak  (P2TP2A) Aceh Barat.

 

Akar Masalah

pencabulan
Ilustrasi pencabulan.

Masih banyaknya kasus guru mengaji yang mencabuli atau merudapaksa muridnya, menurut Wakil Ketua Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh, Tgk. Faisal Ali, tidak terlepas dari lemahnya regulasi yang dapat mem-filterisasi tenaga pendidik kompeten dan memiliki kapasitas moral yang baik.

"Misalnya, saat kita lihat ada seseorang yang bersuara bagus ketika membaca Alquran, langsung kita jadikan guru mengaji anak. Padahal, kapasitasnya sebagai tenaga pendidik tidak ada," kata Faisal.

Menurutnya, memilih seorang tenaga pendidik, tidak boleh secara parsial atau hanya dilihat dari sisi kemampuan di bidang ilmu tertentu, namun, perlu juga dilihat sisi kapasitas moral yang bersangkutan.

Membuat rumusan-rumusan mengenai pentingnya memilih tenaga pendidik kompeten dan berkapasitas moral yang baik dinilai penting untuk meminimalisir kejadian guru mengaji mencabuli atau merudapaksa muridnya sendiri.

"Perlu ada rumusan-rumusan tingkat desa atau kampung tidak mesti harus pakai qanun (perda). Fasilitas yang ada di lembaga pendidikan, maupun pendidikan Alquran juga mesti di-support dan melibatkan semua pihak," cetusnya.

Pendapat ini didukung pula oleh Psikolog Diah Pratiwi. Menurutnya, seorang tenaga pendidik, dalam hal ini guru mengaji harus oleh pemerintah dari segi fasilitas dan hal pendukung lainnya.

"Umumnya guru mengaji rumahan cenderung mendapat upah yang tidak sesuai. Banyak yang mengajar anak-anak membaca Alquran ikhlas untuk beramal. Karena tidak mematok, para orangtua murid, juga memberi upah jerih sesuka hati," ungkapnya.

Selanjutnya, orangtua, terutama ibu, berperan penting dalam memberikan pendidikan kepada si anak agar terhindar dari predator anak. Misal, memberitahu kepada anak bagian mana saja yang boleh dan tidak boleh disentuh oleh orang lain.

"Ketika sudah mulai bermain di luar rumah, sudah bermain di play group, hal itu perlu dikatakan kepada anak. Sekalipun itu guru mengajinya, khususnya guru yang laki-laki. Jika ada yang menyentuh bagian-bagian sensitif dari dada sampai paha, harus disampaikan pada ibunya," imbau dia.

 

Simak juga video pilihan berikut ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya