Masjid Sokambang, Tempat Istirahat Raja-Raja Sebelum Ziarah ke Makam Leluhur

Mimbar tempat imam masjid hanya cukup untuk satu orang. Konon dulu bangunan itu merupakan tempat persinggahan sementara keluarga raja untuk beristirahat sejenak dan beribadah sebelum melanjutkan perjalanan menuju kompleks pemakaman Asta Tinggi.

oleh Liputan6.com diperbarui 12 Mei 2019, 01:02 WIB
Diterbitkan 12 Mei 2019, 01:02 WIB
Ilustrasi Masjid (Istimewa)
Ilustrasi Masjid (Istimewa)

Liputan6.com, Sumenep - Masjid Sokambang di Desa Kebunagung berada sekitar satu kilometer dari kompleks makam raja-raja Sumenep, Asta Tinggi. Dan lokasinya di antara permukiman padat penduduk di belakang Kantor Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Sumenep.

Dari luar, bangunan masjid yang dulu bernama Masjid Jami itu terlihat menonjol karena lebih tinggi dari rumah-rumah warga sekitar. Tapi tidak ada papan nama dan informasi yang menunjukkan bahwa tempat itu bersejarah. Yang tampak hanya campuran bangunan tua dan modern dengan menara kecil berjejer.

Ketika memasuki ruang utama masjid, baru tampak sisa-sisa bangunan tua bersejarah yang masih berdiri kokoh. Tembok-tembok dan struktur batu bata besar dengan dua pintu dan pengunci kayu sedikit usang, menyimpan sejarah salah satu masjid tertua di Sumenep itu.

Mimbar tempat imam masjid hanya cukup untuk satu orang. Konon, bangunan itu merupakan tempat persinggahan sementara keluarga raja untuk beristirahat sejenak. Di situ juga keluarga raja beribadah sebelum melanjutkan perjalanan menuju kompleks pemakaman Asta Tinggi.

Kini bangunannya lebih besar dan menjadi masjid. Warga setempat menyebutnya Masjid Sokambang.

"Dulu pernah ada saudagar dari Makkah yang datang dan ingin merenovasi total masjid ini, namun sama pemiliknya tidak diperbolehkan dan hanya boleh menambah beberapa bangunan di luarnya untuk perluasan saja," kata Abdul Karim, Takmir Masjid yang sudah puluhan tahun merawat masjid tersebut, dilansir Antara.

Masjid Sokambang merupakan masjid ketiga yang dibangun kalangan kerajaan di Kabupaten Sumenep. Selain Masjid Lajuh yang dibangun oleh Raja Sumenep ke-21 Kanjeng Pangeran Ario Anggadipa (1626-1644) dan Masjid Agung Sumenep yang dibangun masa Raja Sumenep ke-31 Panembahan Sumolo Asirudin (1779-1811).

Sementara, Masjid Sokambang, menurut literasi yang didapat Abdul Karim dibangun sendiri oleh Sultan Abdurahman Pakunantaningrat kesatu, yang menjabat sebagai adipati atau raja Sumenep ke-32 tahun 1811 hingga 1854.

Menurut cerita dan pitutur orang-orang tua Sumenep, masjid itu memendam banyak cerita mengenai raja-raja kesultanan Sumenep yang akan berziarah ke makam leluhurnya di Asta Tinggi.

"Dulu bahkan ceritanya Sultan juga sering ke masjid ini," kata Kiyai Amiruddin, salah satu tokoh di Desa Kebunagung, dalam siaran laman resmi Pemerintah Kabupaten Sumenep.

Siaran di laman resmi Pemerintah Kabupaten Sumenep juga menyebutkan, masjid yang dibangun putra Panembahan Sumolo itu dulu biasa digunakan untuk mempelajari kitab-kitab agama klasik. Ulama yang tercatat pernah mengajar antara lain Kyai Anjuk dan Kiyai Bayanullah.

Di kalangan keluarga keraton Sumenep, ada cerita mengenai Raden Ario Abdul Ghani Atmowijoyo, bangsawan Sumenep, yang selalu menyempatkan ke Masjid Sokambang untuk shalat sebelum ziarah ke Asta Tinggi.

Episentrum Madura

madura
pemandangan dusun Jarat Lanjang dari dermaga

Pemerhati sosial, politik dan budaya kawasan Madura, Surokim Abdussalam, mengatakan Pulau Madura punya dua episentrum kebudayaan, Kabupaten Bangkalan dengan tokoh utama seperti Syaikhona Kholil di kawasan barat dan Kabupaten Sumenep dengan tokoh seperti Sultan Abdurahman Pakunantaningrat di bagian timur.

Surokim mengatakan masih banyak kekayaan budaya Madura yang belum terangkat ke publik, karenanya belum banyak orang yang mengetahui kazanah budayanya, termasuk keberadaan Masjid Sokambang dan peninggalan raja-rajanya pada masa lalu.

Penulis buku Madura 2020 dan Madura 2030 itu menambahkan, literasi rinci mengenai Madura juga masih sedikit karena tidak banyak penulis dan ahli sejarah yang datang dan melakukan penelitian di Madura. Padahal ada temuan benda bersejarah seperti nisan kuno dengan ukiran kalimat syahadat, shalawat nabi dan tulisan Jawa Kuno Caraka di sana.

"Untuk sisi timur, Sumenep memang dikenal memiliki kebudayaan yang tinggi dengan pola bahasa lebih halus dibanding daerah lain di Madura, hal ini bisa menjadi bukti tingginya kebudayaan di wilayah itu," kata Surokim, dosen komunikasi politik, media dan opini publik di Universitas Trunojo Madura.

Dia menekankan pentingnya lebih banyak penelitian mengenai sejarah dan budaya Madura untuk mengungkap misteri yang masih terpendam mengenai masa lalunya.

Saksikan video pilihan berikut ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya