Mi Ongklok, Hangatnya Racikan Tiongkok di Sejuknya Pegunungan Dieng

Muhadi disebut sebagai salah satu pewaris racikan mi Tiongkok. Pelanggan mi ongkloknya tersebar hampir di seluruh daerah.

oleh Muhamad Ridlo diperbarui 17 Mar 2019, 09:00 WIB
Diterbitkan 17 Mar 2019, 09:00 WIB
Seporsi mi ongklok. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)
Seporsi mi ongklok. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Liputan6.com, Banjarnegara - Indonesia dikenal sebagai salah satu pengonsumsi mi instan terbesar di dunia. Barangkali, ini dipengaruhi oleh sejarah mi tradisional yang memang telah berkembang jauh hari, bahkan sebelum Indonesia merdeka.

Jauh hari sebelum mi instan populer, beragam olahan mi tradisional telah diciptakan. Masing-masing daerah memiliki kekhasan disesuaikan dengan selera masyarakat setempat.

Coba lihat saja deretan olahan mi tradisional di Jawa Tengah. Selain mi Jawa yang dianggap sebagai identitas, ada lagi mi ongklok, olahan mi tradisional yang barangkali tak terlampau populer di luar kawasan Dataran Tinggi Dieng, Wonosobo, Banjarnegara, dan sekitarnya.

Wonosobo dikenal sebagai daerah dataran tinggi nan sejuk. Tentu, masyarakatnya mendambakan makanan atau minuman yang mampu menghangatkan tubuh untuk mengusir dingin. Apalagi, pada malam hari.

Mi disesuaikan dengan lidah konsumennya. Masing-masing mi, memiliki kekhasan yang tak ditemui pada olahan mi dari daerah lainnya. Mi ongklok ini sedikit berbeda dengan olahan mi tradisional pada umumnya. Kuahnya lebih kental berbalut gula Jawa.

Tak hanya untuk warga Wonosobo, lidah masyarakat luar daerah pun kerap mencari keberadaan mi ongklok ini. Mi ongklok berkembang telah menjadi “klangenan”. Tak heran, jika banyak kisah para pengusaha rumah makan atau warung mi ongklok yang berhasil di luar Wonosobo, khususnya di sekitar Pegunungan Dieng.

Salah satunya, warung Mi Ongklok Pak Tugi di Jalan Raya Semampir, Banjarnegara, Jawa Tengah. Dua ruko berukuran besar berjejer, satu ruko menghidangkan mi bakso dan mi ayam, sebelahnya adalah mi ongklok. Pendirinya adalah Tugi (almarhum), yang kini dilanjutkan oleh istrinya, Siti.

Pagi menjelang siang itu, sejumlah karyawan warung Mi Ongklok Pak Tugi mempersiapkan segala sesuatu. Ada yang merebus mi, memasak kuah kental, hingga menyindik daging sapi yang merupakan kekhasan lain mi ongklok.

Bumbu Alami

Sate sapi, hidangan wajib pendamping mi ongklok. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)
Sate sapi, hidangan wajib pendamping mi ongklok. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Seluruhnya, mi dibuat dengan bumbu alami. Kuah ini dibuat dengan bawang merah, bawang putih dan merica. Sebagai penguat rasa, Siti menambahkan kaldu daging ayam kampung dan udang kering atau ebi. Warna kecokelatan dalam kuah ternyata berasal dari sisiran gula Jawa yang dicampurkan.

Kuah itu kemudian dibuat kental dengan taburan tepung kanji. Siti juga menyiapkan potongan kol dan daun kucai untuk campuran mi. Inilah salah satu kekhasan mi ongklok, kuahnya lebih kental.

Peracikannya pun khas. Mi dicelupkan ke air mendidih menggunakan centong berbahan bambu. Di dalam air mendidih, mi itu diongklok-ongklok (kocok) hingga beberapa menit sebelum disajikan dalam mangkuk.

"Karena buatnya diongklok-ongklok, makanya dinamai mi ongklok," ucap Siti, beberapa waktu lalu.

Campuran mi dan sayur itu dilumuri dengan kuah kanji. Siti kemudian menambahkan sambal kacang di campuran itu.

Satu lagi, bukan mi ongklok namanya jika menu pendamping tak ada, yakni satai sapi. 10 tusuk sate sapi yang dipanggang bersamaan dengan penyajian mi ongklok menyempurnakan kelezatan kuliner itu.

"Harga seporsi, mi Ongklok dengan 10 tusuk sate sapi Rp 27 ribu," Siti menjelaskan.

Meski begitu, Siti pun tak memungkiri ada pelanggan yang tak suka dengan satai sapi. Karenanya, ia menggantinya dengan bakso. Jadinya, mi ongklok bakso. Harganya lebih murah, hanya Rp 18 ribu per porsi. Jika tanpa tambahan apa pun harganya Rp 10 ribu.

Racikan Mi Khas Tiongkok

Kuah kanji, pembalut khas manis pedas mi ongklok. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)
Kuah kanji, pembalut khas manis pedas mi ongklok. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Dalam sehari, Warung Mi Ongklok Pak Tugi rata-rata menghabiskan dua hingga tiga bal mi atau 15 kiloan mi yang disuplai langsung dari pabrik mi di Purwokerto. Delapan kilogram daging sapi rata-rata habis dalam sehari untuk pembuatan satai pendamping mi Ongklok.

Pada akhir pekan atau libur panjang, jumlah pelanggannya melonjak. Saat itulah, banyak orang luar daerah yang melintas, atau warga yang mudik ke kampung halaman mampir khusus menikmati mi ongklok yang telah menjadi klangenan. Selain warga Banjarnegara dan Wonosobo, pelanggannya berasal dari luar kota atau daerah tetangga, Purbalingga hingga Purwokerto.

Kisah sukses Siti itu tak semudah membalikkan telapak tangan. Untuk memiliki dua warung dan memperkerjakan tujuh karyawan, Siti dan suaminya, Tugi, banting tulang sejak muda. Resep mi ongklok warungnya berasal dari almarhum suaminya yang memang asli Wonosobo.

Tugi semula bekerja di warung makan mi ongklok milik Muhadi di Wonosobo. Muhadi disebut sebagai salah satu pewaris racikan mi Tiongkok. Warungnya legendaris. Pelanggan mi ongkloknya tersebar hampir di seluruh daerah.

Kemudian Tugi memutuskan mandiri, berjualan di Kabupaten tetangga, Banjarnegara bersama istrinya Siti. Perjalanan bisnis mi Ongklok Pak Tugi diwarnai perjuangan panjang dan pasang surut. Awal usaha, tahun 1989, ia berjualan mi ongklok dengan cara berkeliling.

Pahit getir sebagai pedagang keliling dilakoninya. Perlahan, bisnisnya berkembang dan mampu membuka warung permanen. Di dua warung miliknya kini, ia mempekerjakan tujuh karyawan.

Siti tak mau sembarangan menggunakan mi yang tak jelas asal-usulnya untuk menjaga cita rasa. Sejak awal mendirikan warung mi ongklok, ia selalu memakai mi Cap Tiga Anak, produksi Purwokerto. Mi ini disuplai langsung dari pabriknya di Banyumas.

Simak video menarik berikut:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya