7 Hutan Adat Baru di Banten Sampai Bali

Hutan Adat merupakan sejarah baru dalam pengelolaan hutan di Indonesia.

oleh Liputan6dotcom diperbarui 05 Mar 2019, 09:00 WIB
Diterbitkan 05 Mar 2019, 09:00 WIB
Hutan Adat Marena
Suasana kawasan Hutan Adat Marena, Kecamatan Kuwali, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. (Liputan6.com/Anri Syaiful)

Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menetapkan tujuh hutan adat baru di empat kabupaten dan satu kota. Penetapan itu diketok pada pelaksanaan acara Riungan Gede Kasepuhan Adat Banten Kidul (SABAKI) ke-11 di Kasepuhan Citorek, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten.

Sampai dengan Februari 2019, KLHK telah menetapkan tujuh hutan adat yaitu Hutan Adat Kasepuhan Cirompang dan Hutan Adat Kasepuhan Pasireurih di Kabupaten Lebak, Hutan Adat Mude Ayek Tebat Benawa di Kota Pagar Alam, Hutan Adat Temua dan Hutan Adat Rage di Kabupaten Bengkayang, Hutan Adat Tenganan Pegringsingan di Kabupaten Karangasem, Hutan Adat Rimbo Tolang dan Rimbo Ubau di Kabupaten Dharmasraya.

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya mengatakan sejak Indonesia merdeka, baru pada 2016 untuk pertama kalinya dilakukan penyerahan Hutan Adat kepada masyarakat yang telah mendiami daerahnya secara turun-temurun, khususnya pada Masyarakat Hukum Adat dengan semangat perlindungan dan penjagaan hutan di atas wilayah adat.

"Hutan Adat merupakan sejarah baru dalam pengelolaan hutan di Indonesia," kata Siti seperti dilansir Antara.

Penyerahan hutan adat telah dilakukan sejak 2016, 2017 dan 2018 di Istana Negara. Hutan Adat yang telah ditetapkan dan dicadangkan seluas keseluruhan lebih kurang 22.831 hektare (ha) yang terdiri dari penetapan atau pencantuman hutan adat (34 unit seluas keseluruhan lebih kurang 17.659 ha) dan Pencadangan Hutan Adat (1 unit) seluas lebih kurang 5.172 ha.

Hal ini disambut antusias oleh masyarakat Banten. Sebagaimana maklumat yang dihasilkan dari Riuangan 5 tahunan SABAKI ke-11 dengan tema Mendorong Pengakuan Wilayah Adat, yaitu mendorong Undang-Undang tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat, dan Perda Masyarakat Hukum Adat yang mengatur tentang Desa Adat.

Kami mendorong masyarakat adat yang berdaulat secara politik, mendiri secara ekonomi dan bermartabat dalam budaya , kata Ketua SABAKI Kanta.

Hutan adat bertujuan untuk perlindungan Masyarakat Hukum Adat dan kearifan lokal, sehingga Hutan Adat tidak menghilangkan fungsi sebelumnya seperti fungsi lindung ataupun konservasi. Selain itu, kekhususan adat adalah kebersamaan (komunal) oleh karena itu Hutan Adat juga tidak untuk diperjualbelikan dan dipindahtangankan.

Bupati Lebak Iti Octavia Jayabaya mengatakan Pemerintah Kabupatan Lebak sangat mendukung kegiatan SABAKI dan telah menyampaikan maklumat dalam hal pengakuan, perlindungan dan pemberdayaan masyarakat adat.

Iti mengatakan bahwa Pemerintah Lebak telah mengeluarkan Perda Nomor 8 tahun 2015 tentang Masyarakat Hukum Adat Lebak, yang telah mengurai 522 masyarakat adat yang ada di kabupaten tersebut.

Iti Octavia juga mengatakan bahwa selama ini masyarakat adat memperoleh kesulitan ketika mengolah lahan yang berbenturan dengan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) dan Perhutani. Dengan adanya pengakuan Hutan Adat, masyatakat dapat berusaha dengan tetap menjaga kearifan lokalnya.

"Kami berterima kasih kepada Ibu Menteri Siti Nurbaya dan jajaran KLHK yang telah mengeluarkan SK Hutan Adat," katanya.

Riungan Gede SABAKI ke-11 berlangsung selama 3 hari dari tanggal 1 sampai dengan 3 Maret 2019, yang dihadiri sekitar 750 komunitas adat yang tersebar di Kabupatan Bogor dan Sukabumi (Jawa Barat), Kabupatan Lebak dan Pandeglang (Banten).

Selain Siti hadir juga Menteri Komunikasi dan Informatika Rudi Antara, Wakil Gubernur Banten Andika Hazrumy, Wakil Bupati Lebak Ade Sumardi, tokoh masyarakat dan tokoh adat dari Kabupatan Bogor, Kabupaten Sukabumi, Kabupatan Pandeglang dan Kabupatan Lebak.

 

Simak juga video pilihan berikut ini:

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya