Belajar dari Kasus Audrey, Mengapa ABG Jadi Agresif?

Kasus penganiayaan dan perundungan atau bully terhadap Audrey siswi SMP oleh belasan siswa SMA di Kota Pontianak, Kalimantan Barat, harus disadari semua pihak bukan merupakan kejadian tunggal.

oleh Liputan6dotcom diperbarui 10 Apr 2019, 16:00 WIB
Diterbitkan 10 Apr 2019, 16:00 WIB
Rachel Vennya
Rachel Vennya dukung Justice For Audrey. (dok. Instagram @rachelvennya)

Liputan6.com, Pekanbaru - Kasus penganiayaan dan perundungan atau bully terhadap Audrey siswi SMP oleh sejumlah siswa SMA di Kota Pontianak, Kalimantan Barat, harus disadari semua pihak bukan merupakan kejadian tunggal, melainkan sebuah fenomena kasuistik di mana orangtua secara tidak sadar menanamkan perilaku tersebut ke anak sejak kecil.

Psikolog Klinis Anak, Violetta Hasan Noor, mengatakan, peranan orangtua dalam tumbuh kembang anak di lingkungannya memainkan peranan penting dalam membentuk anak apakah akan menjadi seorang perundung atau tidak.

"Itu terjadi karena anak terekspos bully juga, melihat orangtua memarahi orang dan anak menjadi peniru karena merasa ternyata kalau marah kita boleh seperti itu. Atau ketika anak marah, tidak diarahkan oleh orangtua cara yang benar untuk mengelola amarahnya atau anger management," kata Violetta kepada Antara di Pekanbaru, Rabu (10/4/2019)

Violetta menilai, banyak kasus perundungan terjadi di sekolah bukan berarti institusi pendidikan jadi sumber permasalahan itu. Pangkal masalah sesungguhnya adalah di rumah, lingkungan tempat anak tinggal, dan sekolah menjadi media penyaluran agresi anak melakukan perundungan.

"Kasus bullying banyak di sekolah, tapi awal mula bukan di sekolah intinya. Sekolah hanya jadi media penyaluran karena itu tempat anak bersosialisasi lebih luas," ujarnya.

"Contoh paling sederhana adalah membiasakan menimpakan kesalahan ke orang lain. Misalkan orangtua memarahi orang lain, mencaci-maki orang, memukuli anak juga, sehingga anak menganggap hal itu boleh dilakukan," lanjut Violetta.

Fenomena remaja yang kini lebih banyak cenderung gampang marah, mudah tersulut emosi, dan agresif, tidak lepas dari lemahnya peran orangtua dalam menanamkan nilai-nilai luhur sejak dini. Orangtua di zaman modern terlalu sibuk dengan dunia kerja, minim memberikan sentuhan perhatian bahwa anak harus diajarkan tentang empati, gotong royong dan toleransi.

"Kita tidak bisa membendung kemajuan teknologi dan dampak negatifnya. Tapi kita bisa ajarkan anak kita bagaimana cara bersosialisasi yang bagus, bagaimana berempati, sehingga ketika anak melihat sesuatu yang buruk secara otomatis akan difilternya," katanya.

Kasus yang menimpa Audrey menjadi perhatian nasional karena menyebar luas di dunia maya atau viral, bahkan tagar #justiceforAudrey menjadi topik bahasan utama selama dua hari terakhir.

Penanganan kasus ini dilakukan oleh pihak kepolisian bersama Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Wakil Ketua KPAI Rita Pranawati, pengeroyokan dan perundungan terhadap Audrey dilatarbelakangi motif asmara.

Menurut dia, proses penyelesaian kasus tersebut harus dilandaskan pada Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) yang menyebutkan Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH) adalah anak pelaku, korban, dan saksi. SPPA lahir dengan prinsip "restorative justice" atau pemulihan situasi anak pada kondisi semula.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya